Konde, The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia dan Peace Innovation Academy selama bulan Ramadhan menyajikan Edisi Khusus Ramadhan: berupa artikel tentang makna toleransi bagi anak muda. Artikel ini sebagai bagian untuk mengajak anak muda merawat Keberagaman, Perempuan dan Perdamaian.
Memasuki bulan Ramadhan, selalu mengingatkan saya pada keluarga besar ayah. Keluarga besar ayah seperti Nusantara kecil. Kakekku beretnis Cina dan beragama Katolik. Nenek beretnis Minang pengamal Tarekat Naqsabandiyah.
Mereka bertemu di Kerinci, saat keduanya bekerja di perkebunan teh milik Belanda. Kakekku mandor, sedangkan nenek seorang buruh petik. Mereka lantas menikah, dan mencatatkan pernikahannya di Burgerlijk Stand (Lembaga catatan sipil zaman Belanda), tak lama setelah jong-jong di pelosok Nusantara berkumpul menyatukan sumpah.
Pernikahan itu terentang sepanjang 4 periode sejarah Indonesia, sejak zaman kolonial Belanda hingga awal Orde Baru. Selama itu pula, mereka berhasil mendialogkan banyak perbedaan.
Ketika bulan puasa, kakek menemani nenek sahur dan menyiapkan babukoan (makanan berbuka). Kadang ia ikut puasa. Sebaliknya, nenek mempersiapkan segala kebutuhan sembahyang ketika menjelang imlek. Ia tahu betul soal tata letak makanan, hio, dan lainnya. Keduanya juga terbiasa merayakan hari raya keagamaan bersama-sama, sejak menikah hingga beranak. Tradisi ini pun berlanjut ke anak cucunya.
Dalam hal memilih agama, kakek-nenekku membebaskan setiap anaknya. 2 dari 9 anaknya memilih Islam dan selebihnya Katolik. Kebebasan itu tak berhenti di sini. Ada juga saudara ayah yang memilih pernikahan beda agama.
Seminggu sebelum lebaran biasanya semua saudara ayah yang berjumlah sembilan orang pulang dari perantauan masing-masing. Mereka menyambut kedatangan Lebaran di rumah kakek/nenek. Mereka sahur dan berbuka puasa bersama, meskipun tidak semuanya berpuasa. Kata ayah, kenangan atas kebersamaan akan membawa setiap anak untuk pulang. Berkumpul saat Lebaran menjadi salah satu cara merawat ingatan akan kebersamaan. Karenanya, kami para cucu pun terbiasa berkumpul dan saling mengucapkan selamat hari raya.
Meski keluarga ayahku tidak pernah menyebut kata ‘toleransi’, tapi nilai itu sudah dengan sendirinya dijalankan dalam kehidupan sehari-hari. Rasa cinta-lah yang membuat semua dari kami saling memahami dan menghormati semua perbedaan itu. Pengalaman tentang penerimaan utuh mengajarkan setiap anggota keluarga kami menghormati dan merawat perbedaan itu.
Dengan cara itu, toleransi tak hanya sebatas kata-kata tetapi dijalankan dengan makna yang sesungguhnya. Ini juga yang mengajariku untuk tidak mempersoalkan perbedaan ataupun pilihan orang sepanjang tidak merugikan, mengganggu dan mengambil hak orang lain.
Indonesia yang majemuk
Keluarga ayahku, hanyalah satu dari sekian banyak keluarga lintas budaya di Indonesia. Indonesia dengan kebinekaan-nya, memungkinkan setiap orang dengan latar belakang yang berbeda, berinteraksi dan berbaur menjadi satu keluarga.
Aku juga pernah menemukan keluarga lintas budaya lain saat berkunjung ke Dusun Thekelan tahun lalu. Dusun tertua yang terletak di kaki gunung Merbabu, Desa Matur, Kec. Getasan, Kab.Semarang, Jawa Tengah. Kunjungan ini merupakan rangkaian kegiatan Peace Train-12, program tahunan dari Indonesia Conference on Religion and Peace (ICRP).
Beberapa tahun lalu, Thekelan sempat viral sebagai dusun toleran sejak diberitakan Youtuber yang berkunjung di sana.
Saat berkesempatan berbincang dengan Bapak Suprio, kepala dusun Thekelan, aku tanyakan bagaimana warga desa ini merawat keberagaman itu. Menurutnya, warga desa Thekelan sudah sejak lama merawat toleransi.
“Jauh sebelum viral dan dusun Thekelan dikenal banyak orang. Sebanyak 270 jiwa jumlah penduduk Thekelan merupakan satu keluarga besar, semuanya memiliki hubungan kekerabatan,” terangnya.
Setengah penduduk dusun Thekelan beragama Buddha dan selebihnya beragama Islam, Protestan, Katolik dan penghayat kepercayaan. Tak heran jika di sana, dalam 1 rumah terdapat lebih dari 2 pemeluk agama.
Suprio, sendiri beragama Islam sama dengan anaknya, orangtuanya Buddha, mertuanya Kristen dan sepupunya Katolik.
Hal menarik lainnya, penduduk Thekelan terbiasa melakukan berbagai hal secara bersama-sama. Saat pembangunan rumah ibadah seperti masjid, vihara dan gereja, semua warga ikut membantu meskipun berbeda agama. Ada yang melansir material. Ada yang bertukang. Ada yang menyiapkan makanan untuk yang bekerja. Semuanya dilakukan secara sukarela.
Tradisi saling mengucap salam hari raya, tidak pernah diperdebatkan di dusun ini. Ketika Waisak, warga yang bukan Buddhis berbaris di depan vihara menunggu ibadah selesai, lalu secara bergiliran memberikan ucapan selamat. Sebaliknya jika Natal dan Lebaran, warga yang tidak merayakan akan berkumpul di depan gereja atau masjid untuk memberikan salam. Jika penceramah dari luar datang, warga selalu mengingatkan agar ceramah yang disampaikan tidak menyakiti perasaan saudara mereka yang beragama lain.
Mereka juga memiliki cara yang unik untuk mengelola konflik. Setiap hari Minggu, warga melakukan ‘ngopi bareng’ untuk berdialog dan musyawarah. Selain itu, resolusi konflik juga dilakukan mulai dari dialog internal di rumah masing-masing. Jika masalahnya besar, maka akan melibatkan pemuka agama dan pemuka adat sebagai fasilitator. Semua kebiasaan warga Thekelan ini sudah terbangun lama, jauh sebelum Merbabu dijadikan kawasan taman nasional dan Perhutani.
Pengalaman berkunjung ke Thekelan mengingatkanku tentang keluarga ayah. Pada berbagai tempat di pelosok Indonesia, selain aku, banyak orang yang memiliki pengalaman tentang keluarga lintas agama. Pengalaman ini penting untuk diceritakan, sebagai bentuk pemaknaan bersama tentang Indonesia yang ‘Bhineka Tunggal Ika’.
Pada akhirnya, toleransi sejati menjadi keselarasan kata dan tindakan. Tidak hanya soal hasil, melainkan sebuah cara yang harus terus menerus dibangun dan dipertahankan, dalam rangka penghormatan terhadap kemanusiaan.