Mengapa Perempuan Menolak Omnibus Law?

 

Sejumlah artis yang menjadi influencer pendukung agar Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja segera disahkan, ramai dibahas dalam 3 hari ini. Para selebritis ini mengajak masyarakat agar
mendukung RUU Ciptaker untuk disahkan. Banyak yang tanya, apakah para
artis ini memang sengaja di-endors untuk mendukung pengesahan RUU yang akan menyengsarakan
para pekerja? Jika membaca hal ini, maka para artis atau selebritis pasti akan kaget
bahwa Omnibus Law yang sedang didukungnya ini akan menyengsarakan nasib puluhan juta pekerja
perempuan di Indonesia

Tim Konde.co

Aliansi GERAK Perempuan, aliansi
yang terdiri kurang lebih 200 organisasi perempuan adalah aliansi yang menolak
penegsahan Omnbus Law Cipta kerja, bersama masyarakat sipil lain dan aktivis
buruh lainnya, mereka melakukan aksi turun ke jalan di Jakarta pada Jumat, 14 Agustus 2020.

GERAK Perempuan menyatakan RUU
Ciptaker memberi dampak buruk yang secara langsung menyasar perempuan di
perindustrian, pertanian, kehutanan, dan perikanan, serta perempuan masyarakat
adat dan minoritas:

Pertama, Omnibus Law akan membawa kerentanan perempuan pekerja terhadap
hilangnya akses penghidupan yang layak




Pasal dalam Omnibus Law akan menyebabkan potensi terjadinya
pelanggengan eksploitasi perempuan buruh yang sudah lama terjadi yang utamanya terjadi
di sektor padat karya yang berorientasi ekspor seperti manufaktur baik alas
kaki maupun garmen.




Kedua, Omnibus Law dan Lemahnya Posisi Perempuan Buruh dalam
Perundingan Kerja

Semua buruh akan dikontrak, tidak ada lagi pekerja tetap. Momok
ini akan menjadi celah pengusaha untuk terus melanggengkan pelanggaran hak-hak
normatif terhadap perempuan buruh seperti bekerja dengan sistem kontrak, sistem
kontrak dengan periode kerja minimum maupun tidak adanya kontrak, bekerja
dengan sistem target, jam kerja yang panjang, fasilitas Kesehatan dan
Keselamatan Kerja (K3) yang belum memadai, kekerasan dari atasan, dan sebongkah
masalah lainnya yang menjadi lingkaran kekerasan perempuan sebagai buruh.

Ketiga, Penetapan Waktu Kerja dalam Omnibus Law
Abai atas Realitas Perempuan Buruh di Luar Pasar Kerja




Sebagaimana diuraikan sebelumnya, jam kerja panjang dialami
oleh perempuan buruh untuk memenuhi target produksi harian, terutama pada
sektor-sektor padat karya manufaktur yang berorientasi ekspor. Baik di sektor
konveksi dan garmen, rokok, maupun industri pengolahan udang, terdapat kasus
dimana perempuan bekerja lebih dari 40 jam per minggu, tanpa diiringi oleh
penerimaan hak upah yang layak. Oleh karenanya, pasal 77A dalam RUU ini yang
memberikan keleluasaan bagi pengusaha untuk menetapkan waktu kerja “untuk jenis
pekerjaan atau sektor usaha tertentu”, berpotensi memperkerjakan perempuan
dengan waktu yang lebih panjang. Kantong masalah ini terus akan berpotensi
menyebabkan perempuan buruh bukan hanya dibayar murah namun bekerja dengan
waktu yang ditentukan oleh kewenangan perusahaan, dimana perempuan harus
membayar biaya sosial akibat dari waktu kerja yang panjang.




Ketika laki-laki secara leluasa bekerja lembur berbayar,
perempuan yang bekerja lembur sering kali mendapatkan label sebagai perempuan
yang tidak memprioritaskan keluarga, sehingga mereka harus membayar pajak
reproduksi dari penghasilannya, yang tidak dikenakan pada laki-laki.11 Masih
kentalnya ekspektasi masyarakat terhadap peran perempuan di ranah produksi
tanpa diiringi oleh ketersediaan sarana penitipan anak, hanya menyebabkan
kerentanan perempuan untuk tidak bertahan dalam pasar kerja karena tuntutan jam
kerja dan beban perempuan untuk membelah diri di ranah domestik maupun pabrik.
Pada akhirnya, hal ini mempengaruhi TPAK perempuan dan sedikitnya peluang
perempuan




