Beragama Itu Mestinya Gembira, Gak Harus Tegang: Melihat Akun ‘Agama Garis Lucu’ 

Ada sejumlah orang yang menganggap jika agamanya lebih super dibandingkan agama lain. Di Indonesia, ini akan menambah kabut intoleransi. Akun-akun ‘agama garis lucu’ yang bertebaran di media sosial kemudian lahir untuk mencairkan ketegangan ini.
Edisi khusus perempuan Konde.co kali ini menyajikan liputan khusus Ramadan, tentang akun agama garis lucu, dan bagaimana bertoleransi lewat komedi

Banyak orang yang kalau bicara soal agama selalu serius, bahkan tegang, habis itu malah musuhan. 

Sejumlah akun Garis Lucu di media sosial kemudian lahir untuk membangun toleransi lewat komedi dan mengajak orang untuk bicara: kalau membicarakan agama, nggak usah tegang, yuk kendurkan urat saraf mu!

Beberapa tahun terakhir, muncullah akun Agama-agama Garis Lucu di media sosial yang banyak memposting konten agama yang gak bikin tegang. Seperti Islam Garis Lucu, Nahdlatul Ulama (NU) Garis Lucu, lalu muncul juga Muhammadiyin dan komunitas agama lain, Protestan, Katolik, Buddha, Konghucu, dan Hindu. Ada juga Cadar Garis Lucu

Kalau kita melihat sejumlah akun Garis Lucu di media sosial ini, kita jadi punya refleksi bagaimana agama dan cara beragama sesungguhnya mesti dimaknai? Apakah harus serius, kaku, menegangkan, dan bikin segan? Atau jangan-jangan, agama bisa dipahami secara menyenangkan dan jenaka?

Agama kerap dipandang sebagai sesuatu yang ‘saklek’, mutlak; sama sekali tak boleh dijadikan lelucon. Bahkan tak jarang, fanatisme terhadap agama menimbulkan gesekan di antara masyarakat penganut agama dan kepercayaan yang beragam. Akhirnya, kasus intoleransi antar-agama sering terjadi di Indonesia.

Di sisi lain, banyak orang berusaha menjalankan agama dengan lebih santai dan ringan. Hal ini juga menjadi upaya memperkuat toleransi antar-agama di tengah keberagaman. Akun-akun komunitas agama ‘garis lucu’ kemudian bermunculan di media sosial. 

Sederhana saja: mereka ingin agar agama- dijalankan dengan gembira dan membawa kebahagiaan dunia dan akhirat. Fid dunya hasanah, wa fil akhirati hasanah.

Pada 10 April 2023 misalnya, Konde.co pernah melakukan liputan diskusi di akun Twitter @GUSDURian yang menggelar “Pojok Ramadan GUSDURian: Melawan dengan Lelucon” via Twitter Space. Mereka mengajak berbagai akun Garis Lucu. Beberapa sekadar saling tahu, beberapa sudah kenal dekat. 

Baca Juga: Akun Agama Garis Lucu Bangun Toleransi Lewat Komedi 

Dalam kegiatan itu, guyonan yang dilemparkan beragam. Ada yang nge-roast budaya agama lain, seperti salah satu admin perwakilan akun Twitter @KatolikG atau @MuhammadiyinGL. Mereka sama-sama bersombong ria di depan NU Garis Lucu yang selesai puasanya terakhir.

Ada juga @GlHindu yang sekali serang langsung dua agama. 

“Kalau secara agama kita paling tua lah, ya. Tapi di Twitter ini, NU yang paling tua kelihatannya. Follower-nya juga paling banyak. Jadi kalau buzzeRp, itu dia paling kaya dan mahal bayarannya,” lontar admin Hindu Garis Lucu yang dipanggil Bli.

Sedikit konteks, sebelumnya mereka membahas sepintas bahwa mereka sering kali dituduh menjadi buzzeRp–istilah untuk buzzer yang dibayar untuk mempublikasi sesuatu sesuai “agenda” pemerintah.

