Ilustrasi The Nuruls

Tren ‘The Nuruls’: Distigma Cewek Norak Kabupaten, Sebutan yang Misoginis dan Klasis!

The Nuruls adalah para perempuan muda pakai jilbab, suka nari-nari dan makan seblak yang distigma sebagai cewek norak kabupaten karena dianggap berasal dari kelas ekonomi rendah. Sebutan ini dianggap misoginis dan klasis.

Konde.co menyajikan ‘Edisi Perempuan Muda’, peliputan jurnalistik yang berisi cerita, kisah-kisah di balik keputusan dan pilihan para perempuan muda

Beberapa waktu lalu, istilah “The Nuruls” sering muncul dan jadi perbincangan, khususnya di TikTok.

Istilah tersebut disematkan kepada perempuan yang mayoritas berjilbab, sering menggunakan pakaian tabrak warna, dan cardigan rajut. Tak lupa kebiasaan mereka yang senang makan seblak–makanan khas Bandung di gerobak-gerobak atau jajanan kaki lima.

Fenomena The Nuruls, membuat Konde.co lalu menemui para perempuan pemilik nama Nurul soal tren ‘The Nuruls’.

The Nuruls” pertama kali muncul dalam podcast Deddy Corbuzier bersama Vidi Aldiano bertajuk Podhub. Dengan mengundang bintang tamu Laura Moane dan Halda, podcast ini membicarakan tentang gaya hidup anak muda. Pada satu momen, Vidi bertanya tentang tren di Depok, Jawa Barat kepada Halda, TikTokers. 

“Bajawa. Itu bukan club, itu live music yang banyak The Nuruls,” ujar Halda saat menjelaskan tentang Kopi Bajawa, salah satu tempat ngopi di Depok, Jawa Barat yang tengah ramai dikunjungi anak-anak muda.

‘The Nuruls’ selama ini digambarkan sebagai cewek kabupaten yang norak: berpakaian tabrak warna, berjilbab tapi suka joget-joget heboh, sampai punya gaya hidup tak sehat karena doyan seblak. Para Nurul menilai, ini adalah stereotip negatif yang disematkan pada mereka, seperti sebagai cewek norak kabupaten, dan dianggap berasal dari kelas sosial rendah.

Adik kandung komika bernama Arafah Rianti tersebut menjelaskan tentang arti The Nuruls.

The Nuruls itu orang-orang berjilbab tapi pengen joget-joget,” tambahnya.

Dari situlah istilah The Nuruls mulai ramai dibahas hingga menjadi trending di TikTok maupun X (Twitter). Selain Halda Rianti, TikTokers bernama Kaffa Nugroho juga sering menggunakan nama “Nurul” saat bermain peran dalam kontennya. Peran “Nurul” digambarkan sebagai sosok yang suka melanggar aturan dan mengganggu, karena melakukan hal lain seperti cewek jillbab yang nari-nari dan dianggap di luar kebiasaan.

Baca Juga: Perlawanan Seksisme Dalam Serial ‘Merajut Dendam’ 

Tidak diketahui secara pasti alasan penggunaan nama “Nurul” dalam tren ini. Yang jelas, tren tersebut menuai respon positif dan negatif, terutama oleh pemilik nama Nurul.

“Ngapain coba kasih julukan yang nggak mesti semua ‘Nurul’ kayak gitu. Kasih julukan juga nggak harus berdasarkan outfit atau penampilan setiap individu,” ujar Az Zahra Nurul saat dihubungi Konde.co pada Selasa (13/2/2024).

Sebagai pemilik nama, Az Zahra Nurul merasa tidak nyaman dengan tren tersebut. Sebab, tren “The Nuruls” justru berpeluang memunculkan diskriminasi kepada perempuan seperti mereka. Bahkan, tren ini juga bisa berujung merendahkan perempuan berdasarkan kelas sosial dan ekonomi tertentu. 

Hal tersebut menunjukkan misoginisme dan klasisme yang bukan hanya merendahkan perempuan, namun juga kelas sosialnya. Misogini ini berarti kebencian terhadap perempuan. Artinya lebih kompleks dari sekadar permusuhan antar-gender. Melansir dari Kamus Merriam-Webster, ‘misogyny’ atau misogini artinya adalah, “Hatred of, aversion to, or prejudice against women (kebencian, keengganan, atau prasangka (buruk) terhadap perempuan.” 

