Hari Perempuan Internasional 2024

Hari Perempuan Internasional, Perjuangkan Investasi Gender dan Jaga Demokrasi Perempuan

Ada sejumlah tema dalam peringatan Hari Perempuan Internasional 2024 ini. Jika PBB menggunakan tema “Invest in Women. Accelerate Progress,” para perempuan yang turun ke jalan di Jakarta mengambil tema ‘adili Jokowi perusak demokrasi.’

PBB mengusung tema “Invest in Women. Accelerate Progress” untuk merayakan Hari Perempuan Internasional 2024. Arti tema ini adalah bagaimana kita bisa berinvestasi pada perempuan dan untuk mempercepat kemajuan perempuan 

Tema ini menyoroti pentingnya investasi dana untuk kesetaraan gender. Di tengah berbagai krisis yang terjadi saat ini, mencapai kesetaraan gender sangat penting diperjuangkan

“Tahukah kamu bahwa salah satu tantangan utama dalam mencapai kesetaraan gender di tahun 2030 adalah kurangnya pendanaan. Pendanaan tahunan untuk upaya mendorong kesetaraan gender berkurang hingga 360 milyar USD,” tulis UN Women dalam laman Instagramnya

Beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk perempuan dan anak-anak di dunia yaitu, mendorong pemberdayaan ekonomi perempuan, mendukung dana untuk perempuan dan anak-anak dalam dana pengembangan gender

Hari Perempuan Internasional (International Women’s Day/IWD) menjadi momentum yang tepat bagi Aliansi Perempuan Indonesia di Jakarta untuk menyatakan sikap terhadap pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo. Ini sebagai bentuk perjuangan perempuan Indonesia melawan ketidakadilan yang semakin nyata ditunjukkan di akhir masa pemerintahan Joko Widodo.

Baca Juga: Memanggil Para Perempuan Geruduk Istana di IWD 2024: Adili Jokowi, Perusak Demokrasi!

Aksi di Jakarta 8 Maret 2024  ini sebagai tonggak perjuangan perempuan untuk mengakhiri segala bentuk kekerasan, pelecehan, dan diskriminasi gender yang terjadi di seluruh dunia. Tema yang diusung pada Hari Perempuan Internasional 2024 ini adalah “Perempuan Indonesia Geruduk Istana, Adili Jokowi, Perusak Demokrasi!”. 

Hari Perempuan Internasional, dalam sejarah lahirnya, terjadi dalam pergolakan sosial yang besar, diwarnai dengan tradisi protes dan aktivisme politik yang dilakukan para buruh perempuan.

Bertahun-tahun sebelum tahun 1910, pada pergantian menuju abad 20, para buruh perempuan di negara-negara yang tengah mengalami industrialisasi, mulai memasuki masa kerja upahan.

Pekerjaan para buruh dipisahkan menurut jenis kelamin, dan umumnya para buruh perempuan ditempatkan di industri tekstil, manufaktur, dan layanan-layanan domestik dimana kondisinya sangat parah dan menyengsarakan mereka.

Saat itu adalah masa dimana serikat-serikat buruh tengah mengalami perkembangan. Di sisi lain sengketa-sengketa industrial mulai meletus, termasuk sengketa yang muncul di antara seksi-seksi pekerja perempuan yang tidak bergabung dalam serikat. Eropa saat itu tengah berada dalam kemungkinan terseret ke dalam api revolusi.

Baca Juga: Edisi Khusus Hari Perempuan Internasional: Puan Maharani Dalam Pusaran RUU PPRT

Banyaknya perubahan dalam kehidupan buruh perempuan inilah yang kemudian mendorong munculnya perlawanan terhadap batasan-batasan politik di sekitar mereka.

Di sisi yang lain, saat itu seluruh penjuru Eropa, Inggris, Amerika, dan kurang lebih juga di Australia, para perempuan dari seluruh lapisan sosial kemudian berjuang dan berkampanye untuk menuntut hak pilih dalam pemilihan umum.

