Perjuangan waria di jalan religius

Lihat, Potret Jalan Terjal Religius Waria: Mereka Bukan Orang yang Menyimpang Moral

Awalnya saya tidak jauh berbeda dengan mereka yang juga sinis dan menyebut waria sebagai orang yang telah menyimpang secara moral dan agama. Namun anggapan tersebut runtuh ketika saya bertemu langsung dan berbincang dengan beberapa waria yang juga nyantri.

Di Yogyakarta terdapat sebuah lembaga pesantren waria yang bernama pesantren Al-Fatah. Pesantren tersebut menjadi wadah mengekspresikan keberagamaan mereka. Kehadiran pesantren ini pun bukan tanpa masalah. Pada tahun 2016, pesantren ini pernah mengalami penyegelan paksa yang dilakukan oleh Front Jihad Islam.

Stigma diskriminatif itu tidak lepas dari konstruksi sosial yang telah mengakar kuat. Apalagi jika ditinjau dari sudut pandang religiusitas, ragam pendapat pun menuai pertikaian yang pro dan kontra. Bahkan telah tertanam sejak dalam pikiran berupa anggapan “telah menyalahi kodrat dan ketentuan-Nya”. Keberadaan waria telah memunculkan ragam rupa perspektif yang teramat kompleks.

Konstruksi sosial yang terbentuk, kemudian memaksa kelompok rentan ini terpinggirkan dari peran sosial kemasyarakatan. Betapa pun beberapa dari mereka ada yang berperan dalam ranah publik, namun beberapa dari mereka lebih banyak berprofesi sebagai pengamen, penata rias, penyedia catering, dan bahkan ada yang menjadi pekerja seks. 

Hal ini karena pra-syarat yang menjadi ketentuan pekerjaan yang harus dipenuhi hampir semuanya hanya tersedia bagi laki-laki dan perempuan sebagai kriterianya. Bukan untuk waria. Bahkan untuk sekedar mencari tempat tinggal semacam sewa kos-kosan, sulitnya minta ampun. Kira-kira begitu menurut beberapa pengakuan waria. Padahal mereka juga bersedia dan mampu membayar.

Itu hanya dari segi hak-hak kebutuhan dasar yang seharusnya mereka dapat, tapi telah terpinggirkan hak-haknya. Apalagi dibenturkan dengan religiusitas yang sensitif, gampang digoreng, dan sangat mudah menyulut emosi. Ditambah lagi banyak pemahaman tokoh dan agamawan cenderung menjustifikasi waria sebagai makhluk haram. Tidak ada tempat bagi mereka kecuali neraka. 

Baca Juga: 4+1 Alasan Mengapa Penting Lindungi Transpuan: Mereka Bukan Virus

Akhirnya, waria tersubordinasi dalam ruang sosial. Dampak lainnya waria tidak tersentuh dalam sisi religi. Sehingga mereka kemudian enggan untuk mendekat untuk sekadar mempelajari agamanya.

Vonis bergelimang dosa, tidak memperoleh harapan dan rangkulan dari agama, membuat waria benar-benar meninggalkan agama yang dianut. Sehingga tidak sedikit dari mereka yang masih terbata-bata dalam membaca Al-Qur’an. Bahkan, ada yang tidak dapat membaca sama sekali. Diakui atau tidak, kebanyakan santri waria masih terbata-bata dalam membaca Al-Qur’an, dan begitu jauh dari apa yang dianggap orang-orang sebagai jalan menuju kesalehan. Bahkan banyak yang telah lupa cara mengeja huruf Hijaiyah karena telah lama ditinggalkan, dan segala bentuk tindakan spiritual lainnya yang tidak juga terjamah.

Hal ini juga dibuktikan dengan realitas lapangan bahwa tidak sedikit pun waria yang berani menunjukkan diri untuk bergabung melakukan kegiatan keagamaan bersama dengan masyarakat umumnya. 

Belum lagi pasti akan dicekoki pertanyaan-pertanyaan yang membuat risih dan merasa terusik. Akhirnya memilih untuk tidak bergabung sama sekali. Seperti itulah pahit getir keberagamaan waria yang dilaluinya. Atau pernah tidak anda melihat seorang waria yang turut serta menghadiri majelis taklim di masjid umum? Atau berbaris sejajar dalam barisan shaf dalam rangka salat berjamaah bersama masyarakat sekitar? Mungkin hampir nihil ditemukan.

Keberadaan pondok pesantren waria tersebut sedikit banyak mempengaruhi perspektif orang terhadap keberadaan waria. 

