Melawan Mitos Miskin? Kerja Dong! Hal yang Tak Mudah Dilakukan Perempuan

Kamu miskin? makanya, kerja dong! Kamu gak dapat kerja? sekolah dulu dong biar dapat kerja, biar cepat kaya.

Ucapan seperti ini sangat sering saya dengar. Seolah ini merupakan sesuatu yang mudah dilakukan. Namun bagaimana jika pertanyaan itu ditujukan pada orang yang minim aksesnya?

Kemiskinan bagi perempuan bisa mempunyai banyak arti. Bisa jadi perempuan tak punya apa-apa secara ekonomi, namun bisa jadi perempuan adalah orang yang paling miskin akses.

Women Research Institute pernah menuliskan bahwa ketidaksetaraan di dalam alokasi sumberdaya dalam rumah tangga memperlihatkan laki-laki dan perempuan mengalami bentuk kemiskinan yang berbeda.

Di ruang publik, kemiskinan perempuan selalu dikaitkan dengan tertutupnya ruang-ruang partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan yang sifatnya formal bagi perempuan. Bagi perempuan seringkali konsep ruang publik ini diartikan sebagai tempat kerja atau tempat berusaha daripada forum-forum di dalam komunitas. Keterlibatan dalam forum publik di dalam komunitas pun biasanya terbatas dan masih tidak terlepas dari peran domestiknya.

Dan kemiskinan mungkin adalah kondisi yang sudah setua peradaban itu sendiri. Kemiskinan bisa kita temui hampir di setiap sudut kota hingga tepi desa. Dalam masyarakat hari ini, kemiskinan dipandang sebagai sebuah hal yang “normal” dan bisa diterima. Cara pandang masyarakat terhadap kemiskinan juga sangat beragam. Tapi, pada umumnya kemiskinan dipandang sebagai sebuah “hukuman” atas apa yang dilakukan. Lalu muncullah stigma pada kelompok miskin dan perempuan Entah malas, bodoh, tidak bisa membagi waktu sampai dosa.

Supriatna (1997:90) menyatakan bahwa kemiskinan adalah situasi yang serba terbatas yang terjadi bukan atas kehendak orang yang bersangkutan. Suatu penduduk dikatakan miskin bila ditandai oleh rendahnya tingkat pendidikan, produktivitas kerja, pendapatan, kesehatan dan gizi serta kesejahteraan hidupnya, yang menunjukkan lingkaran ketidakberdayaan. Kemiskinan bisa disebabkan oleh terbatasnya sumber daya manusia yang ada, baik lewat jalur pendidikan formal maupun nonformal yang pada akhirnya menimbulkan konsekuensi terhadap rendahnya pendidikan informal. Dari pernyataan ini, kita melihat bahwa tanda-tanda kemiskinan bukanlah sebuah hal asing dalam lingkungan sekitar kita.

Karakteristik Kemiskinan

Emil Salim (dalam Supriatna, 1997: 82) mengemukakan lima karakteristik penduduk miskin. Kelima karakterisktik penduduk miskin tersebut adalah: 1) Tidak memiliki faktor produksi sendiri, 2) Tidak mempunyai kemungkinan untuk memperoleh aset produksi dengan kekuatan sendiri, 3) Tingkat pendidikan pada umumnya rendah, 4) Banyak di antara mereka yang tidak mempunyai fasilitas, dan 5) Di antara mereka berusia relatif muda dan tidak mempunyai keterampilan atau pendidikan yang memadai. Berdasarkan karakteristik ini kita bisa sedikit berasumsi bahwa masyarakat miskin memiliki masalah dalam mengakses sumber daya. Baik untuk produksi, kebutuhan fisiologis dan kebutuhan psikologis.

Dan bagi perempuan kemiskinan terjadi karena tidak adanya akses, kesempatan, ruang yang mengakibatkan tertutupnya ruang-ruang partisipasi perempuan. Tak bisa keluar rumah, tak mendapatkan pendidikan dan dianggap sebagai manusia kedua di rumah adalah bagian dari kemiskinan perempuan.

Penyebab Kemiskinan

Banyak sekali teori yang menyatakan asal mula dan penyebab kemiskinan. Salah satu muara dari penyebab kemiskinan: teori lingkaran setan kemiskinan (vicious circle of poverty) oleh Nurkse. Teori ini menunjukkan sumber kemiskinan: adalah adanya keterbelakangan, ketidaksempumaan pasar, dan kurangnya modal menyebabkan rendahnya produktifitas. Rendahnya produktivitasnya mengakibatkan rendahnya pendapatan yang mereka terima. Rendahnya pendapatan akan berimplikasi pada rendahnya tabungan dan investasi. Rendahnya investasi berakibat pada keterbelakangan, dan seterusnya.

