Perjuangan Seorang Trans Laki-laki: Aku Pernah Dihalangi ‘Menemui’ Tuhanku

Seorang trans laki-laki pernah dihalangi untuk 'menemui' Tuhannya: “Kalaupun ada surga tapi kalau tidak sesuai dengan pilihanku, ya itu namanya bukan surga. Kalau aku masuk surga, tapi dipaksa menjalani jalan yang bukan pilihanku, pas sampai surga nanti aku bingung karena aku nggak suka. Itu namanya bukan surga kan?”

Fikri, seorang trans laki-laki pernah mengalami krisis mental akibat bullying dan stigma yang diterimanya. Ia pernah ‘ditolak’ saat melepaskan jilbab. Ia juga pernah dijanjikan nilai A jika mau kembali menjadi perempuan, dan mengenakan pakaian yang dianggap feminim seperti misalnya rok warna pink. 

Tapi, keputusan Fikri untuk menjadi trans laki-laki sudah bulat. Berbagai treatment baik ke psikolog, psikiater bahkan hingga ruqyah yang dia jalani ternyata tak mampu membuatnya merasa “mengembalikan” dirinya menjadi perempuan seperti yang diharapkan orang-orang di sekitarnya.

Bagaimana Fikri berproses dan melewati pergulatan hingga akhirnya menemukan dirinya? Berikut perbincangan Konde dengan trans laki-laki yang tahun ini genap berusia 28 tahun itu di Serpong, Tangerang Selatan pada pertengahan Maret 2022 lalu.   

Seperti apa Fikri ingin digambarkan?

Kalau ditanya seperti apa aku ingin digambarkan, bisa kujawab sebagai transgender dan muslim yang taat.

Kapan tepatnya memutuskan menjadi Fikri yang saat ini?

Aku sempat mengalami pergulatan seperti banyak teman-teman transgender lainnya. Awalnya aku juga merasa sebagai cewek yang tomboy, tapi aku kemudian belajar bahwa dimensi dimensi gender dan seksualitas itu beragam. Baru di situ aku mendapati bahwa diriku adalah transgender, itu kira-kira saat berumur 21 tahun atau saat duduk di bangku kuliah. Masa-masa aku mencari dan menemukan diri, akhirnya aku belajar menerima diriku sendiri.

Seperti apa pergulatan itu?

Apa yang aku alami mungkin agak unik. Jadi aku pernah dibawa ke sebuah pesantren, untuk semacam diruqyah, dititipkan ke kyainya sama abahku untuk biar aku berproses. Agar sekembalinya dari pesantren itu aku bisa kembali lagi menjadi seorang perempuan.

Tapi waktu itu aku nggak menentang, aku biarkan, karena aku memang ingin berproses, dan kalau benar memang ruqyah itu bisa menyembuhkan seperti kata mereka, ya nggak apa-apa.  Waktu itu sehabis aku memutuskan menjadi perempuan itu aku sempat beberapa kali diruqyah. Di beberapa tempat.

Aku mencoba berproses itu, yang ada adalah momen di mana aku merasa justru aku merasa menyakiti diri. Karena melakukan hal yang tidak sesuai dengan apa yang aku inginkan, jadi ada pergolakan batin di situ. Ada dimensi psikologis yang juga terganggu gara-gara itu. Jadi kayak tertekan, itu bukan karena aku memilih menjadi seorang trans tetapi karena aku berupaya untuk berubah, padahal itu bukan aku. Itu untuk mengikuti standard di masyarakat, kalau seseorang yang lahir secara biologis sebagai perempuan ya kamu harus menjadi perempuan.

Baca : Bunda Mayora, Transgender Pertama yang Jadi Pejabat Publik di Indonesia

Aku juga pernah dalam masa-masa kritis secara mental, karena sudah kelelahan dengan bullying dan stigma.  Terus dapat stigma juga di tempat kuliah, diasingkan karena awalnya aku pakai kerudung terus tiba-tiba kulepas, stigmanya langsung muncul.

Bahkan ada salah satu dosenku yang bilang, “Kamu kalau pakai pakaian feminim atau rok pink, nanti aku kasih nilai A. Bahkan sampai ada dimensi seperti itu. Itu kan ngeri banget ya, padahal itu kan di kampus. Ini sempat membuat aku malas ke kampus.”

Tapi pada akhirnya, mungkin orang tuaku menyadari memang ada yang salah dengan proses itu, akhirnya aku berdialog dengan abahku.

“Jadi ini loh hasilnya, ini bukan karena aku menolak berproses, aku sudah mau berproses, bahkan aku sendiri yang datang sendiri ke tempatnya. Tapi ini kenyataannya, bahwa ternyata nggak ada yang berubah, aku tetap menjadi aku yang seperti ini. Dan bawaanku sudah seperti ini, mau digimanakan juga nggak bisa!”

