Fans Service Ala ‘Pamungkas’: Sekedar Hiburan Atau Pelecehan Pada Penonton?

Beberapa bulan lalu, penyanyi Pamungkas menjadi sorotan di media sosial lantaran aksi kontroversialnya di panggung. Ia menggesekkan ponsel milik salah satu penonton ke alat kelaminnya usai berselfie dengan ponsel tersebut ketika ia menyanyi di atas panggung. Menurutnya, ini adalah bentuk fan service.

Dalam klarifikasinya, Pamungkas mengatakan bahwa tindakannya tersebut merupakan fan service dan bagian dari aksi panggung. Tindakan ini menurutnya tak beda dengan foto bareng usai konser, video ucapan ulang tahun dan sejenisnya.

Istilah fan service muncul dari komunitas anime. Namun konsepnya sendiri bisa ditelusur jauh ke belakang mengingat konsep yang sama juga bisa digunakan pada media yang lain.

Merujuk pada Anime News Network, fan service adalah tindakan menambahkan sesuatu yang tidak memiliki relevansi langsung dengan cerita atau pengembangan karakter ke dalam anime (atau manga) untuk tujuan menyenangkan penggemar.

Bentuk fan service yang paling umum adalah penambahan adegan perempuan yang berpakaian minim, berpose menggoda, memiliki payudara yang besar, atau hal-hal serupa. Biasanya fan service dikaitkan dengan karakter perempuan, karena kebanyakan penulis adalah laki-laki. 

Namun fan service dengan melibatkan karakter laki-laki juga ada. Ini dapat dijumpai pada anime, terutama manga yang ditujukan untuk pembaca perempuan. Meskipun bisa dikatakan seksualisasinya cenderung berbeda, namun menggunakan seks atau situasi seksual dalam anime terus mengundang kritik dan memunculkan perdebatan.

Namun fan service tidak melulu bersifat seksual. Bentuk lain dari fan service misalnya dapat dilihat pada anime yang bertema mecha yang menampilkan adegan transformasi robot raksasa yang menggelegar yang dapat memuaskan penonton. Hal serupa dapat ditemui pada seri magical Girls yang memperlihatkan adegan transformasi para tokohnya dengan menggunakan kekuatan sihir untuk berubah menjadi magical girls.

Fan service tidak terbatas pada anime dan manga, tetapi juga bisa ditemui pada film. Terlebih jika fan service dimaknai secara literal sebagai apapun yang dibuat dalam bentuk media untuk menyenangkan para penggemarnya.

Bart Beaty seperti dikutip Mimosa Wittenfelt misalnya menggambarkan fan service dalam Marvel Cinematic Universe sebagai tautan referensi diri dan intertekstual ke dalam semesta fiksi yang lebih luas dalam bentuk apa yang disebut sebagai Easter eggs dan adegan cameo dari Stan Lee—pendiri Marvel Comics—yang hanya akan dikenali dan diapresiasi oleh penggemar yang mengikuti film tersebut dengan intens.

Dalam perkembangannya fan service juga dikenal luas dalam dunia K-Pop. CXO Media menulis fan service adalah sebuah perilaku artis atau idol dengan cara memberikan berbagai interaksi yang sangat membekas bagi para fans atau penggemarnya.

Pada dasarnya para idol memberikan fan service untuk menjalin kedekatan dan relasi timbal balik dengan para fans karena mereka menyadari penggemar memiliki peran besar dalam mendukung karir dan kesuksesan mereka.

Di industri musik Korea, para artis berinteraksi secara aktif dengan penggemar mereka. Selain konser berskala besar, para idol K-Pop kerap mengadakan fan meeting atau fan signing, melakukan live streaming, atau menyediakan layanan seperti pengiriman pesan di aplikasi berbayar untuk para penggemar.

Dalam momen-momen tersebut, idol biasanya memberi kesempatan pada penggemarnya untuk berjabat tangan, menyentuh wajah idol atau bagian tubuh yang lain, mendengarkan cerita fans, berfoto bersama, bahkan memberikan pelukan.

Meskipun fan service bertujuan untuk menyenangkan penggemar, tetapi ada batasan yang perlu dijaga baik oleh penggemar maupun artis. Untuk itu persetujuan atau consent menjadi hal yang penting sehingga aktivitas fan service ini dilakukan tanpa ada paksaan, tekanan, manipulasi, dan dalam kondisi sadar. Persetujuan ini juga mencakup satu tindakan yang spesifik. 

Untuk tindakan yang lain dibutuhkan persetujuan ulang. Tidak menutup kemungkinan juga seandainya persetujuan ini dibatalkan. Persetujuan ini sesederhana ketika kita meminjam barang seseorang, kita perlu meminta izin dan kesediaan dari orang tersebut.

Pada aktivitas fan service yang mencakup skinship seperti misalnya berpelukan, persetujuan ini menjadi sangat penting. Meskipun pada dasarnya persetujuan mencakup semua aktivitas. Dengan begitu fan service ini tidak merugikan atau memberikan dampak buruk bagi salah satu atau kedua belah pihak.

Kembali pada tindakan yang dilakukan Pamungkas, tidak dapat dipungkiri bahwa pada saat aksi tersebut berlangsung sontak terdengar teriakan dari sejumlah penonton. Namun adanya tanggapan negatif yang disuarakan oleh penggemarnya melalui media sosial juga bukan hal yang dapat diabaikan begitu saja. Ketidaksukaan penggemar menunjukkan fan service yang dilakukan Pamungkas bukan hal yang menyenangkan menurut penilaian penggemar.

