The Voice: Pesona Charmed Circle dan Perkawinan Paksa Tunjukkan Hierarki Dalam Seksualitas

Perkawinan selalu menjadi ‘lingkaran yang penuh dengan pesona’ atau charmed circle. Ya, begitu Gayle Rubin menyebutkannya. Selalu ada hierarki dalam seksualitas. Lingkaran yang mempesona ini tentu akan dipuja-puji sebagai yang baik dan terberkati. Dan perkawinan yang dimaksud disini, tentu saja antara cis laki-laki dan cis perempuan–alias cis heteroseksual.

Konde.co menghadirkan “The Voice”: Edisi khusus para aktivis perempuan menulis tentang refleksinya. Ini merupakan edisi akhir tahun Konde.co yang ditayangkan 28 Desember 2022- 8 Januari 2023

Akhir November 2022 lalu, saya hadir di Kongres Ulama Perempuan Indonesia 2 (KUPI 2), sebuah pertemuan besar yang digelar lima tahun sekali. 

Bertempat di Pondok Pesantren Hasyim Asyari, Bangsri Jepara. Dengan peserta lebih dari 1300 orang, kongres ini dibuka dengan orasi dari Nyai Badriyah Fayumi. Ia nyatakan dengan tegas bahwa KUPI adalah sebuah gerakan. Siapa pun bisa menjadi bagian darinya. Perempuan, laki-laki yang meyakini bahwa kesetaraan dan kasih bagi manusia dan semesta adalah fondasi dalam Islam. Jantung saya berdebar-debar dan perut saya seperti dihampiri banyak kupu-kupu yang beterbangan. 

Saya bisa merasakan energi yang mengalir dari panggung hingga ke baris-baris kursi para peserta, termasuk di kursi tempat saya duduk. Energi dan suasana yang membuat saya tersenyum sumringah. Tentunya tak terkecuali dengan orang-orang queer Muslim. Begitu saya berucap dalam hati. 

Dalam KUPI, ada beberapa musyawarah keagamaan yang menjadi ruang berbagi, berefleksi dan mencari cara untuk mengatasi berbagai pengalaman perempuan yang kerap dinihilkan. Dari musyawarah keagamaan tersebut, KUPI akan membuat fatwa atau pandangan keagamaan. Saya sungguh penasaran dan bersemangat. Saya hadir di salah satu musyawarahnya yaitu tentang pemaksaan perkawinan pada perempuan. 

Ketika mendengar tema ini, saya teringat saat sedang bersama-sama organisasi yang bergerak untuk hak-hak seksual, khususnya bagi perempuan lesbian, biseksual, queer dan individu transgender di berbagai daerah di Indonesia untuk pertama kalinya mempersiapkan laporan bersama kepada komite CEDAW. Pemaksaan perkawinan merupakan sebuah bentuk kekerasan yang sangat khas terjadi pada perempuan lesbian, biseksual, queer, maupun transgender laki-laki. Mengapa ini bisa terjadi?

Perkawinan selalu menjadi ‘lingkaran yang penuh dengan pesona’ atau charmed circle. Ya, begitu Gayle Rubin menyebutkannya. Selalu ada hierarki dalam seksualitas. Lingkaran yang mempesona ini tentu akan dipuja-puji sebagai yang baik dan terberkati. Dan perkawinan yang dimaksud disini, tentu saja antara cis laki-laki dan cis perempuan–alias cis heteroseksual. Di sisi lain ini berseberangan dari charmed circle ini, adalah seksualitas yang ada di luar batasan. Yang bukan heteroseksual dan orang-orang yang tak menikah. Dalam charmed circle, seseorang dengan karakteristik betina, terus dikondisikan untuk mengikuti aturan dapur-sumur-kasur atau masak-macak-manak. 

Sedari awal, seseorang dengan karakteristik betina akan serta-merta ditetapkan sebagai perempuan dan berikutnya ditetapkan peran sosialnya sebagai istri dan ibu. Jika ada yang hendak keluar dari charmed circle, maka aturan tersebut akan memaksa siapapun untuk kembali ke dalamnya, atas nama kebaikan dan berkat. Tentu saja, ini semua berlangsung demi meneguhkan satu hal: norma dan tatanan yang serba cis-hetero. Caranya bisa bermacam-macam, dari yang paling kentara hingga subtil. 

Saya ingat seorang kawan yang bekerja di sebuah organisasi LBT di Jawa Tengah bercerita tentang ND, seorang lesbian yang berpacaran dengan laki-laki demi menghindari tekanan pernikahan yang terus-menerus dari orang tuanya. Pada saat yang sama, ND pun memperkenalkan pacar laki-lakinya kepada teman-teman ND lain yang juga lesbian agar ia bisa menerima situasi diri ND. Namun, baik orang tua maupun pacar laki-laki ND semakin sering memaksanya untuk menikah, terlebih ketika pacar laki-laki ND mengatakan pada orang tua ND bahwa ia adalah lesbian. ND pun memutuskan untuk pergi dari rumah orang tuanya. 