Bagaimana tanggapan orang tua?

Abahku itu kalau marah itu diam, diam lama. Sekitar satu bulan aku benar-benar didiamkan, baru sehabis itu dalam sebuah percakapan yang sederhana banget beliau menerima pilihanku. 

Jadi, abahku itu kan suka makan soto. Terus aku diajak, itu pertama kali ya setelah aku didiamkan. Jadi penerimaan itu bisa dari hal-hal kecil. Selama berbulan-bulan didiamkan, aku  berupaya untuk mendekati abahku, jadi hari itu aku ajak Abah untuk makan soto kesukaannya. Kok dia mau,  dan ngobrol lah kami. Dan saat itu dia bilang untuk pertama kalinya, meski tidak secara eksplisit.

Jadi waktu itu abah bilang, “Kalau kamu bahagia dengan pilihanmu, terus kamu nggak nyakitin orang lain, kamu juga memberi manfaat bagi orang-orang di sekitarmu, dan apa yang kamu kerjakan bermanfaat juga bagi kemanusiaan dan persaudaraan, abah dukung. Tapi kalau kamu dengan pilihanmu, terus kamu jadi merugikan orang lain atau melakukan tindak kriminal, abah tidak merestui.”

Untungnya abah sudah clear dengan pemahaman soal itu, yang penting tidak saling menyakiti mau siapapun dia.

Bagaimana sih Fikri dibesarkan?

Jadi aku lahir dan tumbuh di lingkungan pesantren, keluarga besarku punya pesantren. Selain itu aku juga dikirim ke pesantren lain dan itu sudah menjadi tradisi keluarga untuk saling eksplore pengetahuan tentang ilmu agama. Jadi ketika SMP dan SMA aku di pesantren juga tapi di luar kota. Dan, sampai sekarang aku juga tetap bekerja di pesantren.

Saat itu masih santriwati?

Dulu ketika masih SMP/SMA, secara ekspresi aku belum declare atau belum coming out sebagai transgender. Dan, kayaknya aku juga nggak pernah coming out secara langsung mengatakan, “hey, aku transgender! Nggak kayak gitu, tapi aku menampilkan diri apa adanya diriku, kemudian orang akan punya perspektif masing-masing tentang itu. Tapi secara personal, aku menganggap bahwa diriku ini adalah transgender.  

Perubahan penampilan apa yang Fikri lakukan?

Ekspresinya ya sangat beda. Sejak awal aku memang nggak suka pakai rok. Jadi meskipun dari kecil di pesantren, aku lebih suka pakai celana, aku memang nggak mau. Jadi aku mau ditaruh di pesantren kalau aku nggak dilarang pakai celana atau aku pakai sarung deh yang lebih universal! Dan, sarungnya aku milih sendiri, sarungnya yang untuk cowok. Jadi ekspresi itu sudah dari kecil. Sejak kecil, aku nggak merasa asyik kalau main boneka.

Ketika akhirnya abah menerima, apa yang dirasakan?

Tentu saja senang ada penerimaan dari orang tua. Diterima sebagai manusia saja sudah senang banget. Karena selama ini yang terjadi adalah, seolah-olah teman-teman LGBTQ itu bukan manusia. Makhluk yang asing, jadi bagiku ketika diterima sebagai manusia saja sudah senang sekali. Aku merasa bahwa diri ini ada, visible paling tidak.

Kalau keluarga lain bagaimana?

Kalau ibu, terus terang sampai saat ini masih menolak, dalam artian beliau belum paham ya seperti inilah aku. Tapi sebenarnya ketika aku bilang bahwa aku itu beda, ibu sebenarnya sudah memahami, karena insting sebagai seorang ibu itu sudah paham apa yang aku alami sejak kecil. Tapi dia juga berpikir, “Nggak mungkinlah kamu kayak gitu”.  Jadi masih dalam tahap denial.

Aku yakin, insting para orang tua teman-teman LGBTQ itu sebenarnya juga merasa putra-putrinya spesial. Dan mereka hanya perlu didukung dan dianggap ada. Tapi karena di sekitar nggak membolehkan adanya norma non biner, akhirnya digiring kalau nggak cewek ya cowok, hingga akhirnya orang tua kita menolak kalau kita mendeklarasikan diri sebagai seorang trans.

Komentar justru sering datang dari lingkungan sekitar, makanya sekarang kau nggak tinggal sama orang tua. Aku tinggal di rumahku sendiri di luar kota dan setidaknya seminggu sekali mengunjungi orang tuaku. Tujuannya salah satunya ya untuk mengurangi tekanan dari sekitar yang kuat banget. Aku nggak ingin, karena pilihanku orang tuaku ikut terimbas, meski aku yakin stigma itu tetap ada.

