Membentuk Fandom Tanpa Jadi Toksik? Yuk, Bisa Kok!

Menjadikan fandom sebagai tempat berekspresi atau aktivitas positif tentu adalah hal yang baik. Meski begitu, seringkali saya melihat aktivitas penggemar yang toxic berseliweran di lini masa Twitter, fyp/ for your page TikTok, atau Instagram. Bagaimana sih bentuk aktivitas penggemar yang toxic? Yuk kenali bentuknya supaya kita bisa nge-fans dengan riang gembira!

Fandom atau fans kingdom, mungkin sebagian besar dari kita sangat familiar dengan kata ini, atau bahkan kita sendiri merupakan bagian dari fandom. 

Fandom adalah kelompok orang yang memiliki ketertarikan mendalam terhadap sesuatu atau seseorang, misalnya artis baik perorangan maupun kelompok, seorang atlet atau klub olahraga, film, buku, penulis, dan banyak hal lainnya. Saya sendiri juga mengidentifikasi diri sebagai seorang fangirl, yang kebetulan saat ini saya banyak mengidolakan selebritas Kpop dan seleb Thailand.

Masing-masing dari kita tentu memiliki alasan yang berbeda satu sama lain dalam menggandrungi sesuatu atau seseorang. Saya sendiri menjadi fangirl karena cara ini efektif mereduksi stres, khususnya di masa pandemi ini. 

Sebagaimana dikutip dari situs verywellmind.com, fandom tidak hanya membangun hubungan dengan yang mereka sukai, tetapi juga sesama penggemar. Meskipun para penggemar ini tidak berinteraksi secara langsung, kesamaan idola ini membentuk sebuah kelompok sosial atau komunitas. Masing-masing individu ini pada akhirnya “berinvestasi” secara sosial ke dalam komunitas mereka. Seperti yang saya lakukan juga dengan sesama penggemar dari seleb yang saya sukai: nonton bareng secara virtual, berbagi konten terbaru sang idola, hingga berburu pernak-pernik yang jumlahnya terbatas.

Fandom bisa membentuk beragam aktivitas positif, misalnya ketika seorang idola kita sedang berulang tahun, kita tidak jarang melihat fandom membuka donasi terbuka sebagai birthday project sang idola. Proyek ini tak hanya selebrasi meriah ulang tahun dengan memasang wajah idola di videotron, tetapi juga dengan melakukan donasi atas nama fandom ke komunitas-komunitas rentan. 

Bentuk positif lain aktivitas fandom yang sering kita lihat yakni terlibat dalam rangkaian kegiatan sosial seperti dukungan terhadap penyintas kekerasan seksual, hingga terlibat dalam upaya pelestarian lingkungan.

Menjadikan fandom sebagai tempat berekspresi atau melakukan aktivitas dan kampanye positif tentu adalah hal yang baik. Meski begitu, seringkali saya melihat aktivitas penggemar yang toxic berseliweran di lini masa Twitter, fyp (for your page TikTok, atau Instagram. 

Bagaimana sih bentuk aktivitas penggemar yang toxic? Yuk kenali bentuknya supaya kita bisa nge-fans dengan riang gembira!

1.Berkompetisi dengan sesama penggemar dalam satu fandom

Berkompetisi yang dimaksud yakni kompetisi yang tidak sehat. 

“Penggemar baru pasti tidak tahu soal ini.”

“Aku sudah menggemari dia sejak followersnya masih di bawah 100K, sejak Ia pertama kali bermain serial. Tidak seperti kalian yang baru tahu setelah mereka bersinar.”

Setiap orang pasti punya alasan personal menggemari seseorang atau sesuatu. Kita tentu boleh saja berbangga hati ketika kita mengidolakan sesuatu sejak Ia belum populer dan suatu waktu melejit popularitasnya, tetapi bukan berarti kita berhak merendahkan seorang penggemar baru. 

Kompetisi tidak sehat lain yang dilakukan oleh sesama penggemar misalnya ketika menganggap bahwa penggemar yang tidak melakukan vote tidak berkontribusi pada kesuksesan seorang idola. 

“Penggemar begitu banyak, tetapi mengapa vote kita sedikit?”

“Para fans kemana saja? Mengapa kalian hanya ada di masa senang saja?”

Kalimat menyalahkan sesama penggemar seperti ini seringkali kita lihat ketika seorang penggemar kecewa dengan kekalahan idolanya. Padahal masing-masing orang memiliki kesibukan yang berbeda, belum lagi pemahaman seseorang terhadap teknologi juga berbeda-beda karena setiap orang memiliki akses informasi yang berbeda. 