“Kalau bayarannya berdasarkan follower, dia yang paling banyak, tapi yang paling banyak punya ruko kelihatannya si Konghucu Garis Lucu itu,” lanjutnya.

Atau, malahan ada juga yang datang-datang  malah nge-roast diri sendiri, seperti perwakilan admin @BuddhisGL (Ombud) dalam sesi berkenalan.

“Oke, selamat malam. Jadi sebelum mulai, izinkan Ombud berjualan. Yang perlu air mineral, susu kotak, kue, silakan itu ada Akong yang biasa buka lapak. Ya, kami sebagai warga keturunan ya memang garisnya sudah harus berjualan dimanapun kami berada,” buka Ombud.

Baca Juga: ‘Jualan Takjil Biar Dapur Ngebul dan Beli Baju Lebaran’, Perempuan Cari Cuan di Bulan Ramadan

Sehari-hari, akun Garis Lucu menyajikan beragam konten. Ada yang berwujud satir terhadap apa yang baru-baru ini terjadi–riding the wave istilah gaulnya. Ada juga yang saling adu cuitan dengan akun Garis Lucu lain walau ternyata berantemnya hanya gimmick saja.

Walau terlihat mudah, sebenarnya aktivitas ini diakui admin Katolik Garis Lucu (Katomin) sebagai upaya “penguasaan diri” agar terhindar dari egoisme. Penguasaan untuk melawan ego yang senang dengan kebencian dan permusuhan. 

Katomin ingin menunjukkan bahwa implementasi agama apa pun seharusnya didasari kasih dan rasa hormat sesama manusia. Itu yang seharusnya terwujud dalam lingkungan dengan keberagaman agama. Manusia pun perlu menginterpretasi agama yang dipeluknya dengan bijaksana.

Akun Islam Garis Lucu, dalam satu postingannya juga bicara satir soal puasa. Mereka menulis soal survei membuktikan, tentang pertanyaan yang sering dilontarkan ketika puasa, yaitu: mana Masjid yang sholatnya paling cepat?

Kebanyakan dari mereka mengaku permulaan dibuatnya akun Garis Lucu adalah karena keresahan. Keresahan NU Garis Lucu, misalnya, bahwa netizen terlalu candu dengan media sosial. Sampai-sampai membahas berbagai isu terlalu intens walau seharusnya “tidak perlu diseriusin banget”.

Terlepas dari itu, di tengah isi Twitter yang chaotic dan dramatic, tentu kita perlu rehat juga. Jangan sampai isi lini masa media sosial kita isinya perhelatan saja. “We are what we eat consume”. Itulah mengapa akun Garis Lucu hadir di berbagai platform.

Muhammadiyin Garis Lucu, War Takjil, dan Beragama dengan Gembira

Akun Muhammadiyin Garis Lucu adalah salah satu komunitas beragama ‘garis lucu’ versi jamaah Muhammadiyah. Ini bisa ditemui di platform X (@MuhammadiyinGL), akun tersebut sudah hadir sejak Mei 2018 dan masih aktif hingga saat ini.

“(Akun Muhammadiyin GL) dibuat untuk membuktikan bahwa warga Muhammadiyah tidak sekaku yang dibayangkan,” jelas admin @MuhammadiyinGL, Sam Elqudsy saat dihubungi Konde.co, Selasa (26/3/2024). 

“Dan hasilnya ternyata…” ia menggantungkan jawabannya. Ternyata apa? Kalau kamu mengikuti berbagai cuitan Muhammadiyin GL, mungkin kamu bisa menyimpulkannya sendiri.

Menurut Sam, akun Muhammadiyin Garis Lucu sudah ‘mengalami dua kali penyelenggaran Pemilu’, yakni di tahun 2019 dan 2024. 

“Lebih rame yang 2019 sih,” tambahnya.

Baca Juga: Nonton Kirab Dugderan, Ini Tradisi Ramadan Yang Penuh Keberagaman

Selain mengunggah meme dan foto atau video lucu yang berkaitan dengan Islam dan Muhammadiyah, Muhammadiyin Garis Lucu juga kerap berinteraksi dengan akun-akun agama ‘garis lucu’ lainnya. Salah satunya Nahdlatul Ulama (NU) Garis Lucu. Sebagai dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, perbedaan antara Muhammadiyah dan NU kerap disorot. 