Aku juga ingin memberitahu orang-orang di sekitar, bahwa LGBTQ itu ada. Orangnya itu ada.  Jadi aku menunjukkan sebagai warga negara yang punya hak dan kewajiban, jadi tetap ikut kegiatan dan bersosialisasi dengan masyarakat sekitar. Kalau mereka bisa melihat kita sebagai manusia kan nggak ada masalah. Selama kita tidak berbenturan atau merugikan orang lain. Berbenturan dengan hak orang lain.   

Pernah nggak sih mengalami penolakan terkait identitas Fikri yang saat ini?

Kalau ngomongin soal identitas, itu kan hal yang dilekatkan kepada kita. Tapi sebenarnya kita sama-sama manusia. Karena kita sama-sama manusia, kenapa harus menyakiti dan saling mendiskriminasi? Kenapa harus ada pembedaan perlakuan hanya karena dia berbeda pilihan. Setiap orang kan punya sidik jari berbeda, menurutku itu juga bentuk print dari Tuhan tentang keragaman. Jadi secara nggak langsung Tuhan sudah ngasih tahu, ini loh ada keragaman.

Kenapa orang-orang cenderung kepada kelompok tertentu, menurutku itu karena ideologi atau perspektif dia aja yang nggak bisa terbuka. Terlalu kaku, akhirnya melihat yang berbeda sedikit dia kaget. Karena kalau kita melihat apa-apa yang berbeda terus kaget, akan kaku hidupnya. Nggak berkembang hidup kita.

Bisa dikatakan, penolakan yang diterima Fikri nggak terlalu berat?

Menurutku penolakan itu bermacam-macam bentuknya. Dan, aku nggak mau banyak bercerita macam-macam penolakan yang aku alami. Karena, menurutku narasi penolakan itu sudah banyak. Aku justru ingin memberitahu bahwa selalu ada harapan.

Buat orang-orang yang tidak tahu tentang LGBTQ, ayo belajar. Paling enggak, kalau nggak bisa menghargai bahwa kami perlu treatment, dia bisa menghargai secara manusia.  Yang pertama, kita harus sadar bahwa kita sama-sama manusia.

Penolakan-penolakan yang aku alami juga banyak. Seperti ruqyah itu, meskipun sepertinya sederhana tapi proses itu mengguncang jiwa. Karena, ada afirmasi kepada seseorang untuk menjadi orang yang tidak diingininya.

Dia juga didoktrin bahwa hal-hal itu tidak sesuai dengan tuntunan agama sehingga membuatnya berpikir. Kalau aku nggak sesuai dengan tuntunan agama, aku bisa masuk surga enggak ya? Jadi di dunia sudah nggak enak, di akhirat juga nggak enak. Untungnya pada saat itu aku sudah merasa, surga dan neraka itu bukan kita yang menentukan, tapi Tuhan.

Tapi kalaupun ada surga, tapi kalau tidak sesuai dengan pilihanku ya itu namanya bukan surga. Kalau aku masuk surga, tapi dipaksa menjalani jalan yang bukan pilihanku, pas sampai surga nanti aku bingung karena aku nggak suka. Itu namanya bukan surga kan?

Sekarang apa saja aktivitas Fikri?

Aku mengajar di sebuah rumah tahfidz. Aku terlibat dari awal, dan saat pendirian aku sampaikan, rumah tahfidz yang bagus adalah yang karakternya bagus.  Karena kalau kita hanya sekadar hapal Al Quran, tapi kalau kita nggak menguasai isinya, jatuhnya hanya akan hapal doank tapi nggak membumi. Nanti tak ada sesuatu atau apa ajaran yang bisa bagikan kepada orang-orang di sekitar kita. Akhirnya ada banyak sekali kelas karakter di pesantren itu.

Itu yang ngembangin Fikri?

Salah satunya aku dan beberapa orang di pesantren itu. Aku mengajar di beberapa kelas, aku mengajar di kelas Bahasa, kelas dongeng, kelas film dan kelas teater. Juga kelas literasi agar anak-anak mau baca. Jadi aku ingin mengajarkan kalau Islam itu ramah, Teman-teman aku ajak untuk melihat adanya banyak perspektif. Dengan melihat ada bermacam-macam isi dunia. Jadi wawasannya berkembang.

Terkait gender, saat ini di banyak pesantren hanya mengenal laki-laki dan perempuan. Spektrum lain nggak pernah disinggung. Aku ingin mengenalkan perspektif yang berbeda dengan cara-cara di atas.

Bagaimana tanggapan anak-anak dan lingkungan disana?