Beberapa kelompok sosialis memandang bahwa tuntutan terhadap hak pilih terhadap perempuan kurang begitu penting dalam gerakan kelas pekerja, sementara beberapa feminis sosialis seperti Clara Zetkin dari Jerman dan Alexandra Kollontai, berhasil memperjuangkan hak pilih untuk diterima sebagai bagian penting dari program kelompok sosialis.

Kelompok sosialis lain menyatakan bahwa lebih penting menghapus kepemilikan pribadi terlebih dahulu daripada berkampanye menuntut hak pilih yang mana kalau hal itu berhasil seperti di Inggris akan berakibat hak pilih juga untuk kaum perempuan dari kalangan berpunya.

Di Amerika Serikat (AS) pada tahun 1903, serikat buruh perempuan dan para perempuan pekerja profesional mulai berkampanye untuk hak pilih bagi perempuan yang kemudian mendirikan Liga Serikat Buruh Perempuan untuk membantu mengorganisir buruh perempuan yang berada di kerja upahan untuk memperjuangkan kepentingan politik dan kesejahteraan ekonomi mereka.

Tahun-tahun tersebut merupakan masa-masa pahit bagi banyak buruh perempuan yang berada dalam kondisi kerja yang parah dan tinggal di pemukiman kumuh serta rentan terhadap kekerasan.

Baca Juga: Pernyataan Terbuka Gerak Perempuan Soal Pelaku Pelecehan Aksi IWD 2020

Tahun 1908, pada minggu terakhir di bulan Februari, kelompok perempuan sosialis di Amerika menyelenggarakan Hari Perempuan Nasional yang pertama dengan melancarkan demonstrasi besar untuk menuntut hak pilih bagi perempuan serta hak-hak ekonomi dan politiknya sekaligus. Tahun berikutnya sebanyak 2.000 orang turut menghadiri peringatan Hari Perempuan Nasional di Manhattan.

Di tahun 1909, pekerja garmen perempuan mulai melancarkan pemogokan massal. Dimana sebanyak 20.000 hingga 30.000 buruh perempuan mogok selama 13 minggu di suatu musim dingin demi menuntut upah yang lebih besar dan kondisi kerja yang lebih baik. Liga Serikat Buruh perempuan menyediakan dana bantuan bagi para demonstran baik untuk mendanai pemogokan massa itu sendiri maupun untuk membebaskan para demonstran yang ditangkap polisi.

Di tahun 1910 berikutnya Hari Perempuan mulai diselenggarakan oleh semua buruh perempuan sosialis dan feminis di seluruh negara. Beberapa bulan kemudian berbagai delegasi kemudian menghadiri penyelenggaraan Kongres Perempuan Sosialis di Kopenhagen dengan niatan untuk mengajukan Hari Perempuan sebagai suatu hari peringatan internasional.

Kongres ini sebenarnya terinspirasi oleh tindakan dari para pekerja perempuan AS dan juga dari feminis sosialis mereka yaitu Clara Zetkin, yang juga telah menawarkan proposal kerangka kerja untuk mengadakan konferensi perempuan sosialis dimana perempuan sedunia harus memfokuskan diri untuk memperjuangkan satu hari khusus untuk peringatan hari perempuan internasional demi menuntut hak-hak mereka.

Sehingga berhasil dilaksanakan lah konferensi yang dihadiri lebih dari 100 perempuan dari 17 negara yang mewakili serikat-serikat buruh, partai-partai sosialis, kelompok-kelompok perempuan pekerja, dan termasuk tiga perempuan pertama yang terpilih dalam Parlemen Finlandia, yang mana semuanya menyambut saran dari Clara Zetkin dengan persetujuan bulat sehingga sebagai hasilnya di capailah kesepakatan untuk Hari Perempuan Internasional diperingati setiap tanggal 8 Maret.

Baca Juga: Pelecehan Seksual dalam Aksi IWD 2020: Tidak Hanya Buruh, Tapi Juga Aparat

Konferensi tersebut juga menyorot ulang mengenai pentingnya hak pilih bagi kaum perempuan, hak pilih yang tidak didasarkan oleh hak milik serta menyerukan suatu emansipasi universal—hak pilih baik bagi kaum perempuan dan laki-laki dewasa.

