NAPZA

‘Saya Ditangkap, Dipaksa Buka Baju di Depan Polisi’: Perempuan Pengguna NAPZA Rentan Dilecehkan 

Ini adalah suara perempuan pengguna narkotika, psikotropika, dan zat aktif (NAPZA) yang juga positif HIV. Dia menceritakan pelecehan yang dialaminya. Kisah para perempuan yang hidup dengan HIV dan mengalami kekerasan dan diskriminasi berlapis disampaikan dalam simposium Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) awal Juni lalu.

Selain mempertahankan imunitas tubuh, Feby (bukan nama sebenarnya) hingga kini juga harus melawan ketergantungannya terhadap narkotika. Di satu sisi, ia juga berjuang sebagai seorang perempuan di tengah sistem sosial patriarki. 

Dalam suatu simposium terbuka yang dihadirkan lebih dari seratus perempuan, Feby memberanikan diri bercerita tentang kasus kekerasan seksual oleh aparat yang dialaminya sebagai perempuan pengguna NAPZA.

“Kekerasan seksual [ini] dengan mengatasnamakan tidak ada polisi wanita pada saat itu. Saya ditangkap dan harus membuka baju saya di depan enam aparatur negara karena saya didapatkan menggunakan NAPZA. Saya menangis karena penangkapan itu di depan anak saya,” ungkapnya dalam Simposium Puan Lingkar HIV IPPI, pada Selasa (6/6).

Di Indonesia, pengguna NAPZA masih dinilai sebagai kriminal. Alih-alih sebagai korban. Institute for Criminal Justice Reformation (ICJR) menilai bahwa perempuan masih “ditumbalkan” dalam sistem peradilan negara

Kasus perempuan pengguna narkotika juga dilihat semata sebagai kasus individual yang terpisah dari masalah sistemik dan relasi kuasa yang ada. Sementara itu, Ia menilai bahwa negara masih abai pada praktik penjebakan narkotika oleh Aparat Kepolisian yang merugikan mereka dari berbagai sisi.

“Korbannya adalah teman-teman perempuan dengan anak. Perempuan pengguna NAPZA itu tidak dibekali oleh aturan hukum yang kuat. Anak-anak ini tidak punya salah karena ibunya menggunakan NAPZA. Mereka harus tetap menyusui, cuman tidak ada aturan hukum yang melindungi mereka,” lanjutnya.

Baca Juga: Perempuan Korban Napza, Stigma yang Bertubi Kami Terima

Menanggapi kasus Feby, Bripka Nining dari Polda Metro Jaya mengakui bahwa memang betul pihak kepolisian masih belum sepaham soal isu gender secara keseluruhan. Bahkan, ia bersaksi bahwa beberapa polisi wanita korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) oleh suaminya yang juga polisi pun masih takut untuk melapor.

“Kami sudah punya SOP yang sudah kami sebarkan ke seluruh wilayah dan jajaran ketika menerima laporan atau kasus kekerasan, seperti ini, loh, yang seharusnya disampaikan. Kita tidak berbicara materi dahulu, tetapi bagaimana sensitivitas gender kita untuk menerima pelaporan itu, menenangkan ibu-ibu yang datang dalam kondisi nangis atau datang membawa anaknya.”

Maka dari itu, ia menyarankan agar korban kekerasan berbasis gender sewaktu datang dapat langsung mencarinya dalam Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA). Walau begitu, Bripka Nining menjelaskan hambatan yang dialaminya, yaitu unit yang masih kecil yang khusus menangani penyidikan dan belum direktorat sehingga pelaporan seluruh kasus masih tertumpuk di sentral. 

Masalah tidak berhenti pada diri Feby sebagai perempuan pengguna NAPZA saja. Ia menilai bahwa kepolisian sekelas Polda masih belum sepenuhnya paham konsep penularan HIV sehingga muncul diskriminasi yang lebih berlapis saat terjadi penangkapan.

“Kalau kita bilang [berstatus positif] HIV, ini kayak [makan] buah simalakama, karena kita mengedukasi mereka. Di satu sisi, keluar karena [mereka berpikir] ‘Ini perempuan harus cepat-cepat keluar, entar kita ketularan HIV juga.’ Ya ampun. Sekarang konsepsi penularan HIV aja kalian belum sampai, bagaimana mengerjakan hal yang lebih besar?” keluhnya.

