Aktivis: Pemerintah Mestinya Punya Sensitivitas Gender Dalam Penanganan Bencana

Bencana selalu membuat perempuan punya situasi sulit karena memiliki kondisi biologis yang berbeda, menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui. Perempuan juga harus mengerjakan pekerjaan domestik dan rentan menjadi korban kekerasan. Sudahkah pemerintah punya sensitivitas gender dalam penanggulangan bencana?

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, setidaknya pada tiga pekan pertama bulan Januari 2021, ada 136 bencana terjadi di Indonesia seperti banjir, tanah longsor, puting beliung, gempa bumi, dan gelombang pasang. Termasuk gempa dengan kekuatan 5,9 magnitudo yang terjadi di Majene, Sulawesi Barat pada Kamis 14 Januari 2021 lalu disertai gempa susulan.

Sejumlah bencana yang terjadi tersebut telah menyebabkan 568,826 jiwa mengungsi, 140 jiwa meninggal dunia, 776 terluka dan 13 jiwa dinyatakan hilang.

Dalam pernyataan pers Solidaritas Perempuan yang diterima www.konde.co, Dinda Nuur Annisaa Yura, Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan menyebutkan tentang pernyataan Presiden Jokowi dalam kunjungannya ke lokasi banjir di Kalimantan Selatan pada hari Senin (18/1/2021) lalu, justru memperlihatkan tindakan melindungi oligarki tambang dan sawit, tak terlihat punya sensitivitas gender

“Jokowi mengatakan bahwa bencana alam berupa banjir di Kalimantan disebabkan oleh curah hujan yang tinggi. Ini sama saja menafikan kerusakan alam yang terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia demi kepentingan industri ekstraktif dan perkebunan skala besar seperti sawit.”

Soolidaritas Perempuan melihat, krisis iklim yang tak kunjung ditangani dengan serius juga berkontribusi signifikan terhadap tingginya frekuensi bencana yang terjadi di berbagai wilayah.

Apa Yang Terjadi Pada Perempuan Dalam Situasi Bencana?

Dalam situasi darurat seperti bencana, perempuan termasuk kelompok rentan yang harus mendapat perhatian khusus.

“Pasalnya, perempuan memiliki kondisi biologis yang berbeda dari entitas masyarakat yang lainnya, seperti menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui. Tidak hanya itu, perempuan juga masih harus melakukan pekerjaan domestik yang bebannya melekat pada perempuan, seperti merawat anak, menyediakan makanan, mencuci dan lain-lain,” kata Dinda Nuur Annisaa

Sementara itu, perempuan juga rentan menjadi korban kekerasan, baik disebabkan oleh pandangan yang merendahkan martabat perempuan maupun kemiskinan akibat bencana juga kerap mengorbankan perempuan.

Bagaimana Penanganan Terhadap Perempuan Dalam Situasi Bencana?

Catatan Solidaritas Perempuan dalam penanganan bencana gempa bumi, tsunami dan likuifaksi di Sulawesi Tengah pada 2018 lalu, perempuan dalam situasi darurat bencana mengalami kekerasan seksual, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), hingga terjerat dalam kemiskinan yang kemudian menjerumuskan perempuan dalam pernikahan usia dini, termakan bujuk rayu calo untuk menjadi pekerja migran di luar negeri, bahkan menjadi pekerja seks dan korban trafficking.

Berdasarkan situasi tersebut, proses adaptasi dengan situasi bencana menjadi lebih berat bagi perempuan. Sehingga penanganan bencana perlu memperhatikan kebutuhan spesifik perempuan, seperti ketersediaan air bersih, kamar mandi terpisah, penampungan sementara yang memperhatikan keamanan perempuan dari tindak kejahatan seksual, dll.

Selain itu penanganan bencana juga harus menyediakan pelayanan trauma bagi perempuan. Karena perempuan kerap mengenyampingkan traumanya untuk memastikan kondisi keluarga dan komunitasnya.

Oleh karenanya, Solidaritas Perempuan mendesak pemerintah menghentikan seluruh aktivitas investasi dan industri yang menjadi akar penyebab timbulnya bencana ekologi yang berdampak pada masyarakat, khususnya perempuan. Lalu memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan dalam pembangunan infrastruktur dan mengkonsultasikannya kepada masyarakat, terutama perempuan

“Dan menjalankan Peraturan Kepala (Perka) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) No. 13 Tahun 2014 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Penanggulangan Bencana dan Peraturan Mentri (Permen) Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) tentang Pelindungan Perempuan dan Pelindungan Anak dari Kekerasan Gender dalam Bencana, termasuk yang berkaitan dengan penyediaan data terpilah gender agar penanganan terhadap perempuan dalam situasi bencana dapat dilakukan secara tepat dan menyasar kebutuhan spesifik perempuan.”

Dan terakhir, melibatkan perempuan dalam mitigasi dan adaptasi kebencanaan, termasuk dalam segala pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kebencanaan

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Poedjiati Tan

Psikolog, aktivis perempuan dan manager sosial media www.Konde.co. Pernah menjadi representative ILGA ASIA dan ILGA World Board. Penulis buku “Mengenal Perbedaan Orientasi Seksual Remaja Putri.”
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!