Perempuan Harus Berani Keluar Dari Belenggu: Ditertibkan Sampai Ranah Privasi

Cobalah baca buku Angela Frenzia Betyarini, yang berjudul Demi Keset dan Rapet. Angela menggambarkan, bagaimana selama ini perempuan ‘ditertibkan’ sampai pada ranah paling privasi: tubuh dan seksualitasnya.

Kepada tubuh perempuan, telah dikaitkan berutas-utas tanggung jawab. Ikatan itu tak terlihat tapi sangat erat, hingga membaur menjadi bagian tubuh itu sendiri. Ia penyusup yang menjajah tubuh perempuan.”

(Angela Frenzia Betyarini)

Belum lama ini, saya mendapat kabar bahwa salah seorang keponakan sekaum (anak perempuan dari sepupu laki-laki jauh) telah berada di Jakarta.

Merantau sebetulnya bukan suatu yang mengagetkan bagi kami, orang Minang. Tapi kali ini, alasannya merantau sungguh tak terduga.  

Kekagetan saya, bukan saja muncul kala ia memutuskan ‘terbang’ di tengah kasus pandemi yang lagi tinggi-tingginya di Ibu Kota Jakarta, namun dia juga masih terlampau muda, seingat saya dia seusia sekolah menengah pertama. Gerangan apa? Batin saya semakin berkecamuk, mendengar kabar dari ande (tante) jika si keponakan ini diusir dari rumah. Konon, dia kedapatan berbuat ‘mesum’. 

Perih rasanya membayangkan, anak usia belasan tahun ini, diarak oleh orang sekampung (kita menyebutnya persekusi). Sekolah hingga keluarga besarnya pun, tidak lagi mau menerimanya. Bertubi-tubi ‘pengusiran’ yang dia mesti alami. 

Kepada ande, saya sempat protes. Kenapa dia diarak? Kenapa sekolah tempat orang-orang ‘diajar’ kemudian menolaknya? Kenapa keluarga juga turut mengusirnya? Jawaban yang saya dapat dari Ande: karena bikin malu!

Pilu yang menghantam belum juga usai, beberapa hari lalu adik kandung saya juga mengabarkan bahwa kakak si keponakan kami yang diusir itu -yang menampung si adik di Jakarta-ternyata baru saja bercerai. Saya terperanjat kaget, mengingat dia baru menikah akhir Februari 2021 lalu. 

Pernikahan itu sedari awal sebetulnya juga sedikit saya sesalkan. Meski secara usia minimal pernikahan telah cukup, di usia 21 tahun, namun kesiapan yang dia miliki masih minim. Baik dari segi pengetahuan seputar pernikahan, pendidikan seksual hingga ekonomi yang belum mendukung. Dia didesak menikah keluarga, hanya karena tidak mau dia berpacaran terlalu lama. 

Tak salah dugaanku, pernikahan mereka ternyata hanya bertahan seumur jagung. Kandas setelah berjalan hanya beberapa bulan. Menyesakkannya lagi, perceraian itu terjadi kala sang istri tengah hamil. Namun, sudah digugurkan. Sang istri yang juga masih muda itu, mengalami guncangan dari pernikahan yang tidak harmonis dan penuh dengan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). 

Mendapati serentetan kabar ‘pahit’ itu, saya hanya termenung. Tidak sanggup lagi menanggapi perbincangan dengan adik kandung saya yang semula mengabarkan dengan berapi-api–sekaligus getir. 

Di momen itu, saya jadi teringat reportase teman saya, Fadiyah Alaydrus, yang tayang di Project Multatuli beberapa waktu lalu. Dia menyoroti seputar absennya edukasi seks berujung banyak korban. Konservatisme di Indonesia memang tak dipungkiri membuat edukasi seks yang komprehensif jadi barang tabu. Dampaknya, perempuan muda paling rentan menjadi korban. 

Persoalan krusial dalam reportase itu tentu bukan pepesan kosong belaka. Realitanya ada di mana-mana. Berkelindan di tengah masyarakat yang masih berkubang dalam tabu dan rasa malu. Alih-alih memberikan hak pendidikan soal seksualitas dan reproduksi pada anak dan remaja, justru lingkungan sosialnya banyak yang malah melanggengkan diskriminasi dan kekerasan: mengontrol sikap dan perilaku, mengancam hingga menghukum tanpa rasa kemanusiaan. 