Warna yang melambangkan IWD 2024 adalah ungu, hijau dan putih, yaitu melambangkan keadilan dan martabat (ungu), harapan (hijau), dan kemurnian (putih). 

Tidak hanya merayakan pencapaian perempuan, IWD juga selama ini menyoroti isu-isu relevan perempuan. Mulai dari ketidaksetaraan sampai kekerasan berbasis gender yang terus terjadi. Isu ini bisa dibaca sesuai konteks wilayah serta cara masing-masing perempuan di berbagai negara di dunia. 

IWD adalah milik semua orang, dimanapun. Inklusi dalam IWD 2024 ini, juga berarti semua tindakan IWD yang digerakkan oleh para perempuan ini adalah valid. 

Di Indonesia misalnya, para perempuan yang tergabung dalam Aliansi Perempuan Indonesia menyuarakan isu perempuan dan demokrasi yang tengah jadi perhatian. Pada momentum IWD 2024 yang mengusung tema “Perempuan Indonesia Geruduk Istana, Adili Jokowi, Perusak Demokrasi!’ ini, perempuan Indonesia bergerak melawan ketidakadilan yang semakin nyata di akhir pemerintahan presiden Joko Widodo (Jokowi).

Penentuan tema itu bukannya tanpa alasan. Selama ini, Jokowi dinilai semakin pro-oligarki dan berpotensi menghancurkan demokrasi lewat manuver yang dilakukannya. Segala kebijakan dibuat tidak lagi mementingkan rakyat Indonesia, termasuk perempuan. 

Baca Juga: Petani Digusur Aktivis Dibungkam, Merdeka Harusnya Tidak Begini

Pemilu 2024 menjadi puncak dari kemerosotan demokrasi di Indonesia. Presiden dengan segala “cawe-cawenya” seolah menunjukkan ketidaknetralannya terhadap kontestasi politik yang sedang berjalan. Mulai dari putusan Mahkamah Konstitusi–kala itu diketuai oleh Anwar Usman, suami adik Presiden Joko Widodo–yang memberikan karpet merah untuk putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka melenggang menjadi calon wakil presiden. Padahal, usianya belum genap 40 tahun.

Selain itu, Jokowi juga ikut bagi-bagi bantuan sosial (bansos) di beberapa daerah. Bahkan, Jokowi secara blak-blakan menyebut dirinya boleh berkampanye selagi mengambil cuti dan tidak memanfaatkan fasilitas negara.

Hal ini tentu sudah keterlaluan dan tidak bisa ditoleransi. Jika dibiarkan, kondisi tersebut justru membuat demokrasi semakin memburuk. Alih-alih mempertahankan dan menjadikannya lebih baik, Jokowi justru mengkhianati cita-cita reformasi dengan agenda politik yang dijalankannya.

Dalam situasi politik hari ini, perempuan Indonesia juga menghadapi berbagai situasi sulit. Mulai dari aturan yang tak berpihak pada perwakilan perempuan minimal 30% di parlemen. Juga adanya UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) yang turut andil dalam pemiskinan perempuan secara sistematis. 

Belum lagi bicara soal kekerasan terhadap perempuan yang kasusnya sering ditemui di sekitar. Menurut Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2023, sebanyak 457.895 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi sepanjang 2022. Meski terjadi penurunan angka dari tahun sebelumnya, tidak menutup kemungkinan masih banyak kasus yang tidak dilaporkan.

Baca Juga: Pameran ‘Speak Up’, Anak-Anak Bersuara Melawan Isu Kekerasan Seksual

Pasca disahkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), belum ada aturan turunan yang dibuat untuk melengkapinya. Padahal, laporan kasus kekerasan seksual terus masuk.

Pemerintah seolah abai dengan banyaknya kasus kekerasan yang menimpa perempuan. Korban merasa kesulitan mendapat kepastian dan keadilan. Belum lagi stigma, perlakuan diskriminatif, dan reviktimisasi yang rentan dialami oleh perempuan korban.

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!