Lembaga Agama Bukan Tempat yang Imun Dari Kekerasan Seksual


Lembaga berbasis agama bukan tempat yang imun dari kekerasan seksual. Kasus kekerasan seksual yang dilaporkan juga terjadi di lembaga keagamaan, termasuk di antaranya gereja dan Pondok pesantren (Ponpes). Bahkan, pelakunya adalah tokoh agama di lembaga keagamaan. Penting bagi tokoh agama untuk menghapus kekerasan seksual

Tim Konde.co

Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) mengungkap adanya sembilan pengaduan kekerasan seksual dengan pelaku tokoh agama dalam kurun waktu 2019-2020. 

Rata-rata korban kekerasan seksual tersebut adalah anak-anak. Sementara, pelakunya adalah ustaz, pemilik pondok pesantren, hingga pendeta.

Melihat data ini, tokoh agama terbukti memiliki peran sentral dalam upaya penghapusan kekerasan seksual yang tidak hanya terjadi di internal lembaga keagamaan tetapi juga di ranah publik secara umum. 

Dalam diskusi daring yang digelar LBH APIK Jakarta pada 29 Juni 2020, sejumlah tokoh lintas agama sepakat bahwa upaya penghapusan kekerasan seksual harus melibatkan tokoh agama. Akan tetapi, pelibatan tokoh agama tersebut membutuhkan sejumlah upaya untuk dapat mewujudkan penghapusan kekerasan seksual.  

Pendeta Ira Imelda dari Women Crisis Center Pasundan Darebang menyatakan bahwa tokoh agama, dalam hal ini pendeta di gereja, memiliki peran strategis yang tidak hanya memimpin tetapi juga mendampingi umatnya. Dalam peran tersebut, karena tokoh agama ditempatkan lebih tinggi dibandingkan yang lain atau dipandang sebagai orang yang bisa dipercaya. Selain itu, mereka dipandang memiliki spiritualitas yang tinggi sehingga sering kali dipercaya sebagai sumber kebenaran. 

Posisi strategis tokoh agama tersebut memunculkan relasi kuasa yang penting disadari dalam upaya penghapusan kekerasan seksual. 

“Kalau sadar ada relasi yang timpang, jika ada pemimpin gereja yang berani menyatakan kekerasan seksual adalah persoalan, ini menjadi penting,” ujar Pendeta Ira Imelda.

Untuk menghapus kekerasan seksual, di dalam institusi gereja maupun masyarakat, Pendeta Ira menjelaskan butuh setidaknya 5 hal yang harus dilakukan yaitu:

1.Pandangan teologis mengenai kekerasan seksual.

Kalau gereja yang mengatakan bahwa kekerasan seksual itu dosa, maka itu akan terlihat dari bukan hanya rumusan teologis, tapi juga aksi untuk pemulihan korban dan menindak pelaku kekerasan seksual…Posisi teologis ini penting karena memengaruhi bagaimana kita menyikapi laporan atau pengaduan situasi kekerasan seksual

Ira mengakui tidak jarang ketika pemimpin gereja atau pendeta mendapat laporan kekerasan seksual dengan korban atau pelaku adalah anggota gerejanya atau bahkan pelaku dari pemimpin atau pendeta, tuntutan kepada korban lebih tinggi: 

“Kamu harus memaafkan dan mengampuni, kamu harus menunjukkan kasih dan lain sebagainya. Sementara, pelaku didiamkan tanpa tuntutan untuk mengakui dan bertanggungjawab atas perbuatannya secara hukum sebagai wujud pertobatan. Apalagi, jika pelaku kekerasan seksualnya adalah pemimpin atau tokoh agama, maka nama baik institusi bisa dianggap sangat penting dibanding nyawa manusia atau korban. Kalau ini terjadi harus ada pertobatan ya di dalam lembaga itu, bagaimana mungkin kejahatan ditutupi dengan kejahatan, itu sudah melanggar tugas panggilan gereja.”

2. Institusi agama: tata kelola dan keberadaan kode etik atau pedoman berperilaku dan sanksi jika ada pemimpin agama melakukan kekerasan seksual. 

Gereja juga membutuhkan mekanisme pengaduan yang memberikan perlindungan bagi korban. Pendeta Ira menekankan pentingnya standar prosedur layanan dan sistem rujukan untuk pendampingan dan layanan korban kekerasan seksual.

3. Program pencegahan

Menurut Pendeta Ira, diperlukan edukasi yang mendidik anggota gereja mengenai tubuh dan seksualitas agar tidak bisa diobjektifikasi. Pendidikan tersebut harus muncul secara konkret di dalam kurikulum dan materi pembinaan sehingga upaya penghapusan kekerasan seksual dilakukan dari hulu sampai hilir.

Institusi agama, kata Ira, juga membutuhkan program pemulihan bagi korban kekerasan seksual. Gereja perlu memastikan terpenuhinya hak atas keadilan dan jaminan peristiwa serupa tidak berulang. 