Terkait Ramadan saja, misalnya, hasil pantauan hilal dan sidang isbat sebagai penentu awal dan akhir bulan Ramadan bagi Muhammadiyah dan NU sering berbeda. Namun, oleh @MuhammadiyinGL dan @NUGarisLucu, perbedaan itu justru menjadi bahan candaan. Mereka membuktikan bahwa keberagaman tak harus memancing permusuhan.

Namun apakah ada yang marah dan protes ketika agama, cara beribadah, dan keberagaman dijadikan guyonan? Setidaknya bagi Sam, warganet saat ini sudah lebih memahami konteks unggahan bernada lelucon. Sehingga candaan mereka tidak dibawa terlalu serius.

“Kalau sekarang netizen yang mampir di timeline sudah paham kalau itu lucu-lucuan, mungkin sudah terfilter ya,” kata Sam.

Malah, tak jarang warganet sendiri yang berbagi pengalaman mereka merasakan keberagaman yang ‘lucu’ itu. 

“Bahkan ternyata banyak cerita, ada yang mengkombinasikan rakaat ‘tarawih Muhammadiyah’ dengan kecepatan ‘tarawih NU’,” Sam berseloroh. “Ini kan hanya terjadi di Indonesia.”

Baca Juga: 5 Tips Ngabuburit Asyik Sampai Ngaji Perspektif Feminis, Yuk Coba! 

Muhammadiyin GL juga sering berinteraksi dengan akun ‘garis lucu’ lintas-agama dan kepercayaan. Contohnya ketika momen Ramadan kali ini diramaikan oleh istilah ‘war takjil’ di media sosial. Penyebabnya antara lain karena guyonan bahwa warga non-Muslim lebih gesit curi start berburu takjil ketimbang umat Muslim yang notabene menjalankan ibadah puasa Ramadan.

Tentu saja ‘war takjil’ ini menghibur. Namun, ada kekhawatiran yang tak bisa dienyahkan begitu saja: bagaimana jika momen ‘war takjil’ disalahgunakan oleh oknum tertentu untuk memecah belah toleransi antarumat beragama? Pasalnya, polarisasi agama sering terjadi di Indonesia.

Lagi-lagi, berbagai komunitas seperti Muhammadiyin GL, Katolik Garis Lucu (@KatolikG), dan Buddha Garis Lucu (@BuddhisGL) justru melihat momen itu dengan santai. Mereka kerap saling menimpali satu sama lain membahas ‘perang’ berebut takjil. Meme jadi ‘senjata’, warganet terhibur sembari tetap religius, tidak ada komunitas yang berkonflik. Beragama jadi hangat dan menyenangkan.

Sam berkomentar singkat soal ‘war takjil’ yang viral di media sosial. Baginya, ini mesti dilihat sebagai tanda bahwa Ramadan bukan hanya milik umat Islam. 

War Takjil ini membahagiakan para pedagang. Bukti bahwa Ramadan tidak hanya milik umat Islam tapi juga bisa dinikmati semua orang,” katanya. 

“Termasuk juga bunyi toa masjid / mushola 24 jam full yang hanya ada di bulan Ramadan.”

Baca Juga: Ingin Belajar Toleransi di Desa? Belajarlah dari Dusun Ngepeh di Jombang

Beragama tak melulu harus berupa doktrin yang kaku, galak, dan menyeramkan. Berbagai akun agama ‘garis lucu’ ini membuktikan bahwa cara mereka memaknai agama bisa lebih ringan tanpa keluar dari koridor kepercayaan masing-masing.

“Beragama perlu dilakukan dengan gembira, karena agama itu tujuannya fid dunya hasanah wa fil akhirati hasanah. Bahagia baik di dunia maupun akhirat,” Sam berujar.

Selain itu, menyajikan cara menjadi religius yang lebih ‘santai’ dan ‘jenaka’ tentu bukan dalam rangka mengolok-olok agama. Menurut Sam, mereka berusaha mencontohkan beragama yang menggembirakan.