Kerap kali hierarki charmed circle dirapal dengan fasih dan tak jarang dibalut ‘atas nama cinta’ oleh orang-orang yang selama ini dihormati dan dikasihi. Cinta menjadi cara untuk meyakinkan bahwa perkawinan paksa adalah sesuatu yang mungkin akan sulit dihadapi di masa-masa awal, tapi akan membawa kebahagiaan di akhir. Tapi kebahagian bagi siapa? Kita tidak bisa menyatakan bahwa kita sedang mencintai jika kita menyakiti dan merendahkan karena mencintai dan merendahkan tidak bisa hidup berdampingan, begitu kata Bell Hooks. 

Di musyawarah keagamaan KUPI yang saya hadiri, saya ikut mengangkat tangan saya dan mendapatkan termin ketiga untuk bercerita. 

Nurun Sariyah, nyai muda yang menjadi pimpinan sidang dalam musyawarah tersebut, mengingatkan saya untuk juga merespons salah satu pertanyaan dalam musyawarah, yakni tentang bagaimana meminimalkan dampak buruk bagi korban pemaksaan perkawinan. Saya mengangguk. 

Saya bercerita tentang peristiwa yang dialami F, seorang transgender laki-laki dari Sumatra Utara yang berhadapan dengan hukum. F mengalami riwayat kekerasan seksual saat di Sekolah Menengah Atas (SMA). Ia diperkosa dan dipaksa menikah dengan pelaku dan melahirkan seorang anak. F menghidupi anaknya sebagai pekerja migran tak berdokumen di Malaysia. Di Malaysia, ia menikah siri dengan atasan kerjanya agar ia mendapat perlindungan selama bekerja. Saat F kembali ke Sumatra Utara, F mengalami sakit perut yang hebat, ia segera pergi menuju kamar mandi umum dan ternyata ia melahirkan di sana. Ternyata F tak sadar bahwa selama ini ia sedang hamil. 

Saat bayinya lahir, F meninggalkan sejenak bayinya untuk bergegas ke rumahnya yang berjarak 100 m dari kamar mandi umum untuk mengambil kain. Setiba di rumah, F pingsan dan mengeluarkan banyak darah. Orang-orang berdatangan, polisi pun dipanggil. F menjalani proses pengadilan dan didakwa dengan pasal percobaan pembunuhan terhadap bayinya dan penelantaran anak. 

Saksi ahli telah didatangkan untuk menjelaskan tentang identitas gender F dan riwayat trauma akibat kekerasan seksual serta pemaksaan perkawinan F yang berdampak pada kondisi psikologisnya. Jaksa dan hakim tak menggubris ini. F divonis tiga tahun dan denda berupa pidana kurungan selama tiga bulan. 

“Perkawinan paksa bukan hanya terjadi pada perempuan, tapi pada seseorang yang memiliki karakteristik betina, seperti F. Dan cara meminimalkan dampak buruk bagi korban pemaksaan perkawinan adalah dengan memastikan riwayat kekerasan seksual dan pemaksaan perkawinan dijadikan sebagai pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara persidangan bagi korban pemaksaan perkawinan yang sedang berhadapan dengan hukum,” begitu saya mengakhiri cerita.  

Saya sungguh menyambut Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang disahkan pada April tahun 2022 yang dengan jelas mengatur tentang pidana pemaksaan perkawinan, yang didalamnya termasuk perkawinan anak, pemaksaan perkawinan dengan mengatasnamakan praktik budaya dan pemaksaan perkawinan antara korban dengan pelaku perkosaan. 

Pada saat yang sama, di penghujung tahun 2022 ini saya sekaligus khawatir. Ada KUHP yang baru saja disahkan memasukkan living law (hukum yang hidup di masyarakat) ke dalam hukum negara. 

Living law seperti apa yang dapat menjadi landasan bagi korban perkawinan paksa bisa mendapatkan keadilan dan pulih secara penuh?   

Perjalanan masih panjang, maka dari itu daya tetap dijaga untuk terus menyala dengan tak lupa berjeda diantaranya.

Yulia Dwi Andriyanti

Perempuan queer. Penulis, penggerak komunitas dan peneliti independen. Sehari-hari beraktivitas di Qbukatabu, organisasi feminis dan queer dan Akar Rumput, koperasi untuk LBTIQ. Menyelesaikan studi S2 tentang Gender, Seksualitas dan Ketubuhan di University of Leeds, Inggris pada 2017. Memiliki minat besar terhadap pemikiran dan ingatan feminis-queer, kesejahteraan (well-being), dan keimanan. Laman situs yang bisa dikunjungi, yakni https://queerinlife.com/, IG: queerinlife dan email: yulia@queerinlife.com
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!