Setiap orang juga memiliki cara dan kontribusi berbeda dalam menggemari idolanya, misalnya dengan membeli album, merch, berlangganan platform streaming untuk menyaksikan series idola, membeli tiket konser, atau menikmati karya mereka menggunakan platform gratisan. Bukankah kita seharusnya bangga apabila idola kita semakin besar dan dicintai banyak orang?

2.Fan war

“Jelas saja idolamu menang, idolaku tahun ini tidak mengeluarkan album baru.”

Aktivitas ini sering sekali muncul di sosial media, misalnya menjelekkan idol lain yang berbuntut pada saling menjatuhkan idol dalam hal yang remeh-temeh. Misalnya ketika fandom satu dan lainnya saling menghina saat idola dari fandom lain kalah dalam sebuah festival. Padahal ketika seorang idola kalah memperebutkan satu penghargaan bukan berarti mereka tidak kompeten. Ingat, idola tidak hanya satu dan mereka memiliki keunikan masing-masing.

Saya juga seringkali melihat fan shipper (penggemar yang memasangkan seorang idola dengan idola lainnya) bertengkar, seperti: 

“Kebersamaan mereka ini lebih real dibandingkan shipper sebelah yang seringkali hanya cocokologi.”

“Aku lebih berharap mereka menjalin hubungan nyata dibandingkan dengan xxx stan. Saya tidak suka jika dia dipasangkan dengan xxx karena hanya menumpang ketenaran.”

Biasanya pertengkaran atau saling sindir fan shipper ini terjadi ketika salah satu shipper dari idol menemukan “kecocokan” dari kapalnya (sebutan untuk idola yang dipasangkan).

Atau pertengkaran lain yang sering kita lihat pada penggemar dari grup atau anggota sebuah grup yakni saling mencaci antara solo stan (seseorang yang hanya mengidolakan satu orang dalam sebuah grup) dengan OT (One True) Stan (seseorang yang mengidolakan semua member dalam sebuah grup). Pertengkaran yang sering muncul antara solo stan dan OT stan yakni seorang solo stan menghina member lain dalam sebuah grup atau OT stan menganggap bahwa solo stan bukan penggemar karena hanya menyukai satu member. 

Saya sendiri seorang OT stan dari beberapa grup KPop, tetapi saya juga menghargai apabila ada teman saya yang hanya menyukai salah satu member karena setiap orang berhak untuk memilih idolanya, selama tidak merugikan orang lain. Saya juga tetap menghargai orang lain yang memiliki idola berbeda dengan saya. 

Lagipula apa tidak aneh kalau kita para penggemar saling mencaci, padahal idola-idola kita kerap terlihat hangout bareng?

3.Permisif terhadap kesalahan idola

Hal ini mungkin terasa sulit bagi penggemar. Ketika seseorang atau sesuatu yang kita idolakan memiliki kesalahan, apalagi kalau kesalahannya amat sangat sulit termaafkan seperti melakukan kekerasan seksual, sangat mungkin ada bias personal dari diri kita dalam menanggapi hal tersebut. Kecewa kepada idola adalah hal yang wajar karena mereka telah menjadi sosok panutan di hidup kita dan bisa jadi memengaruhi banyak aspek kehidupan kita: posternya tertempel di kamar tidurmu, fotonya menjadi wallpaper ponselmu, menyisihkan uangmu demi membeli pernak-pernik tentang idola, hingga menjadikan dia sebagai panutan hidup. Namun, bukan begitu kita bisa menormalisasi kesalahan idola, apalagi pada kesalahan-kesalahan yang memicu trauma berkepanjangan dan merugikan orang lain. 

Mengkritik idola adalah hal wajar karena dengan begitu, Ia bisa merefleksikan kesalahannya agar tak mengulang di kemudian hari.

4.Terobsesi dengan idola hingga melakukan bullying hingga ancaman pembunuhan

Ketika melihat ke berbagai platform sosial media, kita seringkali menemukan konten partner material dari sang idola. Kita mungkin mengidolakan seseorang atau sesuatu karena mereka ditampilkan sebagai sosok yang “sempurna” atau memenuhi kriteria untuk menjadi seseorang yang kita sukai. Sebagian dari penggemar memiliki rasa ingin memiliki idola seutuhnya. Hal ini sebenarnya lumrah apabila kita memahami batasan personal antara idola dan penggemar.

“free xxxx” (minggir dari xxx –nama idola-)

“Dasar kamu tidak tahu diri! Jangan dekati xxx -nama idola-.