“Kita tidak berhak menghakimi cara beragama seseorang atau sekelompok orang,” lanjutnya. Tapi kita bisa mengajak dan mencontohkan bagaimana beragama yang asyik dan menggembirakan.”

Sam menutup percakapan dengan sebuah ajakan. “Ibda’ binafsik, mari kita mulai dari diri kita.”

Cadar Garis Lucu dan Misi Perdamaian 

Selain akun garis lucu berbasis agama, ada juga akun berbasis ekspresi beragama yakni Cadar Garis Lucu (CGL) yang dimotori banyak perempuan. 

Sama seperti akun garis lucu lain, keberadaan CGL juga tidak lepas dari upaya menjadi umat beragama dengan seasyik mungkin.

“Jadi kami bercadar tidak dalam keadaan terkungkung, tidak dalam keadaan ketakutan. Kami bercadar dengan sangat bahagia. Ini adalah pilihan merdeka kami,” terang Ainun Jamilah, pendiri Cadar Garis Lucu dalam wawancaranya dengan Konde.co.

Bagi Ainun, cadar tidak membatasi mereka.

“Kami bercadar dan masih bisa tetap menjalankan kehidupan kami seperti biasa dengan bersosialisasi, dengan menjalani hobi-hobi yang kami senangi. Jadi bercadar dan seasyik mungkin,” ujarnya.

Lahir pada Februari 2021, CGL diinisiasi oleh sejumlah perempuan bercadar dan tak bercadar. Komunitas ini beranggotakan 9 perempuan, tak hanya Muslim, anggota mereka ada juga yang beragama Kristen. Karena kata cadar yang ada dalam nama komunitas mereka tidak mutlak merepresentasikan simbol pakaian semata.

Ainun menjelaskan, cadar dalam CGL punya simbol sebagai misi perdamaian dan penerimaan dengan ragam identitas. CGL juga ingin mengikis gambaran cadar yang sering dilihat secara mengerikan. Sebaliknya CGL berharap cadar bisa jadi simbol perekat persaudaraan antar umat beragama, antar golongan dan ragam identitas manusia.

“Cadar di dalam nama cadar garis lucu itu punya misi perdamaian. Jadi tidak hanya sekadar menggambarkan simbol pakaian perempuan muslim,” katanya. 

Karena itu menurut Ainun, CGL merupakan rumah aman bagi siapapun yang punya stigma terlebih trauma terhadap perempuan bercadar. Termasuk juga mereka yang menjadi korban langsung kekerasan berbasis agama.

Baca Juga: Cadar Adalah Ekspresi Budaya, Bukan Agama

Di awal CGL terbentuk, mereka mengadakan sesi untuk siapapun yang punya trauma, ketakutan atau kemarahan terhadap simbol cadar. Mereka bisa menceritakan trauma yang mereka rasakan lewat pesan pribadi ke akun CGL.

“Mereka bisa DM ke kami menceritakan apapun itu, ketakutannya terhadap simbol cadar, kemarahan. Atau kebencian terhadap perempuan bercadar karena dia pernah punya pengalaman yang buruk misalnya. Kami akan dengan berbesar hati mendengar makian mereka, karena latar belakang trauma itu kami bisa menerima,” papar Ainun. 

Proses rekonsiliasi ini menjadi gerakan pertama Cadar Garis Lucu. Menurut Ainun, sampai sekarang bahkan ke depan, rekonsiliasi akan selalu menjadi hal utama di CGL. Mereka menyadari masih banyak orang-orang yang punya ketakutan terhadap simbol-simbol agama tertentu.

“Kami tidak pernah menyangkal trauma orang, kemarahan orang, apalagi dia menjadi korban langsung dari tindakan-tindakan kekerasan berbasis agama. Justru kami ingin mendengar, ingin tahu, dan kami mau meminta maaf.” 