Kegelisahan-kegelisahan yang memenuhi diri saya itu, terekam apik dalam sepaket buku karya Angela Frenzia Betyarini, berjudul Demi Keset dan Rapet yang kebetulan sedang saya baca. Angela menggambarkan, bagaimana selama ini perempuan ‘ditertibkan’ sampai pada ranah paling privasi sekalipun: tubuh dan seksualitasnya. Semua pengaturan itu tampak jadi pewajaran lewat wacana adat, mitos-mitos, norma sosial bahkan sampai pada tatanan agama dan negara.

Kontrol seksualitas perempuan lewat wacana adat hingga negara

Dalam bukunya ini, Angela memberikan gambaran betapa selama puluhan tahun perempuan dikontrol tubuh dan seksualitasnya. Pengontrolan ini lama-lama menjadi hal yang biasa, bahkan dianggap wajar untuk tetap terus dijalani dengan segala kerelaan hati. Ia hadir lewat berbagai aturan tak tertulis di hampir seluruh aspek kehidupan.

Sementara terkait negara, Angela menggambarkan bagaimana pengaturan atas kemampuan reproduksi dihadirkan atas dalih kepatuhan dan semangat menjalankan nasionalisme.

Pada Orde Lama, ini tampak dari bagaimana Presiden Soekarno mendorong agar perempuan punya banyak anak. Dibalut dengan wacana reproduksi perempuan dikelola dengan semangat nasionalis. Soekarno mengikutsertakan perempuan agar melahirkan banyak anak untuk membangun masyarakat sosialis Indonesia.

Kontrol atas perempuan, juga tampak pada Orde Baru. Meski tak serupa dengan Soekarno yang mendorong perempuan harus punya banyak anak, Soeharto mengatur perempuan lewat program KB, yang digaungkan demi menekan ledakan populasi penduduk. Dia juga menghadirkan organisasi Kowani untuk menjalankan panca dharma. Tugasnya, menyebarkan semangat istri sebagai pendamping setia suami, pencetak generasi penerus bangsa, pendidik dan pendamping anak, pengatur rumah tangga, serta anggota masyarakat berguna.

Contoh lain yang juga disinggung Angela, adanya larangan penggunaan celana ketat dan jeans bagi perempuan di Aceh Barat. Ada pula, larangan duduk mengangkang saat boncengan motor yang berlaku di Lhokseumawe. Belum lagi, pemberlakuan aturan tes keperawanan sebagai persyaratan melamar di sejumlah instansi pemerintah. Menjadi timpang lantaran tes yang sama nyatanya tidak berlaku untuk laki-laki.

Dalam wacana adat, aturan ini lebih kompleks lagi dan bahkan tak sedikit yang masih berlangsung hingga sekarang. Buku ini menyatakan secara gamblang masih banyaknya adat ini melibatkan wacana patriarki, tak jarang mengekang bahkan menindas perempuan. Contoh di buku ini dimulai pada tradisi sunat perempuan misalnya, alias pemotongan sebagian klitoris.

Pada aspek psikoseksual, kata Angela, pemotongan klitoris ini diharapkan akan mengurangi libido perempuan sehingga hasrat seksualnya dapat ditekan. Selanjutnya di aspek sosiologi, perempuan yang disunat diharapkan diterima dan dihargai masyarakat karena telah mewariskan tradisi leluhur.

Tradisi ini dicontohkan masih ada di beberapa masyarakat adat seperti Bugis hingga di Sulawesi. Semangat yang dikedepankan lewat sunat ini kurang lebih sama, sebagai solusi menekan hasrat seksualnya kelak, bahkan tak jarang dianggap dapat lebih membahagiakan suami.

Tes keperawanan juga berlaku dalam wacana adat dengan cara yang lebih tradisional. Misalnya saja, tradisi Ngarot di Desa Lelea, Jawa Barat. Remaja putri akan dihiasi dengan kebaya, selendang juwana, hingga perhiasan emas, dan tutup kepala yang dihiasi berbagai bunga-bunga. Masyarakat mempercayai seorang perempuan sudah dalam keadaan tidak ‘suci’ bila hiasan bunga itu layu saat upacara dilangsungkan.