Keempat, Omnibus Law Melanggar Hak Maternitas
Perempuan




Tidak adanya aturan mengenai cuti haid dan cuti melahirkan
sebagai hak perempuan buruh dalam pasal 93 ayat 2 RUU Cipta Kerja, menyebabkan
peminggiran hak maternitas perempuan atas nama kepentingan kapital. Hak cuti
haid selama dua hari per/bulan dan cuti melahirkan selama tiga bulan, tidak
diatur sebagai hak perempuan buruh untuk mendapatkan masa istirahatnya ketika
periode maternitasnya berlangsung, yang sebelumnya diatur dalam pasal 81 (untuk
cuti haid) dan pasal 82 (untuk cuti melahirkan) dalam UU Ketenagakerjaan No.13
Tahun 2013. Meskipun dalam klausul RUU Cipta Kerja memuat UU Ketenagakerjaan
No. 13 Tahun 2013 yang mengatur cuti haid dan melahirkan masih akan berlaku,
akan tetapi pasal lain dalam Omnibus Law Cipta Kerja menganulir kewajiban
pemberian upah bagi perempuan pekerja yang mengambil hak cutinya. Oleh karena
itu, substansi dari pemberian cuti haid dan cuti maternitas sebagai hak
kesehatan dan keselamatan kerja bagi pekerja perempuan sebenarnya gugur. Hal
itu karena pekerja perempuan yang mengambil hak cuti haid dan cuti




Penghapusan hak maternitas perempuan di tempat kerja yang
tertuang dalam pasal 93 ini, hanya melanggengkan pelanggaran hak para pengusaha
terhadap perempuan buruh yang kerap melakukan PHK terhadap perempuan hamil dan
melahirkan, seperti yang terjadi dalam berbagai kasus hubungan industrial baik
di industri makanan maupun minuman maupun konveksi, garmen, dan alas kaki

Kelima, Ancaman Omnibus Law bagi Perempuan Masyarakat Adat



Salah satu masalah yang disorot dan diuraikan dalam halaman
118 Naskah Akademik Rencana Omnibus Law menguraikan bahwa salah satu masalah
yang ada saat ini adalah “masih sulitnya memperoleh lahan dalam melakukan
investasi di Indonesia



Beberapa isu Rancangan Omnibus Law, termasuk potensi dampak
destruktif terhadap perempuan adat: Prosedur Penyusunan Rancangan Omnibus Law
Melanggar Hak Masyarakat Adat untuk Berpartisipasi dalam Proses Pembentukan
Hukum, Omnibus Law Menghancurkan Lingkungan Hidup dan Sumber-Sumber Kehidupan
Perempuan, Omnibus Law Mengancam Kedaulatan Pangan dan Perempuan Produsen Pangan,
Omnibus Law menambah Kerentanan dan Potensi Kriminalisasi Masyarakat Adat,
termasuk Perempuan Adat.




Keenam, Ancaman Omnibus Law bagi perempuan di
sektor pertanian, kehutanan dan perikanan



Rancangan Omnibus Law berpotensi negatif terhadap pekerja di
sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan, khususnya pekerja di sektor
informal, yang mayoritas adalah perempuan dari kelas ekonomi lemah. Terdapat
empat area yang akan terdampak jika Rancangan Omnibus Law disahkan, yakni:
tidak mengakui keberadaan nelayan tradisional, menyederhanakan perizinan dan
lemahnya pengawasan.



Ketujuh, Ancaman RUU Cipta Kerja Bagi Perempuan
Kelompok Minoritas (Agama/Keyakinan)




RUU Omnibus Law Cipta Kerja Pasal 82 berbunyi “Ketentuan
Pasal 15 UndangUndang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4168) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15 (1) d
Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan
Pasal 14, Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang: mengawasi
aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan
bangsa. Dalam penjelasan “yang dimaksud dengan “aliran” adalah semua
aliran atau paham yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan
dan kesatuan bangsa antara lain aliran kepercayaan yang bertentangan dengan
falsafah dasar Negara Republik Indonesia”.




Ketentuan ini melanggengkan stigma, penyingkiran,
diskriminasi dan pelanggaran HAM yang terjadi berpuluh-puluh tahun kepada
kelompok minoritas agama atau keyakinan.

Tuntutan GERAK Perempuan

Oleh karena itu, berdasarkan data dan beberapa ilustrasi
kasus di lapangan yang sudah dipaparkan, maka GERAK Perempuan merekomendasikan:




1. DPR RI menghentikan pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja
seluruhnya dan Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo mencabut Surat Presiden
Nomor R-06/Pres/02/2020




2. Melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan
Kekerasan Seksual (RUU P-KS)




3. Ketua & Wakil Ketua DPR RI, Ketua-Ketua Fraksi Partai
Politik DPR RI untuk mendukung penetapan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga
sebagai RUU inisiatif DPR pada Rapat Paripurna Masa Persidangan IV tahun sidang
2020.




4. Membahas dan mengesahkan RUU Masyarakat Adat



5. Meratifikasi Konvensi ILO

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!