Sejumlah aktivis dan masyarakat sipil memberikan dukungan pada pembela HAM Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar yang pada Senin (3/4) menghadapi sidang.
Sidang perdana terhadap Fatia dan Haris berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Keduanya menghadapi dakwaan dalam kasus dugaan pencemaran nama baik Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Meski menghadapi dakwaan dalam kasus yang sama namun Fatia dan Haris menjalani persidangan secara terpisah. Sidang pertama menghadirkan advokat sekaligus pendiri Lokataru Foundation, Haris Azhar sebagai terdakwa. Sedang sidang kedua menghadirkan Koordinator kontraS, Fatia Maulidiyanti sebagai terdakwa. Kedua sidang dipimpin oleh majelis hakim yang sama, begitu juga dengan jaksa penuntut umum (JPU).
Meski Fatia dan Haris menjalani sidang secara terpisah, tapi dakwaan yang dibacakan JPU tidak berbeda. Usai pembacaan dakwaan oleh JPU, baik Fatia maupun Haris mengaku tidak mengerti dakwaan yang ditujukan pada mereka.
“Saya tidak mengerti dakwaannya dan saya ingin menjelaskan alasannya,” kata Fatia kepada majelis hakim. Sidang ini disiarkan secara langsung melalui akun Youtube Jakartanicus.
Hakim mengatakan dakwaan sudah dibacakan oleh JPU. Karena itu jika ada pendapat yang hendak disampaikan, terdakwa diminta berkonsultasi dengan kuasa hukum apakah akan menanggapi lewat eksepsi. Kuasa hukum terdakwa menanggapi dengan mengutip pasal 155 KUHAP dan meminta JPU memberikan penjelasan hingga terdakwa benar-benar mengerti. Kuasa hukum juga mengaku tidak mengerti dakwaan yang ditujukan pada terdakwa karena dianggap berputar-putar dan tidak jelas.
JPU kemudian menjelaskan kembali dakwaan yang dikenakan pada Fatia yang terdiri dari 4 pasal. “Terkait tuduhan terhadap Fatia Maulidiyanti, kami Jaksa Penuntut Umum mendakwa dengan pasal kombinasi alternatif subsidair terdiri dari 4 pasal,” ujar JPU.
Dakwaan pertama Pasal 27 ayat 3 jo Pasal 45 ayat 3 UU ITE terkait muatan pencemaran nama baik terhadap saksi Luhut Binsar Pandjaitan. Dakwaan kedua primer, yaitu Pasal 14 ayat 2 UU Hukum Pidana No 1 tahun 1946. Unsurnya adalah turut serta menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat sedangkan ia dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong.
Dakwaan selanjutnya adalah Pasal 15 UU No 1 tahun 1946 yang kurang lebih unsurnya mirip. Terakhir pasal 310 ayat 1 KUHP jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dengan unsur mirip Pasal 27 ayat 3 UU ITE.
Sidang Terpisah Dipersoalkan
Sebelum sidang dengan terdakwa Haris, tim kuasa hukum meminta kepada majelis hakim agar persidangan digabung. Permintaan kembali diulang pada sidang dengan terdakwa Fatia. Kuasa hukum juga sudah mengajukan permintaan penggabungan sidang kepada ketua pengadilan.
Usai sidang kuasa hukum terdakwa Muhammad Isnur mengingatkan saksi kasus ini yaitu Luhut Binsar Pandjaitan untuk bersiap diperiksa dua kali. Ini merupakan konsekuensi dari pemisahan persidangan perkara Fatia dan Haris.
“Konsekuensi dari dipisahkannya perkara Haris dan Fatia ya pak Luhut harus siap-siap diperiksa dua kali. Dua kali pemeriksaan untuk pertanyaan, jawaban dan fungsi yang sama,” kata Isnur.
Ia menambahkan persidangan yang terpisah harus diikuti dengan pemeriksaan yang terpisah pula. Hal ini akan melelahkan hakim, jaksa, penasihat hukum dan terdakwa. Kuasa hukum terdakwa berpendapat persoalan penggabungan sidang bukan sekadar urusan teknis. Sebaliknya ini merupakan persoalan prinsip.
“Kalau pidana itukan prinsipnya cepat, segera dan murah. Kita tadi menyaksikan proses pemidanaan yang dipersulit, dipermahal, mengulang-ulang terus. Tadi empat dakwaan, 4 pasal, itu mengulang-ulang, semua sama pasalnya,” tutur Isnur.
Lebih jauh pemisahan sidang pada perkara Fatia dan Haris juga membahayakan HAM. Di satu sisi Fatia ditempatkan sebagai terdakwa yang memiliki hak untuk diam dan ingkar. Di sisi lain ia sekaligus diposisikan sebagai saksi yang punya kewajiban untuk memberikan keterangan. Dalam konteks ini keterangannya bisa memberatkan dirinya sendiri.