Misogini adalah situasi ketika perempuan dibenci, bukan karena alasan-alasan tertentu, tapi semata-mata karena ia adalah perempuan. Kebencian itu bisa berupa sikap permusuhan hingga penyerangan terhadap perempuan. Ini termasuk pelecehan dan bullying

Bentuk lain yang menunjukkan sikap misogini adalah mendefinisikan perempuan yang ‘baik’ dan ‘buruk’. Kaitannya ini, perempuan yang ‘baik” dianggap yang bergaya modern, anggun, bergaya hidup sehat dan lainnya. Sementara, perempuan yang “buruk” dan jadi bahan tertawaan seperti tren ‘The Nuruls” ini sebaliknya. 

Baca Juga: Kamus Feminis: Apa Itu Misogini Atau Kebencian terhadap Perempuan

Kenapa ini juga klasis? Karena tren ini juga merendahkan kelas sosial tertentu. Perempuan kabupaten yang dianggap lebih rendah dan dipermalukan berdasar sosial ekonominya. Dia distigmakan dengan para sosok yang norak dan berpola hidup tak lebih sehat dari masyarakat perkotaan.  

Sementara itu, Nurul Astia Wuri memilih tidak terlalu ambil pusing ketika namanya digunakan untuk tren. Ia menyikapi dengan biasa saja dan menganggapnya untuk seru-seruan. Meski begitu, dia tak menampik juga, makna “The Nuruls” justru semakin luas dan berujung persaingan akibat oknum-oknum yang cukup mengganggu.

“Label ‘The Nuruls’ ini jadi luas maknanya oleh oknum-oknum yang annoying (mengganggu),” ucap Nurul Astia saat dihubungi Konde.co pada Selasa (13/2/2024).

Benarkah Style Menunjukkan Kelas Sosial Seseorang?

Sebagian orang justru dengan bangga menunjukkan penampilan dan gaya hidup yang dicirikan “The Nuruls”. Hal ini terbukti dari banyaknya unggahan gambar dan video TikTok yang menggunakan kata kunci tersebut. Bahkan, tak sedikit pula yang mengaitkannya dengan ciri “cewek kabupaten”.

Pada dasarnya, tren akan terus berkembang dari waktu ke waktu. Berbagai istilah digunakan untuk menggambarkan style tertentu. Misalnya style karyawan SCBD (Sudirman Central Business District) yang sering mengenakan lanyard Coach, tas Louis Vuitton, dan sepatu Tory Burch. Hal ini memunculkan pemahaman seperti itulah gaya orang yang bekerja kantoran di ibukota. 

Style berikutnya yaitu skena. Skena adalah akronim dari sua, cengkerama, dan kelana. Gaya pakaiannya pun cukup khas seperti kaos oversize dengan kata-kata bijak atau logo hits tertentu dan sepatu docmart. Anak skena juga sering nongkrong di coffee shop kekinian, serta memiliki selera musik independen.

Baik SCBD maupun skena, keduanya sama-sama merujuk pada gaya seseorang dengan ekonomi kelas menengah ke atas. Pasalnya, barang-barang yang digunakan merupakan brand besar dan cukup ternama. Harga barangnya pun cenderung mahal. Tak heran jika style ini dianggap kekotaan-kotaan.

Sebaliknya, The Nuruls disebut sebagai style kabupaten lantaran bukan berasal dari brand-brand besar. Mengingat bahwa ‘kabupaten’ seringkali dikonotasikan sebagai masyarakat kelas menengah ke bawah. 

Baca Juga: Misoginisme Dalam Melihat Risma: Selalu Dinilai Emosionalnya, Bukan Kapabilitasnya Dalam Memimpin

Pakaian yang digunakan pun seadanya. Tak jarang ditemui pula yang tabrak warna. Alih-alih “adu outfit”, para The Nuruls justru mengenakan pakaian sesuai kenyamanan. Apalagi jika tujuan mereka tak jauh dari tempat tinggal.

The Nuruls seolah tidak peduli terhadap pakaian branded dengan harga selangit. Mereka mengenakan apa yang mampu dibeli dan tetap bergaya apa adanya. Tak ada pertimbangan soal pantas atau tidak, mahal atau murah, bergengsi atau tidak, seperti norma yang selama ini diamini oleh masyarakat kelas menengah.

Pierre Bourdieu dalam bukunya berjudul Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste menyebut bahwa masyarakat kelas pekerja akan menggunakan “apa yang penting”. Tak ada perhatian khusus pada estetika–karena tak punya material–melainkan pada fungsi. Inilah yang membuat mereka dianggap memiliki selera yang buruk oleh masyarakat kelas atas.

Style The Nuruls: Eksistensi atau Resistensi?

Peneliti dari Pusat Riset Masyarakat dan Budaya Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Widjayanti Mulyana Santoso menyebut bahwa fashion (pakaian) bukan hanya soal baju bagi perempuan, melainkan identitas dan afiliasi pada kelompok tertentu.