Hal yang tidak bisa kita toleransi sebagai seorang penggemar yakni bullying karena terobsesi kepada idola. Ini paling sering terjadi ketika seorang idola terciduk berkencan dengan seseorang. Apabila idola itu berkencan dengan sesama seleb, seringkali penggemar dari idola tersebut membanjiri akun pasangannya dengan ungkapan merendahkan atau meminta pasangan dari sang idola untuk pergi dari kehidupan idola kita. Apabila pasangan dari idola tersebut bukan dari kalangan selebritis, seringkali penggemar berlomba-lomba mencari akun dari pasangan sang idola dan merundungnya. Tekanan dari penggemar yang terobsesi dengan idolanya tak jarang menjadi penyebab idola putus dengan partnernya.

Atau hal konyol dan toxic lainnya adalah melakukan bully kepada saudara dari idola. Penggemar yang terobsesi dengan idolanya akan membandingkan penampilan luar seperti fisik atau talent dari saudaranya dengan sang idola.

Bentuk obsesi penggemar terhadap idola yang ekstrem adalah ancaman pembunuhan terhadap orang terdekat dari sang idola atau terhadap sang idola itu sendiri.

Karena obsesi penggemar semacam ini, maka tak jarang apabila kita melihat ada idola yang sangat melindungi keluarga, pasangan, dengan merahasiakan identitas mereka.

Seringkali korban dari bullying dan ancaman ini adalah perempuan dan dilakukan oleh sesama perempuan. Hal tersebut terjadi akibat kultur patriarki yang masih mengakar di masyarakat. Kultur ini menjadikan para perempuan saling berkompetisi dan dipaksa untuk tampil sempurna.

Idola kita tetaplah manusia yang memiliki hak untuk mengekspresikan diri dan perasaannya, termasuk kepada orang yang mereka cintai. Idola, pasangan, dan keluarganya juga berhak lhoh mendapat rasa aman!

5.Mengatur idola kita

“Mulai detik ini, aku tak mau lagi mengidolakan dia karena ternyata sudah punya pasangan.”

“Aku tidak suka dia mengganti model rambutnya. Ia terlihat buruk. Aku tak lagi suka dengan dia.”

“Mengapa Ia berpenampilan seperti itu? Ia terlihat seperti anak nakal. Seharusnya Ia tak mengganti penampilannya agar penggemarnya tetap setia.”

Kalimat seperti ini sering muncul di kolom komentar sosial media idola kita. Salah satu ciri penggemar toxic yakni merasa berhak mengontrol atau mengatur idolanya. Biasanya hal ini berkaitan dengan penampilan visual dari sang idola. Padahal apa yang menurut kita baik, belum tentu bikin mereka nyaman kan?

6.Melakukan pelecehan seksual terhadap idola

Meskipun mereka adalah idola yang mungkin bisa dinilai secara visual oleh para penggemar, bukan berarti penggemar boleh melakukan pelecehan seksual terhadap idolanya. 

Saya sering melihat para penggemar melakukan pelecehan terhadap idolanya dalam bentuk komentar bernuansa seksual di foto idola dan di kolom komentar sosial media mereka. Atau yang pernah saya temukan berseliweran di fyp TikTok yakni video idola saat berada di atas panggung, tetapi penggemar menggantinya dengan sound bernuansa seksual.

7.Melanggar ruang privat idola

Bentuk aktivitas fandom yang toxic yakni ketika penggemar mulai masuk ke ruang privat dari idola. Di Korea, penggemar seperti ini dikenal dengan istilah sasaeng. Namun fenomena macam ini tak hanya terjadi di Korea, tetapi juga di berbagai belahan dunia. Bentuk pelanggaran atas ruang privat idola ada beragam, misalnya memotret idola tanpa izin, menguntit idola, hingga mendatangi tempat tinggal idola (rumah/ apartemen/ dorm).

Beberapa penggemar macam ini biasanya tak hanya melanggar ruang privat dari idola, tetapi juga melakukan aktivitas ekstrim dan menakutkan seperti memasang kamera CCTV secara diam-diam di tempat tinggal idola, masuk ke kamar idola, memaksa menyentuh atau mencium idola, mencari informasi ilegal terkait penerbangan dari idola dan membeli kursi penerbangan di sebelah idola, mencari informasi ilegal terkait tempat penginapan idola, hingga mengirim darah ke tempat tinggal idola. 

Aktivitas yang dilakukan oleh para penggemar yang menguntit ini tak hanya toxic, tetapi juga ada yang membahayakan keselamatan jiwa sang idola, seperti yang beberapa kali kerap kita dengar yakni seleb yang mengalami kecelakaan ketika menghindari kejaran penggemar ekstrem.

Tika Adriana

Jurnalis yang sedang memperjuangkan ruang aman dan nyaman bagi semua gender, khususnya di media. Tertarik untuk mempelajari isu kesehatan mental. Saat ini managing editor Konde.co.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!