“Meminta maaf bukan karena kami adalah pelaku, tetapi bahwa kami ingin merasakan sedikit yang dialami oleh korban, kesedihannya, kemarahannya. Maka rekonsiliasi menjadi satu nilai yang sangat penting untuk Cadar Garis Lucu,” ujarnya. 

Setelah percakapan CGL dengan teman-teman korban atau penyintas tuntas, mereka menawarkan apakah cerita tersebut mau dibagikan. Ini untuk menginspirasi dan membuat teman-teman lain lebih berani untuk cerita. 

Narasi Anti Kekerasan

Keragaman identitas yang jadi ciri CGL bisa dilihat pada anggota mereka. Tak semua anggota CGL merupakan aktivis dan berada di depan layar, seperti Ainun. Mereka punya hobi dan aktivitas masing-masing. Ada yang menggeluti fotografi, ada yang fokus dengan penelitian, ada yang bekerja di bidang pendidikan, dan sebagainya. 

“Jadi memang bukan untuk membuat semua perempuan bercadar menjadi aktivis, enggak usah, enggak perlu. Tapi bahwa kita punya satu nilai yang kita pegang yaitu penerimaan terhadap beragam identitas apapun itu. Selama tidak merusak dan tidak melakukan kekerasan,” ujarnya.

Karena itu CGL mengusung tagline “melawan stigma perempuan bercadar dengan narasi anti kekerasan”. Dengan kata lain mereka melawan kekerasan dengan tanpa kekerasan. Walaupun mereka marah terhadap stigma perempuan bercadar itu teroris atau ekstremis, tapi mereka memilih untuk tidak membalas dengan cara yang sama. Misalnya memberikan stigma atau menghakimi dengan label islamophobia.

CGL tidak menyangkal bahwa ada perempuan-perempuan bercadar yang mungkin terlibat di dalam golongan-golongan ekstremis atau di dalam kelompok-kelompok teroris. Tapi ada juga yang tidak terlibat dan CGL mau memperlihatkan itu.

Baca Juga: Pakaianku Bukan Urusanmu

Konten-konten akun CGL cukup beragam. Ada yang berisi sharing aktivitas masing-masing anggota. Seperti Ainun yang menjadi pembicara dalam forum diskusi klub filsafat. Atau Andi Ulfa Wulandari yang membagikan opininya yang dimuat di sebuah media. Begitu juga saat dia menerbitkan buku baru. 

Di kesempatan yang lain CGL membuat konten tentang bulan ramadan. Atau menggelar acara ngabuburit secara hybrid membahas pemikiran Jalaluddin Rumi. Tak hanya berkutat dengan isu dan aktivitas keagamaan, CGL juga mengangkat isu yang dekat dengan mereka, isu perempuan. Mereka membuat konten tentang Hari Perempuan Internasional. CGL juga membahas soal feminisme dengan menanggapi isu yang lagi ramai diperbincangkan warganet. 

Aktivitas mereka bersama komunitas masyarakat lain yang rentan juga mereka bagi di media sosial. Ainun misalnya membagikan pengalamannya pertama kali mengikuti perjumpaan inklusi. Ia menjadi pendamping perjalanan bagi teman difabel daksa. Mereka naik KRL dari Solo menuju Jogja, saling berbagi kisah dan membangun persahabatan. 

Ainun mengaku mereka tidak secara khusus merancang konten-konten CGL. Semua dilakukan dengan mengalir karena masing-masing anggota sudah punya pemahaman yang sama. Karena itu tidak berlaku izin dan sebagainya hanya sebatas menginformasikan. 

“Cadar Garis Lucu ya betul-betul ingin kami jadikan sebagai rumah. Apa yang ingin kami bagikan tidak harus semua tim mesti setuju dulu baru boleh di-share. Karena dari awal kita punya isi kepala yang sama, kita udah tau nih Cadar Garis Lucu tuh harusnya ngomongin apa.” 

“Jadi udah gak harus izin-izin lagi, mungkin sekadar memberitahu aja. ‘Nanti aku mau minjem akun kita buat aku mau live bahas soal ini’ misalnya. Ya udah silakan,” papar Ainun.