Awalnya Saya Sinis Melihat Waria

Awalnya saya tidak jauh berbeda dengan mereka yang juga sinis dan menyebut waria sebagai orang yang telah menyimpang secara moral dan agama. Namun anggapan tersebut runtuh seketika saat bertemu secara langsung dan setelah bincang-bincang santai dengan beberapa dari mereka yang juga nyantri. Saya mencoba meminggirkan perspektif yang tertanam kuat di kepala dengan membiarkan perspektif diri waria sendiri (in sider) untuk bicara bahwa persoalan ini juga sangat kompleks.

Terdapat hal yang unik, dari ekspresi keberagamaan yang ditampilkan waria dalam melaksanakan salat berjamaah. Pasalnya dari beberapa santri waria dalam mengenakan atribut pakaian salat yang berbeda satu sama lain. Ada yang mengenakan mukenah, namun beberapa lainnya kebanyakan menggunakan sarung dan celana.

Sementara dalam kacamata hukum Islam (dalam hal ini fiqih) terkait tata cara salat berjemaah yang sampai kepada kita adalah posisi yang berada pada barisan pertama adalah laki-laki dewasa. Lalu diikuti laki-laki yang anak-anak, berikutnya diikuti perempuan dewasa dan anak-anak perempuan di barisan berikutnya. 

Meskipun ada juga pendapat berbeda yang membolehkan laki-laki dan perempuan pun dianggap sah dan memiliki dalil. Teruntuk rujukan salat bercampur itu dapat ditemukan dalam kitab Rahmah al-Ummah fi Ikhtilafi al-Aimmah.

Santri waria yang betapa pun terlahir sebagai seorang laki-laki secara biologis. Namun mereka merasa bahwa jiwa mereka adalah perempuan yang terpenjara dalam tubuh laki-laki. Sehingga beberapa dari mereka yang memakai sarung atau celana sekalipun, enggan menempati posisi pertama, dasar keengganan yang dilakukan karena merasa ada jiwa perempuan tadi.

Baca Juga: Dipanggil ‘Kak’ atau ‘Mbak’? Bagaimana Sebaiknya Kita Memanggil Transpuan

Tanpa perlu ditanya, pihak waria menjawab secara langsung yang menurut saya ngena dan dalam banget. Kira-kira begini, “Kami tidak peduli dengan pandangan tokoh agama arus utama terkait apa yang kami pakai saat salat. Tapi yang jelas tujuan kami adalah mencapai kenyamanan itu sendiri, saat nyaman berarti puncaknya adalah mencapai kekhusukan, saat khusyuk di situlah buah ibadah dapat dirasakan. Mau bilang sah atau tidak apa yang kami kerjakan biarlah menjadi hak prerogatif  Allah Yang Maha mengetahui dan menilai.” 

Mungkin tindakan responsif ini adalah upaya mencegah munculnya pertanyaan yang bakal mengarah ke sana. Namun yang sangat mengiris hati ialah saat melihat seorang waria yang mengekspresikan keberagamaannya mendapatkan justifikasi yang cenderung diskriminatif, bahkan oleh tokoh agama itu sendiri. Segala bentuk laku peribadatan waria seolah-olah telah dianggap salah dan tidak sah bahkan sejak dalam pikiran dan niatnya. Sehingga, dari pandangan tersebut secara tidak langsung, waria dipandang sebagai jenis manusia yang tidak layak mendapat pelukan Allah, atau manusia jenis lain yang tidak membutuhkan ibadah.

Jika para pemuka agama, dan orang-orang muslim pada umumnya lebih mendahulukan justifikasi diskriminatif tanpa merangkul para waria. Apa mungkin mereka akan semakin dekat dan semakin mengenal dalam upaya mempelajari agama dan ajarannya yang telah lama ditinggalkan?

Sangat kompleks memang, apalagi ini bukan hanya terkait masalah fiqhiyyah. Halal dan haram juga debatable. Namun ini tentang hak waria yang terenggut sebagai manusia utuh yang juga rindu dipeluk Tuhannya, mengalami ketidakadilan, hingga mencapai keadilan hakiki yang dicita-citakan. 

Waria dan lainnya sama-sama berstatus sebagai homo-religius yang dibekali anugerah akal dan hati, yang secara naluriah selalu merindukan dan ingin terus mengenal zat Agung yang menciptakannya.

Wallahu a’lam bi al-shawab

Ali Yazid Hamdani

Lahir di Probolinggo, Jawa Timur. Sarjana Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ia aktif menulis esai, suka beropini, dan sesekali berpuisi. Dapat disapa melalui Instagram @ay_hamdani07
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!