Di masyarakat Tengger, uji keperawanan ini dilihat dengan tradisi Petekan. Perut bagian bawah perempuan akan ditekan oleh dukun untuk memastikan apakah dia tengah hamil atau tidak, termasuk untuk menentukan keperawanan. Mereka bakal dikenakan denda 50 sak semen apabila diketahui tidak perawan atau hamil di luar nikah. Dalam tradisi Petekan ini dikaitkan keperawanan dengan moralitas perempuan.

Contoh lain dalam buku ini yakni tradisi minum jamu hingga ramuan herbal. Ia secara gamblang membeberkan perbedaan yang sangat jelas antara laki-laki dan perempuan. Secara turun temurun, perempuan diajarkan selalu merawat vaginanya agar peret, keset, rapet, dan wangi. Upaya ini ditujukan untuk mendapatkan vagina ideal buat memberi kepuasan bagi laki-laki, dengan mengesampingkan seksualitas perempuan. Sementara laki-laki lebih diidentikan dengan keperkasaan dan stamina.

Perbedaan mencolok juga terlihat dari penamaan jamu-jamu seperti Sari Rapet, Galian Singset, Rapet Wangi dan sebagainya. Sementara jamu laki-laki, pemilihan nama seperti Kuku Bima, Kuat Pria, hingga Pria Perkasa. Tradisi minum jamu ini bahkan diawasi oleh sesama perempuan, baik oleh ibu, saudara perempuan, hingga nenek.

Pengaturan dengan mengatasnamakan adat ini masih punya banyak contoh lainnya. Di Jawa, dikenal dengan istilah Ngadi Salira, Wani Nyuwita, dan manak-macak-masak. Kesemuanya mengedepankan keharusan perempuan untuk didominasi laki-laki.

Melepaskan belenggu lewat kesadaran diri dan bantuan teknologi

Pada buku ini, Angela juga menggambarkan bagaimana teknologi dapat mampu membantu perempuan keluar dari belenggu seksualitas yang telah mendarah daging di masyarakat ini. Ia mengambil contoh kehadiran teknologi kedokteran rejuvenasi vagina sebagai media melepaskan diri.

Diperkuat dengan metode wawancara sejumlah perempuan yang melakukan rejuvenasi vagina, Angela mengemukakan bagaimana akses teknologi mampu menghadirkan pilihan lain bagi perempuan. Kendati demikian, pilihan itu tak sepenuhnya bisa membebaskan apabila keinginan peremajaan justru berangkat atas alasan membahagiakan pasangan. 

Sehingga hal mendasarnya adalah kesadaran penuh diri sendiri atas kebebasan dan hak seksualitasnya. Dalam kasus-kasus di buku ini, keinginan rejuvenasi berangkat atas kesadaran menginginkan peningkatan seksualitas pribadi serta kesehatan pribadi.

Angela dengan lugas mengakhiri tulisannya soal perempuan yang masih harus berjuang untuk terlepas dari segala konsep ideal yang diikatkan pada tubuhnya. Ada perempuan yang terjerembab menjalankan standar-standar tersebut demi merasa utuh, dicintai dan diterima masyarakat.

Dalam kasus keponakan saya, ini menjadi hal yang ditakutkan bersama sebagian besar perempuan, atas dasar menghindari label tak bermoral dengan berbagai istilah, seperti perempuan murahan hingga perempuan nakal.

Saya menyaksikan sendiri, banyak kakak sepupu perempuan saya, yang menjadi korban kekerasan dari orang tuanya sendiri: akibat keluar malam atau kedapatan berpacaran. Hingga, ancaman pengusiran yang bisa saja terjadi pada mereka– seperti yang terjadi pada keponakan sekaum saya tadi. 

Saya berharap, stigmatisasi dan belenggu seperti ini tak terus-terusan dirawat di tengah masyarakat. Kebebasan dan kesadaran diri yang utuh mesti terus diperjuangkan. 

(Foto: mojokstore.com)

Ajo Darisman

Sehari-hari bekerja sebagai jurnalis di Jakarta. Saban hari timbul tenggelam dalam liputan ekonomi bisnis. Belajar di Divisi Gender, Anak, dan Kelompok Marjinal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!