Dalam hal ini dapat dikatakan sebagai musisi laki-laki cis hetero, Pamungkas menggunakan sudut pandang dari posisinya tersebut. Bagi penggemarnya—atau sebagian penggemarnya—yang kebanyakan perempuan yang mempunyai sudut pandang berbeda dalam memandang seksualitas tindakan menggesekkan ponsel ke alat kelamin tersebut bukanlah “service yang diinginkan” penggemar. 

Bagi publik secara umum, tindakan ini juga memunculkan pro dan kontra, ada yang melihatnya sebagai hal yang cabul, tapi ada pula yang memandangnya sebagai hal wajar. 

Poin penting yang juga perlu disorot dari kasus ini adalah bahwa fans sebenarnya memiliki power. Meskipun dalam kasus ini kekuatan para fans cenderung masih cair dan belum semasif seperti yang dilakukan para fans K-Pop misalnya. Tetapi tindakan penggemar untuk bersuara dan mengambil sikap perlu diapresiasi.

Berkaca pada penggemar K-pop, mereka terkenal dengan kemampuannya mengorganisir dan melakukan protes untuk melindungi dan mempromosikan idola mereka. Seperti pengamatan Yena Lee, dalam perkembangannya aktivisme penggemar K-pop yang awalnya lebih berorientasi pada acara promosi kemudian bergeser menjadi aktivisme seperti gerakan hashtag feminis yang berpusat bukan pada idola, tetapi agensi penggemar dan agenda mereka untuk memajukan produksi dan konsumsi teks idol K-pop yang benar secara politis.

Di Panggung Perempuan Pemusik Mendapat Pelecehan Seksual

Dari kasus Pamungkas, kita dapat melihat di panggung penyanyi laki-laki dapat melakukan tindakan yang mengandung seksualisasi. Berbeda halnya dengan penyanyi perempuan. Konde.co pernah menulis di panggung banyak perempuan pemusik yang mendapatkan pelecehan seksual.

Jadi persoalan pertama yang banyak dialami perempuan di industri musik adalah persoalan akses yang minim. Lalu kedua, adanya diskriminasi, dan yang ketiga pelecehan perempuan banyak terjadi disini. 

Walaupun di banyak tempat wacana tentang stop pelecehan terhadap perempuan sudah menjadi wacana lama, namun di industri musik wacana ini masih menjadi informasi yang sangat baru. 

Zara Zahrina, perempuan penyanyi yang aktif di Hantu Records, sebuah produksi musik-musik Indie mengatakan, bahwa industri musik dasarnya merupakan industri yang masih punya nilai-nilai patriarkal yang sangat kental dan mendasarkan pada cara pandang patriarki. Hal ini dikuatkan dengan banyaknya bacaan dan tulisan tentang musik yang semakin menguatkan kondisi tersebut.

Zara mencontohkan, misalnya ada banyak tulisan yang menuliskan artikel sensasional tentang perempuan, seperti misalnya artikel bertuliskan: 10 pemusik cewek tercantik. Artikel seperti ini kemudian terus dibicarakan di kalangan pemusik, dibaca dan akhirnya pembaca yang berasal dari kalangan pemusik meyakini ini sebagai hal yang biasa.

“Jadi perempuan masih dinilai penampilan fisiknya, diobjektifikasi dan belum dilihat kemampuan bermusiknya.”

Fithor Fariz, musisi dari production house Kedubes Bekasi melihat bahwa kriteria untuk penampilan fisik perempuan di musik masih terus terjadi, misalnya untuk menaikkan rating dan share, maka pemusik atau penyanyi yang dipilih haruslah yang cantik dulu. Kondisi ini sama dengan yang terjadi di layar televisi seperti di sinetron yang banyak diproduksi selama ini.

“Jadi menjual perempuan dari fisiknya dulu, seperti sinetron sekarang, tak perlu lihat akting, yang penting menarik secara visual. Dan penonton di musik itu kebanyakan laki-laki, jadi band nya sendiri atau penyelenggara memanfaatkan daya tarik wajah perempuan lebih dulu agar band nya laris,” kata Zara.

Mungkin laki-laki sebagian mengerti dan memahami bahwa ini tidak boleh, tapi untuk mengubah ini tidak mudah.

“Jadi perempuan kebanyakan memang digunakan sebagai penarik panggung, merepresentasi perempuan hanya dari wajahnya saja, perempuan sebagai objek saja.”

Zara Zahrina memandang, di industri musik komersial pun ada pandangan yang tak jauh beda. Misalnya ada yang mengusulkan soal ide agar membuat band perempuan yang isinya perempuan semua, ini dilakukan agar menarik perhatian penonton dan promotor. Pandangan ini bias dan akhirnya cara pikir ini yang masuk ke pandangan patriarki yang sudah kental di lingkungan musik.

Selain cara pandang patriarkal, penonton, promotor dan lingkungan di industri musik adalah kelompok yang melanggengkan cara pandang patriarkal ini, karena ternyata merekalah yang menentukan selera. Termasuk kemudian menentukan kriteria perempuan.

Penonton masih menyukai penampilan perempuan yang cantik. Perempuan yang cantik pun bukan tanpa masalah, mereka kemudian menjadi objek dan tetap saja menjadi bahan untuk dilecehkan.

Anita Dhewy

Redaktur Khusus Konde.co dan lulusan Pascasarjana Kajian Gender Universitas Indonesia (UI). Sebelumnya pernah menjadi pemimpin redaksi Jurnal Perempuan, menjadi jurnalis radio di Kantor Berita Radio (KBR) dan Pas FM, dan menjadi peneliti lepas untuk isu-isu perempuan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!