Predator Seksual Gentayangan di Sekolah dan Kampus, Kamu Mesti Waspada!

Predator seksual itu sebenarnya sudah gentayangan di mana-mana dan dari dulu ada, di sekolah dan kampus. Awalnya predator ini bisa saja memperlakukanmu secara baik, pura-pura ramah, tapi kemudian mengancam dan melecehkan murid atau mahasiswi

Predator seksual sudah ada sejak dulu, bahkan di lingkungan sekolah dan kampus. 

Jauh sebelum hadirnya Permendikbud untuk Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual, predator seksual sudah lama hadir di mana-mana. Mereka tidak hanya berada di jalanan. Banyak juga yang ada di rumah hingga lingkungan pendidikan.

Sewaktu TK, aku pernah hampir ditarik paksa oleh salah satu yang saya sebut predator seksual ini. Meskipun masih kecil dan belum paham, aku hanya mengerti bahwa aku tidak merasa nyaman. Laki-laki itu tampaknya salah satu sopir yang sering menunggu di parkiran sekolah. Awalnya, dia suka memanggil-manggilku, tipikal orang dewasa yang gemar menggoda anak kecil.

Awalnya, aku hanya meliriknya dengan judes. Aku tidak suka, meskipun banyak orang dewasa – bahkan orang tuaku sendiri – menegurku agar tetap bersikap sopan. Aku tidak kenal dia dan laki-laki itu juga tidak kenal aku. Kenapa dia sok akrab begitu?

Kemudian, suatu hari, saat aku sedang sendirian di area sekolah, laki-laki itu tiba-tiba muncul lagi. Sambil cengengesan tak jelas, dia menghampiriku. Semula aku masih bisa bersikap cuek padanya. Eh, tahu-tahu dia mencengkeram tanganku. Meskipun tidak terlalu keras, aku aku tetap tidak suka. Aku menjerit, memintanya melepaskanku.

Bukannya menurut, laki-laki dewasa itu malah balas menjerit, namun dengan tujuan menggodaku. Untunglah, aku teringat botol minumanku yang masih penuh terisi air. Kupukul tangannya sekeras mungkin. Laki-laki itu melepaskanku sambil berteriak kesakitan, sementara aku langsung berbalik dan lari sejauh-jauhnya. Aku kembali ke dalam gedung sekolah, menunggu Papa dan Mama menjemputku.

Aku tidak pernah bercerita pada siapa pun soal itu. Aku tahu, tidak akan ada yang menanggapiku serius waktu itu.

“Sudah, itu kamu cuman digodain. Abis mukamu galak begitu!”

Saat kelas lima SD, aku mengikuti turnamen pencak silat. Seorang laki-laki dewasa lainnya tampak tertarik denganku sepanjang turnamen itu. 

Awalnya, kami hanya mengobrol seadanya. Lalu, saat aku hendak berbalik, tiba-tiba laki-laki itu merangkulku dari belakang. Aku memakai pakaian pencak silatku yang serba hitam, berlengan panjang dan gombrong dan celana panjang lebar. Aku hanya terdiam saat kurasakan kedua lengan besarnya tergantung di bahuku dan mengunci di depan leherku. Napasku tertahan dan keringatku terasa dingin.

Untunglah, seorang teman sesama peserta turnamen tiba-tiba memanggilku agar segera bergabung di aula. Aku buru-buru menyingkirkan lengan laki-laki itu dan berlari secepat mungkin ke aula. Masih kuingat pipinya yang kasar menempel di pipiku. Namun, kalau ditanya sekarang, aku tidak bisa mengingat wajahnya.

Setelah turnamen berakhir, aku bersyukur tidak melihatnya lagi. Sepanjang hari, sebisa mungkin aku terus berdekatan dengan teman-teman, pak pelatih, dan bahkan orang tuaku.

Tahun ketiga di SMA, kudengar beberapa teman perempuan sekelas mengeluhkan seorang guru laki-laki yang masih relatif muda. Kata mereka, guru bahasa Inggris ini pernah beberapa kali mencolek siswi yang sedang lengah. Seorang teman mengaku merasakan pergelangan kakinya yang dicolek-colek iseng oleh guru itu saat dia jatuh tertidur di kelas sendirian. Ada juga teman lain yang bahunya pernah diremas dan pinggulnya dicolek.

Sekadar info, SMA ini swasta dan berbasis ajaran agama. Semua murid perempuan sudah memakai kemeja lengan panjang dan rok panjang. Tidak hanya itu.

Kebetulan, guru bahasa Inggris ini cukup dekat denganku. Nilaiku memang paling bagus di pelajaran itu.

Kata mereka, kelakuan guru itu sudah mereka adukan ke guru BK, yang kebetulan seorang perempuan. Namun, entah kenapa hingga kelulusanku, kasus itu tidak pernah jelas selesainya. Aku hanya ingat saat kami diberikan tugas kelompok dan beliau meminta tiap anggota bergantian melakukan presentasi di depan beliau.

Anehnya, presentasi tersebut tidak dilakukan di kelas, melainkan di laboratorium sains yang terletak agak terpencil, di gedung belakang. Kabar perilaku guru tersebut sudah diketahui satu angkatanku, sehingga untunglah para murid laki-laki siap berjaga di luar lab bila anggota perempuan dalam tim mereka mendapat giliran melakukan presentasi di depan guru tersebut.

Sialnya, anak-anak di kelompokku waktu itu tidak ada yang masuk. Alamat aku terpaksa melakukan presentasi seorang diri di dalam ruangan itu, dengan si guru.

Akhirnya, aku memutuskan untuk tidak datang sekalian. Untuk pertama kalinya dalam masa sekolahku, aku mendapatkan nilai 60 dalam Bahasa Inggris.

Pengalamanku Saat Menjadi Guru

Apakah setelah menjadi guru, keadaannya berubah menjadi lebih baik? Sayangnya tidak.

Salah seorang murid privatku, seorang anak perempuan yang masih kelas 8 di SMP negeri, pernah bercerita mengenai salah seorang guru di sekolahnya. Guru laki-laki ini sering sengaja berdiri mendekati murid-murid perempuan yang sedang duduk mengerjakan soal di kelas. Usut punya usut, ternyata itu usaha si guru untuk melirik – bahkan mengintip – ke dalam kemeja seragam sekolah mereka.

Sama seperti kasusku sebelumnya, banyak murid perempuan di sekolahnya yang takut setiap kali didekati guru itu. Bahkan, setiap kali guru tersebut meminta mereka untuk menemuinya di kantor seorang diri, tidak pernah ada yang mau datang. Hanya murid laki-laki yang berani.

Predator seksual sudah lama dan banyak gentayangan di lingkungan pendidikan. Terlalu lama kita tak berdaya dan diam. Terlalu lama kalian bersikap tidak pedulian, dan banyak cenderung menyalahkan korban.

Jangan sampai kasus-kasus seperti ini terulang lagi di sekolah-sekolah atau di kampus. Sudahi cerita kekerasan dan pelecehan seksual seperti ini!

Sudah jelas sekali, bukan? Permendikbud Pencegahan Kekerasan Seksual ini sangat dibutuhkan. Sudah saatnya kita berpihak kepada korban.

Ruby Astari

Sehari-hari bekerja sebagai translator dan author. Ia juga seorang blogger dan banyak menulis sebagai bagian dari ekspresi dirinya sebagai perempuan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!