Adanya pemahaman yang sama sejak awal membantu mereka membuat konten secara mandiri oleh anggota CGL. Konten-konten CGL menunjukkan upaya konter atas stigma mereka lakukan dengan tindakan, lewat aktivitas yang mereka lakukan sehari-hari. 

Serangan Digital dan Peluang Media Sosial

Aktivisme digital yang dilakukan CGL tidak luput dari serangan digital. Ainun tak menampik bahwa pro dan kontra adalah bagian tak terpisahkan dari sebuah gerakan. Dalam konteks CGL ia mengakui mereka yang kontra justru lebih banyak daripada yang pro terhadap CGL. 

Ia memaklumi masih ada pandangan masyarakat yang menilai CGL sebagai anomali atau dianggap tidak seperti perempuan bercadar pada umumnya. 

“Menurut mereka yang kontra, (kami) ini berbenturan dengan nilai-nilai perempuan bercadar yang mainstream diketahui oleh masyarakat Islam. Bahwa perempuan bercadar itu pada umumnya eksklusif, tertutup dan lain sebagainya,” papar Ainun.

Meski begitu, CGL tidak menyalahkan praktik-praktik perempuan-perempuan bercadar yang eksklusif. Ainun menegaskan CGL hanya ingin menunjukkan ada ekspresi yang berbeda dari perempuan bercadar yang perlu diketahui masyarakat.

“Masyarakat juga perlu tahu gitu, tidak hanya yang mainstream aja bahwa semua perempuan bercadar itu tertutup, eksklusif, nggak bisa bergaul. Sementara ada kami nih, ada teman-teman bercadar yang cukup inklusif dan senang bergaul,” katanya. 

Ainun mafhum kalau ada yang belum bisa menerima ekspresi beragama seperti yang ditunjukkan CGL. Karena bisa jadi mereka masih butuh waktu untuk mengolah fenomena yang dianggap tidak biasa tersebut.

Sayangnya ada yang menunjukkan ketaksetujuan atas pandangan Ainun ataupun CGL dengan melakukan serangan digital. Sepanjang 4 tahun keberadaan CGL, Ainun mengaku beberapa kali mendapat serangan digital terutama doxing.

Ia menyadari posisinya sebagai sosok publik dari Cadar Garis Lucu membuat dirinya rentan akan serangan digital. Posisi tersebut menurutnya menjadi tak terhindarkan lantaran CGL punya jalannya sendiri. 

Baca Juga: Perempuan Bukan ‘Biang Keladi’ Dosa dan Pengumbar Nafsu, Stop Konservatisme Agama

Pada akun garis lucu yang lain seperti NU GL atau MGL, misalnya, admin akun bisa berada di belakang layar. Ini lantaran mereka sudah punya basis komunitas dan punya tokoh. Seperti NU Garis Lucu dengan Gus Dur sebagai tokoh.

Berbeda dengan CGL yang baru mulai membangun gerakan. Menurut Ainun akan cukup sulit bagi CGL kalau mereka tampil di belakang layar atau tak terlihat. Ini lantaran karakter gerakan yang dilakukan CGL membutuhkan sosok publik atau orang di depan layar. 

Terakhir Ainun mendapat serangan digital berupa doxing di akun pribadinya beberapa bulan lalu. Informasi pribadinya seperti posisinya sebagai pendiri Cadar Garis Lucu disebar oleh sebuah akun. Pemilik akun merupakan follower yang sudah cukup lama mengikuti akun Ainun.

Akun tersebut membuat komentar dengan menyimpulkan postingan yang diunggah Ainun di akun pribadinya. Penyebaran informasi pribadi yang dilakukan akun tersebut membuat posisi Ainun jadi incaran dan rentan diserang. 

Meski sempat kaget, Ainun sigap mengeblok akun tersebut.

“Saya shock pada saat membaca komentar itu dan tindakan yang bisa saya lakukan ya ngeblok dengan cepat,” paparnya. 

Upaya lain yang dilakukan Ainun menghadapi serangan digital adalah dengan mengganti username dan foto profil. Sejauh ini Ainun belum pernah sampai menonaktifkan akunnya sementara waktu ketika mendapat serangan digital.