Menurut Isnur dalam perspektif HAM hal ini sangat berbahaya dan tidak diperbolehkan. Karena itu dikenal asas non-self-incrimination. Asas ini memberikan hak kepada terdakwa untuk tidak menjerat atau mengkriminalisasi dirinya sendiri dalam satu perkara pidana. Sementara yang terjadi pada Fatia sebaliknya, keterangan Fatia akan mendakwa dirinya sendiri.
Isnur mengkhawatirkan praktik semacam ini bisa terjadi bukan hanya pada Fatia dan Haris. “Ini juga bukan soal Fatia dan Haris, tapi ini soal praktik yang bisa jaksa lakukan dalam perkara-perkara lain. Jadi kami harapkan ini juga jadi pendidikan buat publik. Jangan sampai Anda menjadi terdakwa tapi Anda ngasih keterangan untuk Anda sendiri,” paparnya.
Karena itu menurut Isnur kita menghadapi situasi peradilan yang tampaknya menuju ke arah yang tidak baik-baik saja.
Fatia menambahkan permohonan penggabungan perkara sudah disampaikan sejak pertama kali pemeriksaan. Ia berpendapat pemisahan perkara sebagai upaya untuk mengadu domba. Dengan memposisikannya sebagai saksi mahkota bagi Haris dan sebaliknya, maka ada indikasi self-incrimination. Menjadikan kesaksian Fatia memberatkan dirinya sendiri.
Saksi mahkota adalah tersangka dan/atau terdakwa yang menjadi saksi untuk tersangka dan/atau terdakwa lain yang bersama-sama melakukan suatu perbuatan pidana.
Fatia menjelaskan KUHAP juga sudah mengatur soal penggabungan perkara untuk tindak pidana yang dilakukan pada tempat dan waktu yang sama. Ia juga menggarisbawahi pendapat Isnur terkait proses persidangan terpisah. Selain tidak efisien praktik ini juga memboroskan anggaran negara.
“Akhirnya sidangnya harus dua kali, tidak hemat tenaga, akan melelahkan JPU dan hakim juga. Yang terpenting adalah makin banyak uang dan dana dari pajak warga negara Indonesia (digunakan, red) untuk sidang Fatia dan Haris. Sedangkan sebetulnya orang-orang di Papua lebih memerlukan uang tersebut dibandingkan untuk sidang kecil semacam ini saja. Jadi makanya penggabungan ini menjadi penting,” tegas Fatia.
Lebih lanjut Fatia mengatakan dirinya keberatan dan bisa menolak menjadi saksi mahkota dari Haris Azhar maupun sebaliknya. Karena itu majelis hakim mestinya mempertimbangkan hal tersebut dan menggabungkan persidangan.
Dukungan Koalisi Masyarakat Sipil
Sementara itu menjelang hingga usai sidang dukungan terhadap Fatia dan Haris tak henti disuarakan masyarakat sipil. Dukungan tak hanya dari mereka yang hadir di pengadilan, tapi juga dari masyarakat yang mengikuti persidangan melalui akun Youtube Jakartanicus.
Sejumlah organisasi yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Bersih memberikan dukungan pada Fatia dan Haris. Riset yang mereka lakukan menjadi materi dalam diskusi yang digelar Haris dan Fatia lewat akun Youtube yang kemudian diperkarakan. Video berjudul “Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops MIliter Intan Jaya” diunggah melalui akun Youtube milik Haris Azhar.
Ahmad Ashov Birry dari Trend Asia menegaskan tak ada yang salah dari pernyataan Haris dan Fatia yang didasarkan pada riset. Ia justru mendorong pemerintah untuk tak mengelak dari tanggung jawabnya dan menghentikan kekerasan di Papua.
“Saya ingin menegaskan sekali lagi bahwa apa yang disampaikan oleh Fatia bersama Haris adalah berbasis studi hasil riset. Tidak ada yang salah dari yang disampaikan oleh Fatia dan Haris yang berbasis hasil riset, yang sama, selaras dan sebangun. Jadi alih-alih lari dari tanggung jawab, pemerintah atau kekuasaan harus mengambil tindakan untuk segera menghentikan kekerasan di Papua,” kata Ashov.
Senada, Khalisah Khalid dari Greenpeace Indonesia mengatakan Fatia dan Haris mengungkapkan fakta yang terjadi di Papua berdasarkan riset. Seharusnya sikap keberatan atas paparan riset tersebut ditanggapi dengan hasil kajian juga, bukan dengan pemidanaan.
“Fatia dan Haris mengungkap fakta yang terjadi di tanah Papua, soal perampasan tanah, soal pelanggaran Ham, soal kerusakan lingkungan. Ini semua adalah fakta dan basisnya adalah riset hasil dari investigasi kawan-kawan tim penulis riset. Jika Luhut Binsar Pandjaitan keberatan dengan hasil riset dari kawan-kawan periset maupun yang disuarakan Fatia dan Haris seharusnya dibalas dengan riset. Tunjukkan data yang menurut dia adalah data yang benar. Bukan menjawab riset dengan pemidanaan kepada Fatia dan Haris,” ujar Khalisah.