Apakah anda melihat apa yang saya lihat dari teori ini? Karena saya melihat kunci dari masalah kemiskinan adalah: modal. Ya, modal menjadi masalah karena modal menjadi syarat dalam mengakses sumber daya. Baik sumber daya alam sampai manusia. Masalah modal ini erat kaitannya dengan kepemilikan dan penimbunan. Kepemilikan terhadap sumber daya tentu akan menyebabkan sumber daya tersebut hanya dapat diakses oleh segelintir individu. Penimbunan akan menyebabkan sumber daya terkumpul tanpa dapat dimanfaatkan oleh individu yang membutuhkan. Apa yang terjadi ketika dua hal diatas terjadi?

Sedangkan teori kemiskinan perempuan adalah karena tidak adanya akses. Ini artinya tidak hanya minimnya akses pada sumber daya, namun juga akses perempuan untuk keluar rumahpun masih sulit. Jika tidak sulit, perempuan harus tetap menanggung kerja-kerja di rumah karena kerja domestik selalu dilekatkan pada perempuan.

Akan ada (banyak) individu yang tidak dapat mengakses sumber daya dan tidak dapat memenuhi kebutuhannya. Kondisi inilah yang disebut kemiskinan. Disinilah sumbernya! Ketika kita bicara kemiskinan diakibatkan karena malas, bodoh, dosa, takdir, dan lain sebagainya, sebenarnya kita hanya bicara satu helai rambut dari monster kemiskinan.

Mitos 1: Kerja agar tidak miskin

Biasanya kata-kata ini dikeluarkan oleh mereka yang sudah memiliki pekerjaan yang layak dan mapan. Kenyataanya, sebagian besar orang miskin adalah para pekerja. Pekerjaan yang dilakukan orang miskin ini seringkali lebih berat dibandingkan pekerjaan lain yang memiliki penghasilan baik. Belum lagi jika kita bicara penghisapan dan pemerasan yang terjadi. Baik dari tengkulak, mandor, sampai boss.

Tuntutan ini juga tak mudah dilakukan perempuan. Di satu sisi, jika rumah tangga dalam kondisi miskin, para perempuan harus bekerja di luar, namun tugas domestik juga harus dikerjakan perempuan.

Mitos 2: Pekerjaan Rumah Tidak Identik dengan Kerja

Pekerjaan rumah yang dilakukan perempuan tidak pernah diidentifikasi sebagai sebuah kerja. Ini yang menimbulkan dilema bagi perempuan karena jika ia bekerja di luar rumah, maka ia juga harus mengerjakan domestik. Hal lain ini juga menimbulkan sempitnya waktu untuk perempuan. Akibatnya perempuan seringkali terasing dari kehidupan sosialnya

Mitos 3: Pintar agar tidak miskin

Biasanya kata-kata ini disampaikan para pekerja dengan pendidikan tinggi dan minimal S1. Kenyataannya, sekolah sendiri juga tidak mudah diakses. Pendidikan tetaplah sebuah industri yang menimbun pengetahuan. Dan seperti yang sudah disampaikan, penimbunan menyebabkan hanya sedikit orang yang bisa mengakses. Orang tersebut harus memiliki modal cukup sebagai jalan mengakses sumber daya ilmu ini. Yang kedua, banyak ilmu non praktis yang dijejalkan oleh institusi pendidikan. Sepintar apapun dalam ilmu ini, tetaplah tidak berguna saat penerapan dalam kehidupan. Yang terakhir, institusi pendidikan menerapkan metode dogmatis yang dimana membunuh pemikiran kreatif dan kritis. Pada akhirnya, semua kembali pada ijazah sebagai pernyataan kualitas tanpa melihat kemampuan kerja setiap individu adalah unik.

Mitos 4: Usaha sendiri agar tidak miskin

Ini adalah argumen paling memuakkan yang pernah saya dengar. Saya cukup mengingatkan perkara 1 hal: Modal. Modal disini tidak melulu berupa uang. Modal berupa pengetahuan, ruang, peralatan, sampai kondisi sosial sangat mempengaruhi kemampuan usaha. Dan usaha tetaplah bukan solusi ketika membicarakan kemiskinan. Karena, akar mula permasalahannya bukan bekerja pada boss atau usaha sendiri, melainkan tidak dapat diaksesnya sumber daya untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Sebenarnya, masih banyak “mitos” perkara kemiskinan ini. Tapi tanpa melihat mitos-mitos tadi, akan lebih sederhana jika kita melihat alasan sebenarnya. Puncak masalahnya lebih sederhana dari semua kata-kata motivator dan tokoh publik. Kepemilikan, penimbunan sumber daya dan tidak adanya akses.

Bagaimana solusinya? Masalah yang sederhana punya solusi yang sederhana juga. Tapi apakah banyak yang berani menyetujuinya?

(Ilustrasi: Pixabay)

*Tulisan ini ditulis oleh camar hitam (bukan nama sebenarnya) dan merupakan bagian dari kerjasama www.buruh.co dan www.Konde.co. Tulisan mengalami editing disesuaikan dengan kebutuhan www.Konde.co

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik. Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!