Aktivis: Tak Bisa Ditunda Lagi, DPR Harus Segera Mengesahkan RUU PKS

Walaupun mengapresiasi kerja-kerja DPR dalam membuat Rapat Dengar Pendapat dan membentuk Panja, aktivis perempuan tetap meminta DPR untuk segera memenuhi hak korban dan segera sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) mengapresiasi kerja Badan Legislasi (Baleg) DPR RI yang telah empat kali menyelenggarakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dan telah membentuk Panitia Kerja (PANJA) RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

Para aktivis perempuan dalam pernyataan pers yang diterima Konde.co pada 17 Juli 2021 menilai, Baleg DPR RI terus bekerja keras mewujudkan pengesahan RUU PKS pada prolegnas 2021, meskipun saat ini Indonesia sedang mengalami gelombang tinggi Covid-19, namun terakhir Baleg telah menyelengarakan RDPU selama dua hari berturut turut. 

Pada tanggal 12 dan 13 Juli 2021, Panja telah menghadirkan kelompok yang potensial melakukan penolakan maupun yang mendukung RUU PKS, termasuk mengundang perwakilan jaringan masyarakat sipil, praktisi dari Psikolog P2TP2A Jakarta, Konferensi Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), cendekiawan muslimah Perguruan Tinggi Ilmu Qur’an (PTIQ) Jakarta, pakar hukum Universitas Gajah Mada dan guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Sebagaimana dalam RDPU, psikolog UPT P2TP2A DKI Jakarta, Vitria Lazarini menyampaikan fakta lapangan bahwa kekerasan seksual semakain tinggi dialami oleh anak perempuan, khususnya dimasa Pandemi Covid-19. Kekerasan seksual (KS) dilakukan dengan mengunakan modus bujuk rayu, relasi kuasa, tipu daya, gank rape. Proses hukum kasus KS juga sulit dibuktikan dan berdampak psikologis bagi korban. Bentuk-bentuk kasus, antara lain disebutkan kekerasan seksual yang diakukan dalam hubungan keluarga (incest), pelecehan seksual di lingkungan kerja, perkosaan berkelompok, pemanfaatan relasi pertemanan, dan pemanfaatan teknologi digital.

Proses penegakan hukum masih tidak ramah, menimbulkan kekerasan berulang dan berlapis. Hal ini mengakibatkan korban mengalami penderitaan seumur hidup. Pengalaman lembaga layanan dalam mendampingi korban menemukan 9 bentuk kekerasan seksual masih belum diadaptasi dalam bangunan hukum yang kita miliki saat ini dan belum mempertimbangkan hak-hak korban secara komprehensif. Apalagi kasus KS bukan hanya dialami perempuan dan anak, tapi juga disabilitas dan lansia. Minimnya infrastruktur dan akses masyarakat terhadap layanan pemulihan mengakibatkan hak korban terabaikan.

Dalam RDPU, kedua ahli hukum juga menyatakan bahwa Indonesia membutuhkan undang-undang tindak pidana khusus KS. Beberapa negara di Asia juga telah memiliki undang-undang khusus tentang kekerasan seksual.

Di sisi lain pada saat RDPU diketahui bahwa Baleg secara resmi belum mengeluarkan draft naskah akademik maupun RUU PKS, meski sebagian anggota dan narasumber memperoleh draft awal sebagai rujukan pembahasan.  Oleh karena itu diperlukan upaya penuntasan draft naskah akademik.

Mike Verawati mewakili Jaringan Masyarakat Sipiil untuk Advokasi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dalam pernyataan pers menyatakan bahwa inilah yang melatari Jaringan Masyarakat Sipil konsisten mengadvokasi RUU PKS.

“Perjuangan untuk menghadirkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual adalah amanat Pancasila dan UUD 1945. Juga Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang telah menjadi hukum Indonesia dengan UU 7/1984. Untuk itu kami mendorong Panja RUU PKS di Baleg DPR RI melihat draft Jaringan Masyarakat SIpil yang memiliki 6 pokok pikiran.”

Enam pokok pikiran tersebut antaralain, pertama, disempurnakannya defenisi Kekerasan Seksual, yang melahirkan 9 bentuk kekerasan seksual, sebagai upaya menyempurnakan kelemahan-kelemahan terkait jenis   kekerasan seksual yang ada dalam KUHP dan undang-undang lainnya.

Kedua, pengaturan tentang penanganan kasus meliputi proses pengaduan dan pelaporan, penyidikan, penuntutan dan peradilan menjadi acuan dalam penanganan kasus kekerasan seksual yang menjadi tindak pidana khusus.

Ketiga, mengatur pemidanaan dengan model double track system yakni hukuman pidana dan tindakan. Keempat, pemulihan korban, keluarga korban dan saksi. Kelima, menegaskan kewajiban negara akan pencegahan melalui berbagai sektor antara lain infrastuktur, tata ruang dan edukasi publik. Terakhir, mengatur mekanisme koordinasi dan pengawasan oleh/dan lintas kementerian lembaga terkait. 

Sebagai bentuk dukungan terhadap DPR-RI, Jaringan Masyarakat Sipil kemudian meminta dengan sangat kepada Pimpinan dan anggota Baleg DPR-RI untuk segera pembahasan dan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, dengan mempertimbangkan draft usulan dari Jaringan Masyarakat Sipil dan Komnas Perempuan sebagai rujukan substansi. 

“Kami juga mengusulkan kepada Baleg DPR-RI untuk membuka kesempatan RDPU kepada  pendamping korban, aparat penegak hukum yang selama ini juga menghadapi secara langsung, guna mendapat masukan faktual terkait kompleksitas penanganan korban kekerasan seksual jika tidak memiliki landasan hukum yang kuat,” kata Mike Verawati

Yustin Fendrita dari jaringan masyarakat sipil juga meminta Baleg (DPR RI) untuk tetap menerapkan prinsip transparansi, akuntable  dan partisipatif dalam setiap tahapan pembahasan RUU P-KS sebagaimana dijamin dalam UU NO 11 Tahun 2011 Tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Perundangan.

“Menghimbau kepada berbagai elemen masyarakat seperti jaringan akademisi, ahli hukum, pengacara dan pihak terlibat lain untuk terus memperkuat sinergitas dalam mengawal proses pembahasan RUU PKS di DPR RI juga melakukan dialog-dialog terbuka untuk mendukung perjuangan RUU P-KS menjadi kebijakan substantive,” kata Yustin Fendrita

Salah satu juru bicara jaringan masyarakat sipil lainnya, Lusi Peilouw kemudian meminta pemerintah, antara lain Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Indonesia (KPPPA), Kementrian Hukum dan HAM dan Kantor Staf Presiden (KSP) untuk pro aktif bersama-sama Baleg merumuskan draft naskah akademik dan RUU agar memperpendek waktu proses harmonisasi.

(Foto/ ilustrasi: Pixabay)

Poedjiati Tan

Psikolog, aktivis perempuan dan manager sosial media www.Konde.co. Pernah menjadi representative ILGA ASIA dan ILGA World Board. Penulis buku “Mengenal Perbedaan Orientasi Seksual Remaja Putri.”
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!