4 Hal Yang Tidak Menyenangkan Saat Bukber: Pamer Outfit dan Ditanya ‘Kok Gendutan?’ 

Ada Bukber yang menyenangkan, yaitu bisa ngopi dan lebih akrab sama teman, tapi ada yang gak menyenangkan, kayak ada yang pamer outfit, dan kita ditanya: kok gendutan?

Berharap Bukber. Paling tidak ini yang sering saya rasakan. Enak kan, tiba-tiba ada undangan buka bersama (Bukber)?

Membayangkan bisa kumpul bareng teman-teman, harapannya pasti ini akan jadi momen yang seru. Apalagi bagi pekerja Work From Home (WFH) seperti saya, yang kadang tiga hari tidak ngomong sama siapa-siapa karena bekerja sendirian saja. Tentu mendapat undangan bukber berharap bisa dapat suasana berbeda. 

Tapi ternyata, tidak jarang momen ini dipakai jadi ajang pamer outfit sampai achievement.

Mungkin bagi sebagian orang, acara buka bukber adalah momen yang ditunggu dan selalu membuat mereka semangat datang. Tapi, bagi sebagian orang lain, menerima undangan buka bersama justru membuat mereka malas untuk datang.

Selain bingung harus pura-pura kagum melihat teman yang pamer outfit dan pencapaian tadi, pertanyaan-pertanyaan meresahkan dari saudara dan sahabat yang hadir. Pertanyaan seperti:

“Kapan kawin?.” 

“Kenapa hidupmu gitu-gitu aja?.” atau 

“Kok gendutan sekarang?.” 

“Kog kurusan, sakit ya?,” sering kali membuat kita merasa tidak nyaman. Namun, bukan berarti kita lantas menyerah pada tipe-tipe teman seperti itu.

Momen Bukber Jadi Kesempatan Untuk Validasi

Ternyata, banyak hal yang membuat seseorang malas untuk menghadiri undangan buka bersama, apa saja alasannya?

1.Pamer Pencapaian

Bukber juga jadi ajang pertemuan orang untuk pamer dengan pencapaian. Bukan rahasia lagi kalau ada orang-orang yang suka memperlihatkan keberhasilan mereka secara berlebihan, terutama dalam acara bukber. Ini juga lazim dilakukan di acara lainnya seperti reuni, meeting, dll.

2.Pakai Outfit Terbaru

Entah itu dengan memakai baju atau aksesoris dari merek mahal, atau dengan bercerita tentang pencapaiannya secara berulang-ulang di hadapan orang lain.

Kultur anak sekolahan yang membutuhkan nilai dan pujian bagi hasil kerjanya masih menjadi kebutuhan yang terbawa sampai dewasa. Padahal orang dewasa memiliki beragam hal yang tidak bisa disamakan menjadi standar kesuksesan. Tidak semua orang yang mendefinisikan sukses dengan outfit mewah dan pencapaian karir atau kemapanan materi. Dunia ini luas, kamu harus tahu bahwa pencapaian bukan hanya materi, ada orang yang merasa sukses ketika bisa berenang di laut bebas bersama paus!

Nah, bagi kalian yang malas bertemu dengan orang seperti ini, jangan khawatir, karena kalian bisa mengcounternya dengan menceritakan hal yang terjadi di hidup kalian secara apa adanya. Atau menjadikan pengalaman getir kalian menjadi lelucon, mungkin kalian takut dicap menyedihkan atau akan terlihat seperti badut, namun justru dengan menjadi diri sendiri akan membuat lawan bicara merasa segan. Misalnya setelah seorang teman membanggakan keluarganya yang harmonis, pasangan yang kaya raya, lalu mengasihani kamu yang baru bercerai, kamu bisa menjawab dengan “Tidak semua perempuan bisa berani keluar dari pernikahan yang buruk, harusnya kasih aku selamat dong!.”

Atau jika kamu belum bisa mengatasi dirimu sendiri untuk menjawabnya, tidak usah dipaksa, kamu bisa menghindarinya dengan mencari excuse seperti, “Maaf ya, aku harus pergi duluan. Ada acara penting yang harus aku hadiri.” As simple as that!

Orang juga seringkali mengajukan pertanyaan-pertanyaan normatif, seperti berikut ini:

3.Kapan Kawin?

Pertanyaan lain yang sering muncul misalnya: kapan kawin, kok gendutan, atau kok belum kerja, kepada orang lain. Pertanyaan-pertanyaan tersebut, pada dasarnya, mengandung nilai-nilai atau ekspektasi sosial yang dianggap seharusnya dilakukan oleh seseorang dalam konteks budaya dan masyarakat tertentu. 

