Yoyoh Hereyah, Universitas Mercu Buana
Kadang kala, sebuah karya seni film mampu menggoncang sebuah industri.
Inilah yang dilakukan oleh film Parasite, sebuah film drama komedi mengenai konflik antara kelas atas dan bawah di Korea Selatan. Film besutan Bong Joon-Ho ini mengalahkan film 1917, Once Upon a Time in Hollywood, Jojo Rabbit, dan The Irishman dalam ajang Oscars.
Film Parasite mematahkan tradisi di dunia perfilman bahwa peraih kategori film terbaik di Oscars adalah film berbahasa Inggris. Parasite merupakan [film asing pertama yang membawa pulang hadiah utama dalam penghargaan tersebut].
Sebagai ahli ilmu komunikasi dan pemasaran, saya melihat bahwa kemenangan Parasite merupakan langkah awal insan non-Hollywood dalam mematahkan dominasi industri film asal Amerika Serikat.
Dalam menjawab pertanyaan tersebut, saya mencoba menggunakan lensa imperialisme budaya dan media dalam menjelaskan bagaimana Parasite bisa menggoyang dominasi Hollywood.
Imperialisme budaya dan media
Konsep imperialisme budaya mulai dikenal di Amerika Latin pada era 1970-an. Imperialisme di sini identik dengan konsep penjajahan, meski tidak melalui serangan senjata, melainkan melalui sebuah ideologi, terutama yang masuk lewat media.
Ahli media dari Amerika Serikat Oliver Boyd-Barret, menyebutnya sebagai imperialisme media. Sedangkan Thomas L. McPhail, seorang ahli media lainnya dari AS, menyebutnya kolonialisme elektronik karena bentuk penjajahan yang dilakukan melalui media elektronik.
Melalui kacamata Marxisme, media ini dipandang sebagai bagian dari aparatur negara yang menanamkan nilai-nilai ideologis sebuah negara.
Bagaimana dengan imperialisme budaya di industri perfilman?
Ketika pertama kali digelar pada 1929, penyelenggara Oscars ingin memberikan penghargaan pada industri dan pegiat film.
Namun, sejarah membuktikan bahwa Oscars justru didominasi oleh film-film yang berasal dari Amerika Serikat.
Ahli industri perfilman dari Inggris Paul McDonald mengatakan dalam bukunya Hollywood Stardom bahwa selama lebih dari 80 tahun, pilihan panitia Oscars hanya fokus pada film-film berbahasa Inggris produksi Amerika.
Menurut McDonald, ini terjadi lantaran otoritas Oscars dipengaruhi oleh dominasi studio-studio film besar Hollywood.
Studio-studio film besar itu, menurut kritikus film asal Amerika Emanuel Levy, memiliki sumber daya dan fasilitas untuk melakukan kampanye yang canggih dan efektif. Publisitas besar-besaran dapat dilakukan studio untuk menjual film ke publik dan mempengaruhi panitia Oscars dalam memenangkan film mereka.
Levy mengungkapkan bahwa proses penentuan nominasi dan pemilihan akhir Oscars sejak akhir 1920-an dinodai oleh kampanye iklan studio film besar.
Selain itu, mayoritas anggota panitia Oscars juga berasal dari kalangan profesional film Amerika Serikat yang turut memperkuat hegemoni Hollywood.
Lalu Parasite datang
Parasite mulai [menarik perhatian publik] sejak April 2019 ketika menjadi salah satu film yang tayang di festival film bergengsi di Cannes, Prancis.
Bong Joon-Ho menjadi sutradara Korea Selatan pertama yang meraih penghargaan Palme d’Or.
Sejak saat itu, Parasite menjadi pusat perhatian pecinta sinema dunia. Popularitasnya semakin meningkat ketika distributor film di banyak negara ikut menayangkan Parasite.
Pemeran dan kru Parasite juga intens dalam melakukan sejumlah promosi untuk filmnya, mulai dari wawancara hingga sesi foto majalah. Kampanye ini dinilai sangat efektif dalam mengantarkan kemenangan Parasite dalam ajang Oscars.
Keberhasilan Parasite juga didukung oleh isu yang diangkat film tersebut tentang konflik kelas dan kapitalisme. Isu tersebut cukup dekat dengan masyarakat saat ini karena banyaknya demonstrasi massal yang dimotori oleh kelas pekerja di seluruh dunia untuk menuntut keadilan. Popularitas isu yang dibawa Parasite pada akhirnya meningkatkan popularitas film ini sendiri.
Kemenangan Parasite dalam penghargaan Oscars menunjukkan bahwa film Asia non-bahasa Inggris mampu bersaing dengan film-film lainnya.
Sebenarnya sudah ada perubahan sedikit dari penyelenggara Oscars dalam menanggapi dominasi film-film Amerika Serikat.
Sebanyak 842 anggota terbarunya berasal dari 59 negara. Lalu hampir setengah dari anggotanya adalah perempuan dan hampir sepertiganya adalah orang berkulit berwarna. Hal ini tampaknya berpengaruh terhadap kemenangan Parasite. Ada kemungkinan bahwa penyelenggara Oscars ingin melepaskan asumsi masyarakat bahwa Oscars selalu mengedepankan film-film Hollywood berbahasa Inggris.
Namun ini tidak berarti bahwa imperialisme media dan budaya Hollywood sudah sepenuhnya terpatahkan. Perjalanan melawan jenis imperialisme ini masih panjang dan Parasite merupakan pemicu yang dibutuhkan dalam perlawanan ini.
Film-film non-Hollywood harus bekerja keras untuk memproduksi konten yang kuat. Mereka harus bercerita tentang nilai-nilai kehidupan manusia yang unik, mengangkat nilai-nilai kemanusiaan melalui memiliki skenario, visual, dan audio yang kuat, serta melakukan promosi dengan gencar.
Marsha Vanessa ikut berkontribusi dalam penerbitan artikel ini.
Yoyoh Hereyah, Dosen dan Penulis, Universitas Mercu Buana
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.