Kalau anak-anak senang karena memang sesuai dengan apa yang mereka sukai dan berkembang saat ini. Dan semua itu disesuaikan dengan Al Quran, jadi imajinasi anak tidak dibatasi. Soal surga, kita coba kenalkan dimensi lain.

Penolakan tetap ada, tapi yang aku fokus kalau ada penolakan tetap ada yang bisa aku lakukan. Jadi tetap berbuat, karena kalau kamu ditolak dan langsung berhenti, maka akan semakin sedikit yang berjuang di jalan ini. Jadi ketika ada yang ditolak, aku berpikir apa hal lain yang bisa aku lakukan. Dan aku nggak mau menyalahi aturan ataupun menabrak mereka, ada proses bargaining.

Jadi nggak mau langsung berhadapan?

Aku selalu berhadapan, hanya saja aku merasa tidak sedang marah, bertengkar atau bermusuhan, atau melawan. Jadi aku selalu berusaha melihat agenda yang lebih besar, agenda kita apa kita sih di dunia ini. Misalnya perdamaian, biar nggak ada konflik.

Kita kan sama-sama sadar, kalau menderita itu kan nggak enak. Apalagi bumi kita hanya satu, kita nggak enak kan tinggal dalam satu rumah tapi kita terus bertengkar. Jadi agenda besarnya apa, misalnya kalau hak-hak kita terpenuhi dan nggak mengganggu hak orang lain kita semua akan merasa nyaman. Itu saja yang aku lakukan, tapi kalau ada hak aku yang tak terpenuhi akan aku suarakan.

Misalnya aku sebagai orang Islam, aku berhak beribadah. Tapi karena identitasku sebagai trans, aku nggak bisa bebas shalat Jumat berjamaah. Aku pernah dipertanyakan saat ingin shalat berjamaah, saat aku jawab aku sedang ingin menemui Tuhan, jadi kalau tidak diizinkan di masjid itu, mungkin Tuhanku bukan di situ. 

Tapi selama ini kalau ini menyangkut personal, aku akan melakukannya secara personal. Aku memilih untuk mendasarkan pada esensi ibadah itu apa.

Tak semua orang berada dalam pemahaman ini, apa yang harus dilakukan?

Masing-masing orang punya cara yang punya kelebihan dan kekurangan. Aku bukan dalam posisi mengatakan ini lebih baik dan itu lebih buruk. Prinsipku, kalau memang ada hak aku yang dilanggar ya aku akan memperjuangkannya dengan caraku. Meski itu sangat sederhana. Kalau aku merasa ada yang nggak tahu ya aku akan belajar.

Kalau kamu nggak tahu tentang dirimu, ya belajarlah. Karena masih ada yang belum paham tentang dirinya. Kalau dia sudah belajar, dia akan menerima baik buruk dirinya.

Sudah bahagia dengan apa yang dicapai saat ini?

Sangat bahagia, karena aku sudah melewati masa-masa yang menurut aku kelam. Dan setelah berproses itu aku merasa sangat lega. Berdamai dengan diri sendiri itu menurutku sudah sangat melegakan. Karena banyak kasus, yang pertama menolak LGBTIQ itu justru adalah diri mereka sendiri. Makanya masih banyak yang denial, dan aku pernah mengalami hal itu. Ketika itu yang aku lakukan adalah hal-hal yang menyakiti diriku.

Jadi bisa dibayangkan, di dalam diri saja aku nggak nyaman, bagaimana aku bisa menghadapi orang di luar diriku. Selama itu aku harus mengalami pergulatan yang panjang, aku harus ke psikolog, psikiater dan kyai. Dan, tingkatan yang harus aku lalui itu banyak banget.

Masih ada keinginan untuk mengubah fisik?

Untuk hal ini rasanya sudah clear. Aku sadar bahwa laki-laki itu nggak harus selalu laki. Jadi bisa dikatakan nggak ada yang ingin aku ubah dengan tubuhku. Secara fisik, apa yang diberikan Tuhan ini adalah berkah bagiku. Seperti misalnya kromosamku lebih banyak laki-lakinya.

Kalau ada yang paling ingin aku ubah itu adalah, bagaimana orang tidak hanya melihat satu kelompok, cobalah untuk melihat keberagaman itu. Bahkan untuk trans saja sangat beragam. Aku nggak masalah kalau ada orang yang tahu masa laluku. Aku mau nama dari orang tuaku menjadi puzzle dalam hidupku.

Namun, ada juga teman trans yang ingin mengubah langsung kelaminnya, karena itu akan memudahkan hidup mereka. Dan ini sangat penting bagi hidup mereka. Jadi memang ada hak-hak teman LGBTQ yang terengut, dan saat ini mereka sedang menderita.

Esti Utami

Selama 20 tahun bekerja sebagai jurnalis di sejumlah media nasional di Indonesia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!