Satu hal yang pasti serangan digital tak menyurutkan langkah Ainun untuk mengekspresikan pandangan dan aspirasinya dalam beragama. Baginya keberanian yang ia miliki adalah privilege yang harus ia jaga. 

Privilege yang ku punya satu-satunya hanya keberanian, kak. Jadi kalau aku menghilangkan keberanian ku berarti aku menjual privilege yang cuman satu-satunya itu,” kata Ainun.

Baca Juga: Kata Teolog Feminis, ‘Bapa Kami’ Bukan Satu-satunya Cara Menyebut Tuhan

Terlepas dari potensi kekerasan yang dapat terjadi di ranah digital, Ainun berpendapat media sosial bisa menjadi ruang bagi perempuan untuk bersuara. 

“Siapa sih yang mau denger perempuan dibanding laki-laki? Orang lebih milih denger laki-laki. Sementara saya adalah perempuan dan saya bukan siapa-siapa. Saya bukan santri dan tidak punya jamaah. Dan media sosial menjadi memungkinkan saya untuk setidaknya punya pendengar,” paparnya.

Ia menambahkan lewat media sosial dirinya bersama CGL bisa membagikan kemarahan, uneg-uneg, dan keresahan. Kalau ada follower yang merasa relate atau setuju, tentu jadi hal yang baik. Kalaupun ada yang tidak sepakat juga tidak masalah.

Riset Andina Dwifatma dan Annisa R. Betta tentang Akun Cadar Garis Lucu yang berjudul ‘Cadar Garis Lucu’ and the mediated political subjectivity of Muslim women in Indonesia menyatakan bahwa media sosial menjadi ruang bagi akun Cadar Garis Lucu untuk mengekspresikan diri dan diskusi, termasuk agama, ini adalah bentuk ekspresi politik.

Pentingnya Diskursus Baru dan Kebebasan Berpendapat

Ruby Kholifah, Direktur The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia menyatakan bahwa munculnya akun-akun garis lucu ini tidak lahir dalam ruang hampa, tapi memang dibangun agar agama tidak menimbulkan ketegangan. 

Sebelumnya, Ruby Kholifah mencontohkan, sudah ada figur Gus Dur yang banyak bicara tentang Islam yang lebih santai, meletakkan agama dalam konteks sederhana, dan tidak rumit. 

Sebelumnya, Gus Dur pernah  menulis buku yang berjudul “Tuhan tak perlu dibela”, awalnya ada banyak orang yang bereaksi keras soal ini, padahal Gus Dur ingin mengajak biar beragama itu tidak perlu tegang dan Tuhan tidak usah dibela. 

“Tuhan itu sudah besar dan maha segalanya, maka Tuhan sebenarnya tidak membutuhkan manusia untuk membela dan membesarkan Tuhan, itu esensinya. Dan agama itu kita yakini untuk memperbaiki hubungan kita dengan manusia. Agama itu mengatur relasi kita dengan alam, dan hubungan dengan Tuhan yang sangat pribadi.”

Baca Juga: Mengucapkan Selamat Hari Raya Pada Teman Beda Agama Itu Bukan Dosa

Maka dalam Islam itu, ada 3 hal relasi yang sangat penting. Yang pertama, justru dengan manusia, yang kedua dengan Tuhan, karena ini relasi individu dengan Tuhan, dan yang ketiga dengan alam.

“Jadi narasi agama itu diletakkan oleh Gus Dur untuk memudahkan kita sebagai manusia. Banyak sekali pola komunikasi yang dilakukan Gus Dur tentang bagaimana beragama, bahwa ada something wrong pada agama yang dilakukan manusia.”

NU Garis Lucu dengan mengambil figur Gus Dur untuk semangatnya dalam berkomunikasi soal agama, menurut Ruby Kholifah sudah berhasil membuat akun garis lucu, agar beragama tidak harus tegang, dan tidak menjauh dari esensi agama.

“Yaitu keimanan kita sendiri yang tidak pernah berdiri sendiri, tapi keimanan kita itu esensinya adalah dengan keyakinan dan agama yang lain, dimana kita hidup bersama.”

