Cap Pelakor Arawinda: Seksis dan Bias Gender, Peran Laki-laki Terlupakan

Memberikan stigma pada artis film, Arawinda Kirana sebagai Pelakor di media sosial, ini sama saja menghadapkan perempuan versus perempuan, peran laki-laki malah terlupakan dalam relasi ini

Minggu ini media sosial diramaikan oleh dugaan kasus Arawinda Kirana, pemeran film “Yuni” yang diduga berselingkuh. Arawinda langsung dicap sebagai Pelakor (Perebut Laki-laki Orang).

Tanpa tahu detail kejadiannya, informasi ini langsung disamber, ramai di media sosial dan menjadi trending topik. 

Tak hanya di media sosial, Wikipedia juga langsung menuliskan Arawinda Kirana sebagai pelakor dalam data pribadinya.

Penggunaan istilah “pelakor” (perebut laki orang) selalu menunjukkan kecenderungan jika masyarakat kita hanya menyalahkan perempuan dalam sebuah perselingkuhan, tanpa menyoal apa yang dilakukan laki-laki dalam relasi ini. Padahal laki-laki adalah orang yang berkontribusi besar dalam relasi ini karena dia satu-satunya subyek yang mengenal dua perempuan dalam relasi ini atau yang membuat 2 perempuan yang sebelumnya tidak saling mengenal menjadi terhubung

Pembicaraan soal Pelakor memang selalu ramai dibincangkan daripada Pebinor. Lihat saja, dibandingkan istilah Pebinor (Perebut Bini Orang), istilah Pelakor jauh lebih banyak ditulis. Konde.co mencoba melakukan pencarian cepat di Google, istilah Pelakor ditulis sebanyak 22.100.000 kali dalam hitungan 43 detik, namun istilah Pebinor hanya tertulis sebanyak 129.000 kali.  

Istilah Pelakor juga banyak ditulis ketika ini berhubungan dengan artis-artis perempuan. Ini artinya artis perempuan selalu jadi incaran untuk ditulis, termasuk apa saja perilaku personalnya selalu jadi incaran

Peneliti linguistik, Nelly Martin di theconversation.com menulis bahwa  retorika pelakor ini selalu timpang karena menempatkan perempuan sebagai “perebut”, seorang pelaku yang aktif dalam kegiatan perselingkuhan, dan menempatkan sang laki-laki seolah-olah sebagai pelaku yang tidak berdaya (barang yang dicuri, tak berkuasa). Terlebih, secara sosiolinguistik, istilah ini sangat berpihak pada laki-laki, karena seringkali muncul dalam wacana keseharian tanpa istilah pendamping untuk laki-laki dalam hubungan tersebut.

Dalam kebanyakan tulisan yang  ditelusuri, Nelly Martin menemukan, untuk pencarian data mengenai peredaran istilah Pelakor, secara umum ia digunakan sendiri, atau sang laki-laki secara terang-terangan absen dalam cerita tersebut. Secara kebahasaan istilah ini meminggirkan perempuan. Lebih dari itu istilah ini menunjukkan fenomena sosial-budaya yang lebih besar. Kerapnya istilah ini digunakan dalam cerita di media sosial dan dalam pemberitaan tanpa didampingi istilah yang sepadan untuk pelaku laki-laki, menunjukkan bahwa istilah ini seksis.

Nelly Martin juga menulis, penggunaan istilah tersebut sendirian—tidak dibarengi dengan penggunaan istilah untuk si lelaki tak setia—menunjukkan kecenderungan masyarakat kita yang hanya menyalahkan perempuan dalam sebuah perselingkuhan, meski jelas dibutuhkan dua orang untuk itu. Kita perlu ingat fakta bahwa (setidaknya) ada dua pihak yang terlibat perselingkuhan. Kecenderungan masyarakat Indonesia untuk menyalahkan pelakor seorang menunjukkan bias negatif kita terhadap perempuan, dan pada saat yang sama mengglorifikasi laki-laki.

