Pernikahan Anak bukan Solusi Kesejahteraan

Poedjiati Tan – www.konde.co

Kemarin saya mendengar cerita dari seorang rekan dosen yang bercerita,
mahasiswinya semester tiga sudah dinikahkan. Alasannya supaya tidak melakukan
zina dengan pacarnya. Ada juga yang menikah karena mengikuti adat perjodohan.
Pernikahan anak banyak sekali terjadi karena beberapa sebab. Tetangga saya,
namanya Noor, orang madura, ketika umur 15 tahun sudah dinikahkan oleh orang
tuanya dengan alasan agar bisa membantu ekonomi keluarga. Dengan pesta
perkawinan itu keluarga Noor bisa mendapat uang buwuh dari orang-orang yang datang. Ada tradisi pemberian uang buwuh berdasarkan berapa yang pernah
mereka berikan kepada orang yang punya hajat.  Kelurga Noor merasa sudah banyak memberikan
uang buwuh kepada orang lain dan ini
saatnya memetik atau pay back.

Calon suaminya hanyalah seorang tukang becak dan mereka hidup menumpang di
keluarga suaminya. Akhirnya Noor yang bekerja menjadi buruh untuk mencukupi
kehidupan mereka. Ketika hamil Noor harus keluar dari pekerjaannya. Suaminya
tidak pernah peduli dengan keadaan Noor dan tidak pernah memberikan uang
kepadanya. Setelah melahirkan Noor bekerja sebagai PRT yang bisa pulang sore
hari.

Cerita seperti Noor ini banyak sekali terjadi di Indonesia. Pernikahan anak
sering dilakukan dengan alasan agama padahal sebenarnya karena faktor ekonomi
dari orang tua. Mereka berpikir dengan menikahkan anak perempuannya tanggung
jawab akan diambil alih oleh suaminya dan mereka tidak lagi harus memberikan
nafkah. Apalagi kalau bisa mendapat suami yang lebih kaya dari mereka sehingga
bisa membantu perekonomian keluarga.

Ada juga yang beranggapan agar tidak terseret pergaulan bebas dan hamil
diluar nikah. Meskipun nanti akhirnya cerai, masih lebih baik daripada anaknya
lahir tanpa ayah. Mereka tidak pernah memikirkan nasib anak perempuan yang dinikahkan
pada usai muda. Resiko kesehatan karena hamil pada usia yang belum matang dan
masa depan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik

Persoalan pernikahan dini pada anak dibawah umur ini juga dibahas di Sidang Komisi PBB untuk Status Perempuan, Comission on the Status of
Women ke-60 (CSW) yang berlangsung pada 14-25 Maret di markas besar PBB, New
York, Amerika Serikat (AS). Puluhan negara dunia melalui para delegasinya
menyatakan keprihatinannya terhadap kasus kekerasan perempuan yang dipicu
pernikahan dini pada anak dibawah umur. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan
(Komnas Perempuan)yang menjadi peserta pada Commission
on the Status of Women (CSW) ke 60. Yuniyanti Chuzaifah (Wakil
Ketua) Komnas Perempuan menilai peraturan terkait pernikahan yang
tercantum dalam Undang-Undang no. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan perlu diubah
karena masih mencerminkan diskriminasi terhadap perempuan, khususnya terkait
usia minimal yang diperbolehkan untuk menikah

Seperti kita tahu Mahkamah Konstitusitelah menolak dalam sidang
putusan uji materi Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974.  Seperti disebutkan dalam pasal
7 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan Tentang Usia Perkawinan, mengatur usia
minimal perempuan untuk menikah adalah 16 tahun, sementara lelaki pada usia 19
tahun. UU inimenunjukan adanya
diskriminasi terhadap perempuan dalam mendapakatkan pendidikan dan penghidupan
yang lebih baik. Usia 16 tahun berarti mereka belum lulus SMA dan kesempatan
untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik menjadi tertutup.

Orang sering menganggap bahwa pernikahan adalah jalan yang terbaik buat
anak perempuan. Mereka beranggapan bahwa kehidupan mereka akan aman, terjamin
dan sejahtera. Tidak perlu lagi kuatir karena ada suami yang melindungi dan
menjaganya. Mereka tidak memikirkan dampak kesehatan , kematian ibu melahirkan
dan kesehatan reproduksi lainnya, kekerasan dalam rumah tangga, kekurangan gizi
terhadap bayi dan kematian bayi. Bila terjadi sesuatu dengan anak perempuannya
yang dipaksa menikah dini, siapa yang paling dirugikan? Tentu saja sang anak
dan orang tuanya.

Bila Negara tidak bisa melindungi anak perempuan, inilah saatnya orang tua
memiliki keasadaran bahwa anak perempuan juga perlu pendidikan yang lebih
tinggi sehingga bisa mandiri dan mengembangkan potensi dirinya. Bila anak perempuan diberi kesempatan memiliki pendidikan yang tinggi tentu dia juga memliki peluang untuk memiliki kehidupan yang lebih baik dan meningkatkan ekonomi keluarga.   

Sumber

http://internasional.metrotvnews.com/read/2016/03/17/499866/sidang-csw-60-perkawinan-anak-adalah-perkosaan-dengan-l

http://www.komnasperempuan.go.id/catatan-komnas-perempuan-dari-commission-on-the-status-of-women-csw-60-atau-komisi-status-perempuan-di-pbb-14-25-maret-2016/

foto 1: fixers.org dan disesuaikan oleh Poedjiati tan

foto 2 : https://www.facebook.com/UNCSW/?fref=ts

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!