Ruby menyatakan walau ini tidak mudah dilakukan dalam konteks sekarang, karena Indonesia mengalami pasang surut gelombang intoleransi, dan mengarah pada konservatisme. Misalnya saja ada soal pemaksaan penggunaan pakaian bagi perempuan

“Soal menggunakan pakaian perempuan saja, ini rumit banget dibangun, kita jadi kehilangan esensi agama.”

Banyaknya ketegangan agama ini, kemudian memunculkan akun garis lucu.

“Kita sering serius banget, maka butuh inovasi dengan cara yang santai. Dan apa yang dilakukan Gus Dur membuat kita tidak tegang dan memberikan kontribusi positif, karena Gus Dur datang dengan lelucon luar biasa, bahkan Gus Dur sering memperlucukan dirinya sendiri, dan ini bukan sesuatu yang canggung. Terobosan seperti ini perlu, yang esensial, dan tidak menghilangkan makna Indonesia. Akun garis lucu menawarkan identitas jangan tegang, dan ini sangat Indonesia. Masih ada ruang untuk menjaga kewarasan kita agar tidak tegang dalam beragama.”

Baca Juga: Cara Minoritas Tionghoa Rawat Keberagaman di Kampung Kami

Ruby Kholifah berharap lahirnya akun ini dimaknai secara positif bahwa beragama yang konservatif dan tegang ini bukan khas Indonesia, karena keyakinan harus dibuat dengan esensi dan rileks. 

AMAN Indonesia sendiri selama ini juga membangun peace komedi. Ini karena banyaknya persoalan intoleransi, maka peace komedi diharapkan untuk membangun kemasan dengan humor beragama secara lebih rileks

“Agar kita bisa rileks dan tidak tegang, karena ini bukan esensi beragama, tapi agama hadir untuk memudahkan manusia dan tidak tegang, agar tak ada pembatasan, bahkan pelanggaran HAM seperti penutupan rumah ibadah, pemaksaan pakaian perempuan, ini yang harus dikoreksi,” ujar Ruby Kholifah.

Pelanggaran HAM atas nama agama dan intoleransi memang banyak terjadi di Indonesia selama ini, seperti pelarangan pendirian rumah ibadah, pemaksaan pakaian perempuan, hingga munculnya Perda-perda diskriminatif yang jumlahnya ratusan di Indonesia.

Baca Juga: Cerita 2 Pasangan Beda Agama, Putus Atau Lanjut Kalau Sudah Sayang?

Sekitar 2 tahun lalu, Komnas HAM juga menggagas diskusi tanggap rasa bertajuk Berkomedi dalam Toleransi dengan mengundang beberapa admin garis lucu untuk berbagi rasa dan pengalaman menarik selama menjadi admin medsos. Diskusi dilaksanakan melalui twitter spaces pada Rabu, 27 Juli 2022. Komisioner Komnas HAM kala itu, Beka Ulung Hapsara, yang membuka diskusi menyampaikan pandangannya terhadap akun garis lucu yang marak di media sosial. 

“Bicara soal SNP Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi juga SNP Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan kan itu menjelaskan bagaimana hak-hak konstitusional warga negara yang harus dilindungi, dihormati, dan dipenuhi oleh negara dan juga dihormati oleh warga negara yang lain,” jelas Beka.

Dalam laman website Komnas HAM, Beka Ulung menyatakan, munculnya akun-akun garis lucu yang kemudian juga disambut dengan akun-akun agak serius seperti garis lurus dan lain-lain, menurutnya sangat baik. Kita membutuhkan diskursus atau diskusi antar wacana yang bisa dilakukan dalam media apa saja.

“Bagi saya, ekspresi-ekspresi yang disampaikan oleh akun-akun garis lucu maupun garis lurus adalah bagian dari kebebasan berekspresi dan berpendapat yang harus kita rayakan terus dan kita jaga,” tegas Beka Ulung Hapsara.

Salsabila Putri, Anita Dhewy, dan Fiona Wiputri

Jurnalis Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!