“Program pemulihan bisa dilakukan baik litigasi maupun nonlitigasi seperti bekerja sama dalam penanganan hukum. Terakhir, gereja juga perlu memiliki program advokasi lewat kerja sama dengan jaringan.  Gereja bisa mendokumentasikan kasus dan mengemasnya menjadi bahan advokasi, kampanye publik, dan advokasi kebijakan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.”

“Catatan pentingnya, pemimpin harus peka mendengarkan korban, tidak menyalahkan korban, adillah sejak dalam pikiran dengan tidak menyalahkan atau menghakimi korban termasuk menggunakan teks-teks kitab suci yang memaksa korban untuk melupakan, mengampuni tanpa pemberian pertolongan atau pemulihan kepada korban,” ujarnya.  

Ketua LAKPESDAM PCNU Kecamatan Sukabumi, Daden Sukendar juga mengakui tokoh agama memiliki peran strategis termasuk edukasi, pencerahan kepada masyarakat, menyampaikan ajaran agama, hingga memutuskan perkara yang dihadapi masyarakat. Namun, dia menyadari peran tokoh agama masih sangat kurang terutama sinergi dengan pemerintah untuk penghapusan kekerasan seksual. 

“Alih-alih ada sinergi penghapusan kekerasan seksual, justru pelakunya adalah tokoh agama,” ujarnya. 

Oleh karena itu, Daden menekankan tokoh agama perlu dirangkul untuk memperkuat perannya dalam penghapusan kekerasan seksual.

Upaya untuk melibatkan tokoh agama tersebut dapat dilakukan dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) para tokoh agama untuk merespons kasus-kasus kekerasan seksual. 

Selain itu, Daden menyebut perlunya sarana prasana dalam memperkuat peran tokoh agama dan pembiayaan untuk penanganan kekerasan seksual. Jika itu terpenuhi, pelibatan dinyatakan berhasil jika kasus kekerasan seksual diterima dan direspons oleh tokoh agama. Secara spesifik, Daden memberikan contoh pada implementasi program Keluarga Berencana (KB) pada masa orde baru yang turut digaungkan oleh tokoh agama. 

“Kenapa sekarang tidak, bisa saja dilontarkan penghapusan kekerasan seksual di tempat ibadah sehingga tokoh agama mampu mendorong terwujudnya legislasi dan pengawasan penerapan peraturan perundang-undangan, adanya keterlibatan tokoh agama dalam masukan dan merumuskan kebijakan, dan tokoh agama mampu memberikan persepsi baik dan benar,” ujarnya.

Kerja sama antara pemerintah dan tokoh agama dinilai turut menjadi faktor penting dalam penghapusan kekerasan seksual. Sinergi tersebut dapat diwujudkan dalam penganggaran, peningkatan kapasitas tokoh agama, dan pembahasan serta pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual agar memiliki payung hukum yang komprehensif, integral, dan holistik.

Sinergi Tokoh Agama dan Tokoh Adat

Sinergi tokoh agama dalam penghapusan kekerasan seksual pun bisa dilakukan dengan tokoh adat. Putu Suma Gita dari Perhimpunan Pemuda Hindu Indonesia menekankan sinergi yang kuat antara tokoh agama, tokoh adat, dan pemangku desa mampu menentukan upaya pencegahan kekerasan seksual. Sosialisasi yang menggandeng tokoh sentral di desa adat telah dilakukan oleh LBH APIK Bali selama ini. Sosialisasi tersebut menggandeng tokoh agama untuk menjelaskan kekerasan seksual bertentangan dengan ajaran agama ke desa adat. 

Selain upaya preventif, sinergi tersebut juga berperan dalam penanganan kasus kekerasan seksual karena setiap desa memiliki hukum adat tersendiri.

Selain berbagai upaya pelibatan tokoh agama dalam menghapus kekerasan seksual, Koordinator Publikasi DPP Perwakilan Umat Buddha Indonesia, Rusli Tan menekankan perlunya mekanisme sanksi di internal institusi agama. Berbagai aturan ketat dengan sanksi untuk membatasi perilaku tokoh agama di institusi agama dan dalam memberikan layanan kepada umat dinilainya menjadi upaya pencegahan kekerasan seksual. Aturan itu melengkapi hukum negara yang mengatur sanksi bagi pelaku kekerasan seksual.

Pentingnya peran tokoh agama dalam penghapusan kekerasan seksual tersebut memang menyisakan persoalan saat pelaku adalah tokoh agama sendiri. Adanya relasi kuasa dalam institusi agama bisa membatasi penanganan kasus kekerasan seksual. Oleh karena itu, mekanisme di internal institusi agama harus mampu membatasi kekuasaan absolut tokoh agama dan mengatur sanksi termasuk pencabutan posisinya sebagai pemimpin atau tokoh agama. 

Mekanisme kontrol internal tersebut juga perlu diimbangi dengan kesadaran jamaah atau umat agama masing-masing atas kekerasan seksual. Dengan begitu, pengawasan terhadap lembaga keagamaan termasuk tokoh agama di dalamnya dapat dilakukan. Semua itu demi menghapus kekerasan seksual di semua tempat, termasuk institusi keagamaan yang selama ini kerap dianggap sebagai ruang aman bagi umat. 

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!