Meskipun demikian, banyak orang merasa tidak nyaman atau bahkan tersinggung ketika pertanyaan-pertanyaan semacam itu diajukan kepada mereka. Lalu, mengapa orang suka menanyakan pertanyaan normatif yang seharusnya tidak perlu ditanyakan?

Banyak orang merasa penting untuk mengetahui kehidupan pribadi orang lain sebagai bagian dari kegiatan sosial dan komunikasi. Pertanyaan-pertanyaan semacam itu sering kali dianggap sebagai cara yang baik untuk memulai percakapan atau membangun hubungan interpersonal.

BACA JUGA:

7 Tips Ngabuburit Anti Garing di Era Daring, Yuk Coba!

Kalau Gak Mudik Kangen, Mudik Dikejar Pertanyaan “Kapan Nikah?”

‘Kapan Nikah? Berapa Anaknya?’: Pertanyaan Basa-Basi Ini Bisa Jadi Stigma Buat Kamu

4.Kenapa Gendutan?

Alasan lain adalah adanya ekspektasi sosial dan budaya tertentu yang menuntut seseorang untuk melakukan hal-hal tertentu pada waktu yang tepat dan dalam urutan yang benar. Misalnya, banyak orang di beberapa budaya menganggap bahwa menikah di usia muda adalah suatu hal yang diharapkan. Begitu juga dengan menjaga berat badan ideal atau memiliki pekerjaan yang mapan.

Namun, akibat dari pertanyaan-pertanyaan seperti itu bagi sebagian orang dapat mencerminkan stereotip negatif yang mempersempit pandangan kita terhadap orang lain. Stereotip tersebut dapat berdampak buruk pada kesehatan mental dan emosional orang yang ditanyai. Banyak orang merasa tertekan dan cemas karena merasa tidak mampu memenuhi ekspektasi sosial dan budaya yang diterapkan pada mereka.

Oleh karena itu, penting untuk diingat bahwa setiap orang memiliki kehidupan dan tujuan hidup yang berbeda-beda. Tidak semua orang harus mengikuti pola hidup yang sama, dan tidak ada standar universal untuk menjalani hidup. Oleh karena itu, sebaiknya kita hindari mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dapat memicu stereotip atau prasangka negatif terhadap orang lain. 

Sebaliknya, kita dapat mengajukan pertanyaan yang lebih inklusif dan membuka ruang percakapan yang positif dan membangun. Seperti apa?

Pertama, kita dapat memperkenalkan topik baru yang lebih positif dan relevan dengan kehidupan orang yang kita ajak bicara. Misalnya, jika seseorang bertanya “kok belum kerja?”, kita bisa menjawab dengan “Iya nih belum dapat rejeki saja, aku sudah berusaha melamar kemana-mana. Jadi sekarang aku sedang sibuk menghabiskan warisan orangtua saja hehe bercanda..” 

Atau mengalihkan perhatiannya dengan bertanya tentang hobi atau kegiatan yang dilakukan orang tersebut. Misalnya, “Apakah kamu sudah mencoba aktivitas baru akhir-akhir ini? Seperti belajar memasak atau menulis?”

Kedua, kita bisa mengajukan pertanyaan yang lebih inklusif dan membangun. Pertanyaan inklusif dan membangun merupakan pertanyaan yang tidak terlalu menekankan pada perbandingan atau evaluasi antara diri sendiri dengan orang lain. Sebagai contoh, kita dapat bertanya seperti, “Apa yang sedang kamu lakukan di waktu luangmu?” atau “Lagi seneng ngapain nih?”

Dalam mengajukan pertanyaan, kita perlu memperhatikan sikap dan nada suara yang kita gunakan. Pastikan kita terdengar tulus dan ingin mengenal orang tersebut, serta terhindar dari kata-kata yang bisa memicu prasangka dan stereotip negatif terhadap orang lain.

Contoh penggunaan sikap dan nada suara yang tulus dan ingin mengenal orang tersebut dapat dilihat dalam contoh berikut:

Seorang teman bertanya, “Kapan kamu akan menikah? Kok sudah lama pacaran tapi belum juga menikah?.”

Pertanyaan semacam ini bisa membuat seseorang merasa tertekan dan merasa perlu memberikan penjelasan atau alasan yang terkadang cukup pribadi. Namun, kita bisa merubah cara bertanya tersebut agar lebih inklusif dan membangun dengan cara seperti ini:

“Kamu dan pasanganmu sudah lama bersama, apa yang kamu sukai dari hubungan kalian?”

Dalam pertanyaan ini, kita tidak menekankan pada kapan menikah, tetapi lebih kepada hal positif yang bisa dibangun dari hubungan tersebut.

Jadi, sudah siap untuk datang bukber sekarang?

Ika Ariyani

Staf redaksi Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!