Ilustrasi kekerasan berbasis gender online di media sosial

Mispersepsi Gender, Kejahatan Baru Dunia Digital

Salah satu kejahatan baru di dunia digital adalah mispersepsi tentang gender.

Platform media sosial seringkali membentuk konstruksi gender. Media melanggengkan budaya patriarki dan diskriminasi, lalu berujung pada kekerasan perempuan.

Ruang digital jadi wadah yang subur untuk perkembangan kekerasan berbasis gender. Perempuan dianggap sebagai gender yang menempati tempat kedua setelah laki-laki.

Media massa maupun media sosial juga menggambarkan perempuan sebatas makhluk yang bergantung kepada laki-laki. Biasanya, ini karena perempuan hanya diperankan sebagai ibu rumah tangga untuk mengurus suami dan mengasuh anak. Namun, hal ini dianggap sebagai sesuatu yang wajar oleh masyarakat, karena memang budaya patriarki sudah terjadi sejak lama hingga ternormalisasi. Padahal, anggapan seperti itu membatasi ruang gerak perempuan dan menghilangkan otonomi atas dirinya.

Selain itu, ada anggapan yang menyatakan bahwa perempuan di platform media sosial dianggap lebih ‘enak dipandang’ daripada laki-laki. Perempuan dianggap bisa punya daya tarik untuk kepuasan semata dan objek seksual bagi laki-laki dengan cara baru yang modern.

Alhasil, konstruksi yang dibangun masyarakat dalam media menganggap perempuan adalah makhluk yang lemah dan tidak berdaya. Oleh karena itu, perempuan seringkali mengalami penindasan, kekerasan, pelecehan, dan tindakan lain yang merugikan martabat perempuan.

Baca Juga: The Voice: Kekerasan Seksual Online Marak, Pekerjaan Rumah Tahun 2023

Komnas Perempuan mencatat, kasus kekerasan terhadap perempuan sejak 2012-2021 mencapai angka 2.247.594, termasuk di ranah elektronik / online. Kekerasan berbasis gender online pun mengalami peningkatan hingga tiga kali lipat selama masa pandemi COVID-19. Media sosial juga menjadi pemicu munculnya kekerasan terhadap perempuan. Pasalnya, media sosial kerap kali menampilkan perempuan sebagai objek lemah dan sering mengalami penindasan.

Melalui media sosial, muncullah kekerasan di dunia maya seperti pelecehan seksual, hate speech, pembunuhan karakter, non-consensual intimate image (NCII) yang pernah disebut sebagai revenge porn, ancaman penyebaran foto / video pribadi, dan pencemaran nama baik.

Salah satu kasus kekerasan berbasis gender online yang marak terjadi yaitu revenge porn atau penyebaran foto intim secara non-konsensual oleh mantan pasangan. Bentuk kekerasan ini sangat berbahaya karena jejak rekam korban tidak bisa lenyap, tetapi pelaku bisa hilang begitu saja tanpa jejak. Ini sangat merugikan korban, yang biasanya merupakan perempuan. Pasalnya, begitu foto / video tersebar, semua orang dapat mengakses dan mengonsumsi konten intim tersebut.

Tidak hanya itu, berlanjut kekerasan lain berupa komentar jahat seperti hujatan, hinaan, caci maki, dan komentar yang mengandung unsur-unsur pelecehan seksual. Lebih jahatnya lagi, korban perempuanlah yang paling hancur dan menderita di sini. Hal tersebut lantaran netizen biasanya hanya fokus untuk menghujat si korban perempuan daripada pelakunya dan akan mengungkit kasus tersebut terus-menerus. Dalam contoh kasus kekerasan ini, perempuan diposisikan di tempat yang sangat lemah serta tak berdaya. Apabila perempuan menolak keinginan pelaku, ia akan mendapat ancaman seperti penyebaran konten porno yang dimiliki oleh pelaku.

Baca Juga: Aku Menjadi Korban Kekerasan Berbasis Gender Online

TikTok juga menjadi salah satu platform media sosial yang saat ini paling banyak digunakan, sekaligus menjadi sarang kekerasan terhadap perempuan. Memang tidak semua pendapat bisa diterima oleh masyarakat. Namun alangkah baiknya pengguna media dapat bijak dalam berkomentar dan tidak saling menjatuhkan. Kekerasan terhadap perempuan dapat kita simak dari yang dialami oleh salah satu influencer Gita Savitri, yang menyuarakan keputusannya untuk childfree dan menjadi kontroversi, karena beberapa pernyataannya dianggap menyinggung para orang tua di Indonesia. Netizen kemudian berbondong-bondong untuk menyerang Gita Savitri dengan berbagai lontaran komentar jahat. Salah satunya mengatakan bahwa Gita Savitri memilih childfree karena sebenarnya ia mandul dan tidak bisa memiliki anak.

Tanpa disadari, hal tersebut merupakan tindakan kekerasan. Bahkan, rata-rata yang berkomentar seperti itu adalah kaum perempuan sendiri. Bentuk kekerasan seperti komentar jahat yang menimpa influencer tersebut merupakan hasil dari belenggu budaya patriarki. Perempuan sendiri di Indonesia masih berpikiran sempit mengenai persoalan childfree. Hal tersebut dianggap tabu dan bertentangan dengan semestinya menurut keyakinan mereka, pasalnya dalam budaya patriarki seorang perempuan memiliki kewajiban untuk melahirkan seorang anak.

Kekerasan berbasis gender online menunjukan bahwa peran perempuan dalam dunia digital dapat dikatakan sangat rendah dibandingkan laki laki. Hal ini terkontruksi oleh stigma-stigma yang berjalan selama ini, yang tentu menempatkan perempuan pada derajat yang lebih rendah. Oleh karena itu, kita semua diajak untuk menyadari bahwa kesetaraan gender sangat diperlukan. Perempuan juga sama manusianya dengan laki-laki meskipun berbeda secara fisik dan sifat. Alangkah lebih baiknya penghormatan terhadap manusia bukan bertolak dari gender melainkan sesama manusianya baik laki-laki maupun perempuan.

Anggeli Shinta Novitasari

Mahasiswa semester tiga Ilmu Komunikasi, Binus University, yang sangat tertarik dengan isu feminism.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!