“Kita bisa lihat, The Nuruls sebetulnya apakah dia ingin menunjukkan kelas sosial ataukah dia resistensi terhadap kelas tertentu atau kecenderungan tertentu?,” ujar Widjayanti saat dihubungi Konde.co pada Senin (12/2/2024).

Jika melihat kembali pada gaya berpakaian The Nuruls yang identik dengan perempuan berhijab, maka perlu melihat lagi pada sejarahnya. Beberapa puluh tahun lalu, perempuan mengenakan jilbab karena ideologi. Bahkan penggunaannya pun harus sesuai dengan norma-norma yang berlaku pada saat itu, salah satunya adalah jilbab berwarna putih.

“Banyak juga lingkungan sosial yang menghendaki perempuan itu juga tampil keren. Makanya kemudian orang-orang berhijab itu juga muncul sebagai sesuatu yang fashionable, nggak kuno,” ujar Widjayanti.

The Nuruls justru hadir sebagai kelompok perempuan yang memiliki keterikatan dengan agama yang tidak melanggar norma agamanya, terlebih dalam hal berpakaian. Mereka tetap mengenakan jilbab seperti yang dianjurkan oleh agamanya, namun, mereka membuatnya agar terlihat lebih modern dan fashionable.

Baca Juga: Misoginisme Polisi Dalam Penyelesaian Kasus Sate Sianida

Alih-alih persaingan dalam dunia fashion karena strata sosial tertentu, Widjayanti justru melihat fenomena The Nuruls sebagai keberagaman. Dalam beberapa hal, keragaman style ini justru menunjukkan kreativitas dan inovasi para perempuan. Sangat disayangkan apabila tren ini justru menjadi ajang untuk saling mem-bully di media sosial.

“Ternyata kesopansantunan itu masih perlu dipelajari oleh kelompok-kelompok seperti itu (The Nuruls dan kontra The Nuruls),” ucap Widjayanti.

Menurutnya, daripada mengomentari fashion perempuan lain dengan tendensi negatif, lebih baik saling menginspirasi agar style masing-masing bisa berkembang. Apalagi dunia fashion terus berkembang dengan kondisi pasar yang sangat mudah untuk dibaca.

“Kalau itu kita nilai sebagai yang positif, mungkin komentar-komentarnya bisa saling mendukung supaya kelompok-kelompok ini saling berkembang. Nanti kalau kelompoknya berkembang, ekonomi dalam konteks fashion itu juga berkembang,” tambahnya.

Tentang Pola Hidup yang Harus Diperhatikan

Selain pada fashion, Widjayanti juga menaruh perhatian pada pola hidup The Nuruls yang senang mengonsumsi makanan di pinggir jalan (street food) atau seblak. Ia justru mengkhawatirkan kesehatan perempuan.

“Aku sebenarnya menyayangkan. Sebenarnya niatnya bagus untuk mendukung UMKM (usaha mikro kecil dan menengah). Tapi kemudian kalau dilihat dari kesehatan perempuan, itu kan nggak ada gizinya,” ujar Widjayanti.

Hal ini perlu diwaspadai bersama. Jangan sampai adanya tren ini justru meningkatkan penyakit yang berhubungan dengan pencernaan, diabetes, dan kanker. Mengingat bahwa Indonesia termasuk negara pertama di ASEAN yang memiliki jumlah penderita diabetes tipe 1 tertinggi mencapai 41,8 ribu orang pada 2022. Mirisnya lagi, angka tersebut justru didominasi oleh generasi muda.

“Coba misalnya mereka mau menciptakan seblak yang lebih bergizi. Jadi nggak cuma makan micin melulu. Karena mereka adalah the future mother of Indonesia,” tambahnya.

Perempuan muda perlu meningkatkan kewaspadaan akan konsumsi makanan pedas dan manis berlebihan. Pasalnya, perempuan lebih rentan terkena penyakit yang berhubungan dengan perut, salah satunya maag. Apabila tidak dikontrol, maka kondisi tersebut akan memperburuk kesehatan perempuan.

Widjayanti berharap agar tren The Nuruls ini juga bisa andil dalam pengembangan UMKM di Indonesia. Dengan menyediakan ruang-ruang berkreasi dan berinovasi, maka brand-brand lokal dapat bersaing dengan brand besar lainnya. Jadi, The Nuruls tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang buruk.

Buat kamu yang punya nama Nurul juga, bagaimana pandanganmu soal ini? Yuk, bercerita!

Rustiningsih Dian Puspitasari

Reporter Konde.co.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!