Dalam kasus perselingkuhan, tampaknya masyarakat Indonesia masih menerapkan bias gender. Jika perselingkuhan terjadi, kesalahan ditimpakan pada perempuan, baik dalam peran perempuan sebagai korban (istri yang dikhianati—yang seringkali dianggap “gagal” mengurus suami) atau kepada perempuan lain, yang dianggap merebut. Dengan kata lain, kecenderungan kita untuk berteriak pelakor tanpa menyebut-nyebut sang lelaki, menggambarkan kekerasan terhadap perempuan dan persepsi yang buruk terhadap perempuan.

Istilah Pelakor Meminggirkan Peran Laki-laki

Kasus perselingkuhan selalu menghadapkan perempuan versus perempuan dan laki-laki yang menjadi subyek penting dalam relasi ini menjadi terlupakan, padahal laki-laki yang mengatur ini semua ketika ada relasi ini terjadi karena laki-lakilah yang mengenal keduanya

Luviana dan Nur Aini di Konde.co pernah menuliskan bahwa kondisi perselingkuhan memperlihatkan, apapun yang dilakukan perempuan selalu salah dan mendapatkan kecaman. Menjadi perempuan pertama juga salah, menjadi perempuan kedua juga salah.

Melihat stereotipe perempuan dalam kasus perselingkuhan tersebut, memperlihatkan perempuan dianggap sebagai yang lain atau liyan.

Pemikir feminis, Simone de Beauvoir dalam bukunya “The Second Sex” menyatakan perempuan sebagai liyan berarti dia adalah objek yang tidak bebas mendefinisikan makna eksistensinya sendiri. Dalam kasus perselingkuhan, perempuan pertama atau istri dianggap baik jika mampu membuat suaminya betah setia. Jika suaminya selingkuh, maka sang istrilah yang menjadi pihak salah karena tidak mampu mempertahankan kesetiaan suami.

Begitu juga dengan perempuan kedua yang dicap sebagai perebut laki orang (pelakor). Orang lain tidak secara kritis mempertanyakan perbuatan laki-laki, tetapi langsung menuding bahwa perempuan itulah yang menggoda. Sehingga, tudingan semakin menjadi-jadi pada perempuan, karena menilai laki-laki tidak akan selingkuh jika perempuan yang digodanya menolak. Tidak ada pertanyaan bagi laki-lakinya, karena laki-laki dianggap “biasa” selingkuh dan menggoda perempuan.

Definisi menjadi perempuan kemudian terpusat dari bagaimana laki-laki memperlakukannya. Sementara, laki-laki dibebaskan melakukan tindakannya sendiri tanpa stereotipe negatif yang melekat, bahkan ketika ia melakukan perselingkuhan sekalipun.

Dan sayangnya, dalam kasus perselingkuhan, kerap kali yang harus berhadapan untuk bertanggungjawab adalah sesama perempuan.

Beauvoir menyatakan persoalan penindasan perempuan berasal dari pemikirannya yang cenderung percaya bahwa dia adalah makhluk yang memiliki kelemahan dan tidak dapat hidup tanpa seorang laki-laki di sisinya. Apalagi, jika ada yang meyakini bahwa perempuan adalah bagian dari laki-laki seperti misalnya, dia meyakini diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, maka perempuan harus tunduk pada apa maunya laki-laki.

Inilah yang menyebabkan sesama perempuan kemudian menjadi bermusuhan untuk mencari validasi laki-laki dan berupaya menjadi “pemenang” sebagai pihak yang dipilih laki-laki. Pertanyaan kritis mengenai tindakan laki-laki selingkuh, akhirnya terpinggirkan.

Jadi, jangan lagi menggunakan perspektif menghadapkan perempuan versus perempuan, namun peran laki-laki terlupakan

Luviana

Setelah menjadi jurnalis di media mainstream selama 20 tahun, kini menjadi chief editor www.Konde.co dan menjadi dosen pengajar paruh waktu di Jakarta. Pedagoginya dalam penulisan isu media, perempuan dan minoritas
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!