Hal ini menurut Khalisah menunjukkan sikap pemerintah yang anti kritik. “Pemerintah kita anti kritik, tidak berbasis riset. Semua yang disampaikan berbasis fakta dijawab dengan pembungkaman. Ini cara-cara kekuasaan membungkam suara kritis rakyat, khususnya orang asli papua, kawan-kawan yang memperjuangkan tanah Papua,” tegasnya.
Pandangan serupa disampaikan Martin dari Papua Itu Kita. Menurutnya yang dilakukan Fatia dan Haris masuk dalam ranah kajian akademisi sehingga tidak perlu ada pemidanaan. Kajian ilmiah harusnya dipertentangkan juga dengan kajian ilmiah.
“Menurut kami dakwaannya kacau dan keliru sekali. Haris dan Fatia itu hanya mendiskusikan hasil riset. Diskusi tentang hasil riset itu sudah masuk di ranah kajian akademisi, itu soal debat-debat seperti itu. Sayangnya kemudian kekacauan dilakukan oleh pemerintah atau kekuasaan dengan mendorong upaya-upaya kriminalisasi. Menurut kami ini tontonan yang sangat buruk,” katanya.
Lebih lanjut Martin berpendapat semangat dari tindakan Fatia dan Haris lebih pada upaya mewujudkan Papua tanah damai. Sementara pemerintah selalu menghindar untuk melakukan upaya-upaya damai misalnya melalui dialog Jakarta-Papua untuk mewujudkan Papua tanah damai. Malahan faktanya hari ini negara terus mengirim pasukan tapi di sisi lain investasi terus didorong.
“Kekerasan begitu dikasih naik tinggi, tapi negara justru menggenjot investasi jadi lebih dominan di Papua. Ini dua hal yang sangat kontras yang diskenariokan oleh kekuasaan dan ini sangat buruk terhadap upaya penghormatan HAM di Papua,” ujar Martin.
Ia mengaku orang Papua berterima kasih kepada Haris dan Fatia. Karena mereka sebenarnya berusaha untuk mendiskusikan persoalan Papua di ranah-ranah publik dalam perspektif kajian ilmiah. “Mestinya kalau kita bicara kajian ilmiah itu harus dipertentangkan juga dengan kajian ilmiah. Tapi ini justru kekacauan yang kemudian dipertontonkan,” ungkapnya.
Menurut Martin hal yang juga penting dilihat dalam perkara ini adalah motif dari tindakan Haris dan Fatia. Ia melihat motif Haris dan Fatia lebih kepada upaya pengungkapan kebenaran dan mendorong agar good governance dijalankan. Karena itu Martin mengajak rakyat Indonesia untuk mendukung Haris dan Fatia untuk membongkar kejahatan-kejahatan yang turut mempertinggi tensi kekerasan di Papua.
Fatia Maulidiyanti, Perempuan Muda Berani Bicara
Siapakah Fatia Maulidiyanti, perempuan muda berani yang membeberkan tentang dugaan pencemaran lingkungan yang diduga melibatkan banyak pejabat di Indonesia?
Fatia merupakan koordinator KontraS periode 2020-2023. Dia dikukuhkan melalui Rapat Umum Anggota pada tanggal 29 Juni 2020. Fatia menggantikan Yati Andriyani yang sebelumnya menjabat sebagai koordinator kontraS periode 2017-2020.
Perempuan lulusan Ilmu Hubungan Internasional Universitas Parahyangan itu, sebelumnya di kontraS menjabat sebagai Kepala Divisi Advokasi Internasional. Dia juga merupakan alumni dari Sekolah HAM (SeHAMA) KontraS tahun 2014.
Dia secara konsisten menjalankan agenda advokasi nasional pada beberapa kasus di ranah internasional, baik melalui mekanisme resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) maupun advokasi jejaring internasional yang ditujukan untuk kampanye, seperti terkait kasus Munir, kebebasan sipil, isu ekonomi, sosial, budaya serta HAM lainnya.
Fatia mempunyai pandangan, menyambung estafet perjuangan HAM dengan keterlibatan anak muda memang perlu digaungkan. Ini begitu penting, mengingat pelanggaran HAM masih saja terjadi di negara ini.
Semangat inilah yang terus dijalankan Fatia di KontraS: memberdayakan keterlibatan kaum muda untuk bersama-sama melakukan advokasi. Utamanya, bagi kelompok-kelompok rentan, yang selama ini negara kerap abai dengan isu HAM.
Apa yang menimpa Fatia dan Haris ini, sekaligus menambah daftar panjang kriminalisasi terhadap aktivis dan pejuang rakyat. Di era Undang-undang Cipta Kerja, hal itu semakin kentara karena sarat dengan kepentingan investasi yang tengah banyak digencarkan. Sementara, pengawasan dan kritik publik tidak didengar oleh pemangku kepentingan. Bahkan, malah mengkriminalisasi.
(Foto/ilustrasi: @KontraS/Twitter)