KPU, Revisi PKPU

KPU Tak Segera Revisi Aturan Keterwakilan Perempuan, Aktivis: Ini Pembohongan Publik!

KPU sempat mengumumkan untuk merevisi PKPU 10/2023 soal keterwakilan perempuan. Usai aksi protes aktivis di kantor Bawaslu dan penolakan dari berbagai pihak. Namun, DPR tidak menyetujui. Hingga kini, KPU malah berbalik tak segera merevisi PKPU.

Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan mengajukan judicial review atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 ke Mahkamah Agung pada Senin (5/6/2023). Hal itu terkait dengan kelalaian KPU dalam menyusun norma PKPU untuk ketentuan minimal 30% perempuan di setiap daerah pemilihan dan pencalonan anggota legislatif. 

Koalisi menilai, KPU ingkar atas revisi PKPU yang mereka janjikan.

“Kita meminta kepada Mahkamah Agung untuk membatalkan klausul di dalam peraturan KPU, yang kemudian membuat minimal 30% perempuan dalam daftar calon partai politik di setiap daerah pemilihan itu dibatalkan,” ujar kuasa hukum, Fadli Ramadhanil, saat ditemui di Mahkamah Agung pada Senin (5/6/2023).

Fadli menyatakan bahwa pihak pemohon telah beberapa kali berkomunikasi serta mengadakan konferensi pers di kantor KPU. Kendati demikian, pada akhirnya KPU tetap melanjutkan PKPU tanpa revisi akibat intervensi dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Mereka pun melihat sikap tersebut sebagai tanda bahwa KPU tidak konsisten, sekaligus membohongi publik.

“Pasca KPU dalam konferensi pers mengatakan akan revisi PKPU, kami sudah datang lagi ke KPU untuk meminta KPU segera merevisi PKPU Nomor 10 Tahun 2023. Khususnya pasal 8 ayat 2 itu ya, soal perhitungan jumlah kuota perempuan 30% itu,” ujar Fadli. 

“Tapi pada akhirnya kan, menurut kami, KPU berbohong kepada publik. Janji akan merevisi PKPU tapi tidak melakukan itu karena dilarang oleh DPR,” lanjutnya.

Sebelumnya KPU, Bawaslu, dan DKPP telah melakukan pertemuan tripartit dan sepakat untuk mengubah PKPU No. 10 Tahun 2023. Perubahan terutama menyoal pasal 8 huruf b tentang penghitungan jumlah perempuan di legislatif, yang berkaitan dengan keterwakilan perempuan. 

Baca Juga: Aktivis Protes Keterwakilan Perempuan Dalam Pemilu, KPU Revisi Aturan Pemilu 2024

Akan tetapi, revisi tersebut tidak jadi terlaksana setelah KPU bertemu dengan Komisi II DPR untuk rapat dengar pendapat (RDP). 

Melanggar UU Pemilu

Menurut salah satu pemohon, Hadar Nafis Gumay, keliru jika mengatakan bahwa tidak ada masalah terkait Peraturan KPU tersebut. Sebab, ia menilai pengaturan dalam PKPU melanggar Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan sejumlah undang-undang lainnya berkaitan dengan perlindungan hak politik.

Dalam undang-undang tersebut, telah diatur bahwa kuota perempuan harus ada sedikitnya 30%. Sementara PKPU menggunakan rumus penghitungan dengan pembulatan ke bawah. Akibatnya, keterwakilan perempuan menjadi kurang dari 30%.

“Ini berdampak sekali dengan mundurnya atau tumbangnya kualitas pemilu kita,” ungkap Hadar usai mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung, Senin (5/6/2023). “Khususnya bahwa pemilu kita itu sebetulnya berdasarkan undang-undang tadi.”

Lanjut Hadar, “Berdasarkan konstitusi, itu sebetulnya memberikan perlindungan atau lebih tepatnya ruang partisipasi yang lebih besar terhadap perempuan, caleg-caleg perempuan di dalam pemilu kita di dalam pemilu atau dunia politik kita.”

Penghitungan Keliru, Keterwakilan Perempuan Tergerus

Sementara itu, pemohon perorangan lainnya, Wahida Suaib mengungkap, pernyataan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengenai tercapainya kuota 30% keterwakilan perempuan secara nasional itu keliru. Alih-alih nasional, mestinya aturan keterwakilan 30% ditentukan per daerah pilihan (dapil).

“Dulu kami berjuang memperjuangkan undang-undang ini tahun 2003. Berjuang agar semakin banyak perempuan yang menjadi pemimpin di legislatif untuk membawakan aspirasi-aspirasi untuk pemberdayaan, untuk kesejahteraan, untuk antikekerasan terhadap perempuan, untuk keadilan,” ucap Wahida Suaib.

“Tapi kemudian dengan adanya PKPU tersebut kalau diimplementasikan, betul-betul bisa mencapai 30%,” lanjut Wahida. “Jadi ini betul-betul tidak sesuai undang-undang.”

Wahida juga mengkritik KPU, yang seharusnya berdiri sebagai lembaga mandiri, tapi terkesan lebih menuruti DPR ketimbang undang-undang yang berlaku.

“Pasal 22e Undang-Undang Dasar ‘45 kan, mengatakan bahwa penyelenggaraan pemilu dilakukan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, terbuka, dan mandir,” kata Wahida. “Nah, sekarang, KPU apakah akan mengikuti tunduk pada DPR atau tunduk pada undang-undang?”

Baca Juga: Minimnya Capres Perempuan dalam Pemilu: Perempuan Harus Berjibaku Lawan Hegemoni

Para aktivis melihat, masih banyak ruang bagi KPU untuk merombak peraturan tersebut demi memastikan keterwakilan perempuan tidak terdampak buruk. Di sisi lain, kualitas pemilu di Indonesia berisiko jadi berantakan akibat keengganan dari penyelenggaranya sendiri untuk membuat peraturan yang lebih baik.

Wahida Suaib pun meminta KPU, DPR, dan Bawaslu agar tidak menyesatkan masyarakat dengan menggunakan rata-rata nasional sebagai syarat pemenuhan 30% keterwakilan perempuan di legislatif. Ia mendesak agar semuanya memastikan kuota tersebut terpenuhi lebih dulu di setiap dapil. Dengan demikian, publik tidak akan salah memahami, seakan-akan kondisi keterwakilan perempuan di legislatif tidak ada masalah.

“Tolong KPU kembali sesuai undang-undang sebagai lembaga mandiri. Tinggal kemudian pilihannya kepada KPU, mendengar DPR atau mengikuti undang-undang dan kelompok-kelompok pemerhati pemilu yang sudah sangat massif ini,” pungkas Wahida.

Salsabila Putri Pertiwi

Redaktur Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!