Aktivis Perempuan Tolak Jabatan Presiden 3 Periode

Aktivis perempuan menolak keras jabatan Presiden 3 periode. Selain melanggar konstitusi, isu 3 periode ini telah memicu kekerasan antar publik. Pemerintah seolah membiarkan semua ini terjadi.

Perkara penambahan masa jabatan presiden menjadi 3 periode jadi isu politik yang kencang.

Isu tersebut telah memantik sejumlah aksi demonstrasi mahasiswa pada Senin (11/4/2022) kemarin. Meski, sehari sebelumnya Presiden Joko Widodo dalam video pengantar rapat persiapan telah mengatakan Pemilu dan Pilkada Serentak bakal dilaksanakan di tahun 2024, namun pidato ini baru dilakukan setelah ramai-ramai orang berdebat, saliang marah, ada yang mendukung, banyak yang menolak wacana 3 periode 

Berbarengan dengan protes wacana presiden 3 periode yang dinilai mengkhianati konstitusi itu, publik juga diterpa masalah lainnya yaitu soal ketidakstabilan harga kebutuhan pokok. Masalah ini pulalah yang banyak disuarakan dalam aksi protes yang digelar di sejumlah wilayah di Indonesia kemarin. 

Ketua Umum Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI), Dian Septi tegas mengatakan bahwa perpanjangan presiden 3 periode itu tidak sesuai dengan roh demokrasi yang seolah-olah ingin melanggengkan kekuasaan. Dirinya pun tidak membenarkan segala bentuk kekerasan termasuk saat proses berdemokrasi dan menyampaikan aspirasi. 

Aktivis buruh perempuan ini juga menekankan, negara harus bertanggung jawab pula dengan berbagai tindak kekerasan yang selama ini dilakukan.

Dia mencontohkan, pemerintah bisa dengan mudah melakukan stigmatisasi dengan ‘cap kadrun’ bagi yang kontra narasi, tidak cinta NKRI jika tak mendukung proyek pemerintah maupun mendukung para penyintas 1965. Isu-isu seperti ini dibiarkan saja secara liar di masyarakat

“Saya tidak setuju kekerasan, tapi negara selama ini juga mempraktikkan kekerasan, memberi contoh praktik-praktik kekerasan kepada rakyat dengan kebijakan, represifitas-represifitas (termasuk wacana) dengan melanggengkan kekuasaan,” ujar Dian Septi kepada Konde, Selasa (12/4/2022). 

Situasi saat ini, Dian menyampaikan banyak masyarakat yang sudah lelah dengan berbagai kekerasan yang terjadi termasuk yang justru dilakukan oleh negara. Di konteks perburuhan, dia mencontohkan negara telah melakukan kekerasan termasuk lingkup ekonomi dengan pengesahan UU Cipta Kerja tanpa pelibatan buruh. 

“Buruh sama sekali tidak dilibatkan saat pengesahan UU Ciptaker yang berujung kontrak outsourcing semakin marak, jam kerja panjang, situasi kerja yang semakin buruk, polemik Jaminan Hari Tua (JHT) yang katanya dicabut setelah protes tapi tidak terjadi perubahan sistemik,” jelasnya. 

Kondisi sulit yang dialami buruh, Dian juga menyayangkan pemerintah yang tak mampu menjaga kestabilan harga kebutuhan pokok yang saat ini juga jadi isu. Termasuk memberantas para mafia kebutuhan pokok seperti minyak goreng.

Menurutnya hal ini begitu ironi, ketika pemerintah bisa punya kuasa luar biasa mengesahkan UU Cipta Kerja secara kilat, namun ‘melempem’ dalam menstabilkan harga. 

Dirinya mengaku telah muak dengan perilaku negara yang tidak pernah serius memperbaiki kondisi kerja dan perubahan mendasar. Sebab selama ini, tawaran solusi pemerintah hanya seputar Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang bersifat jangka pendek. Padahal yang dibutuhkan adalah perbaikan dan perubahan sistemik. 

“Gak cukup cuma bantuan subsidi tapi kita butuh perubahan sistematis. Niat baik itu dari pemerintah. Ciptaker yang cacat, inkonstitusional kan sudah dinyatakan ‘bersyarat’ karena tidak melibatkan partisipasi buruh. Ini preseden. Ya itu yang harus dilakukan, mencabut Ciptaker,” tegasnya. 

Menanti Keseriusan Negara 

Sama halnya dengan Dian dari FSBPI, Koordinator Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT), Lita Anggraini pun juga menekankan, tidak setuju dengan jabatan presiden 3 periode sebab telah melanggar konstitusi. Dirinya mendorong agar negara bisa tetap konsisten menaati konstitusi yang ada.

Selain mendorong penghentian segala bentuk kekerasan yang terjadi termasuk oleh negara, Lita juga menantikan keseriusan negara dalam menjamin hak kesejahteraan warga negaranya termasuk para buruh dan pekerja rumah tangga (PRT). Satu yang paling penting ialah memperhatikan nasib PRT dengan pengesahan RUU Perlindungan PRT yang sudah mangkrak nyaris dua dekade. 

“Konstitusi, keadilan pancasila, UU 1945, seharusnya PRT yang berjumlah 5 jutaan ini, tidak dikorbankan dalam pembangunan. Kalau kita konsisten dengan nawacita, kita menganut ideologi pancasila, tidak ada yang harus dikecualikan: PRT harus jadi bagian pekerja dan mereka soko guru perekonomian,” ujar Lita kepada Konde, Selasa (12/4/2022). 

Lita menyebut, situasi PRT selama ini masih terabaikan. Padahal, PRT berperan penting dalam menopang aktivitas publik yang berjasa dalam pembangunan. Utamanya, sektor domestik yang selama ini banyak bertumpu pada ‘keringat dan kerja keras’ PRT. Maka dari itu, dirinya mendesak agar pemerintah serius dalam melindungi hak-hak PRT melalui UU. 

“DPR berhutang dengan PRT, hutang peradaban. Jangan lupa juga, DPR pernah studi banding ke Afrika Selatan dan Argentina tahun 2012 dan sudah uji publik (RUU PPRT), jangan dijegal lah,” tegasnya. 

Para politisi partai yang mengisi ruang-ruang di pemerintahan, menurut Lita juga harus seia-sekata dengan nilai-nilai yang mestinya dijunjung.

Misalnya saja, partai yang mengaku ‘partainya wong cilik’ (partainya rakyat kecil) juga semestinya memperjuangkan hak-hak wong cilik. Pun dengan partai golongan karya yang seharusnya juga bisa mendorong karya para pekerja termasuk PRT. 

“Buatlah PRT diakui sebagai pekerja. PRT bukan saja sebagai golongan yang bisa berkarya tapi juga membuat orang bisa berkarya,” pungkasnya.  

Penolakan 3 periode Presiden ini justru menjadi wacana baru soal tolak dan tidak menolak, memicu kekerasan antar publik, namun tidak membicarakan soal substansi. Ada substansi yang dilanggar, yaitu soal konstitusi dan soal pelanggaran ketika pemerintah tidak melaksanakan kewajibannya, lebih-lebih kebijakan untuk kelompok marjinal yang banyak diingkari.

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!