Kasus Feby hanyalah satu dari sekian kelompok dengan identitas yang rentan akan kekerasan. Diskriminasi yang dialaminya tidak serta merta hanya karena dirinya sebagai “perempuan”, tetapi juga karena berstatus HIV, pengguna NAPZA, dan tidak berasal dari golongan kelas ekonomi atas. Masalah kerentanan yang dialami kelompok dengan identitas minoritas berlapis begitu kompleks, lalu berisiko untuk terulang kembali pada generasi selanjutnya. Ini adalah berbagai kisah perempuan di lingkar HIV yang harus berjuang atas dirinya di tengah tekanan sosial yang perlu dihadapinya.

Stigmatisasi Perempuan Positif HIV Yang Berdampak ke Mental

Di tengah sistem sosial yang menjadikan perempuan warga ‘kelas dua’ serta penindasan tubuh, perempuan juga diatur agar ‘seharusnya’ tidak menunjukkan seksualitasnya. Mereka juga menerima label (stigmatisasi) yang berkonotasi merendahkan martabat jika melakukannya. 

Konstruksi ini begitu merugikan dan memunculkan internalisasi stigma yang membuat mereka kesulitan untuk mencari bantuan. Beban bertambah jika PDHIV adalah seorang ibu.

Misalnya saja, kisah seorang ibu yang masih kesulitan untuk menerima status dirinya karena lingkungan yang belum kunjung suportif. Sebut saja, Diah, bercerita kecemasan akan penerimaan diri malah datang dari keluarga yang menyebarkan status dirinya ke lingkungan. 

Tidak hanya itu, ia juga mencemaskan masa depan anaknya ke depan. Takut akan segala dampak dari status diri yang juga dapat merugikan anaknya.

Baca juga: Wagub Jabar Usulkan Poligami untuk Tekan HIV/AIDS: Kesalahan Fatal Pejabat Publik

“Keluarga sendiri yang ‘membuka aib’ pribadiku ini. Sampai akhirnya aku pindah-pindah tempat. Kalau aku lagi merasa down, itu berasa sampai aku check up, berpengaruh sampai HB-ku turun dan antibodi langsung drop,” ucapnya di kesempatan sama.

Seorang perempuan lain bercerita bagaimana dirinya harus tetap berpura-pura kuat jika sedang di depan anak-anaknya. Beberapa tahun lalu, ia sempat melakukan konsultasi dan diarahkan ke Poli Jiwa. Namun, PDHIV ini dikatakan belum bisa mendapatkan obat karena ‘masih bisa diimbangi secara spiritual’.

“Beban saya pekerjaan iya, rumah iya, anak iya, mencari nafkah iya. Tapi, jujur, saya berdiri sendiri, nggak bisa cerita, nggak bisa ke mana-mana. Sampai akhirnya badan saya drop dua bulan, masuk rumah sakit. Ternyata dua tahun ke belakang saya hanya tidur satu jam setiap malam tanpa disadari.”

Tidak hanya perempuan, Manajer Program Indonesia AIDS Coalition (IAC) Patrick Johannes Laurenz menambahkan pengalamannya sebagai seorang ayah yang juga mengalami tantangan sebagai ODHIV. 

“Open status [ibu ke anak] itu nggak mudah. Ya, kan? Saya aja open status ke anak saya–laki, loh, padahal saya–susah.”

Seksualitas yang Terus-Menerus Diurus, Kasus Ibu Hamil Terbengkalai

Miskonsepsi masih berseliweran tentang HIV. Beberapa di antaranya adalah prasangka bahwa orang yang hidup dengan HIV pasti memiliki riwayat gonta-ganti pasangan. Ada juga yang menyangka mereka pasti menggunakan jasa pekerja seks. Bahkan, berhubungan seksual dengan sesama jenis.

Jika begini, menghakimi tampaknya jauh lebih mudah ketimbang memahami. Sehingga, obrolan selalu berkutat pada prasangka yang menyerang “seksualitas” belaka. Menutup mata akan realitas bahwa ada juga jalur besar penularan lainnya. Seperti, tidak hanya lewat hubungan penetrasi vaginal atau anal saja. 

Secara horizontal, penularan juga dapat terjadi lewat transfusi darah dan alat medis, termasuk jarum suntik yang tidak steril. Secara vertikal, anak, yaitu selama proses mengandung, melahirkan, dan menyusui.

Miskonsepsi bahwa kasus HIV hanya dekat dengan populasi kunci, seperti pekerja seks, pengguna NAPZA, atau lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki (LSL), menjadi penghambat metode pencegahan penularan yang masif. 

Baca juga: Pernikahan Bukan Jaminan Bebas Penyakit Menular Seksual: Kasus HIV dan Sifilis Meningkat

Ini dialami oleh Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Tangerang pada 2019. Mereka sempat memberikan masukan untuk melakukan tes voluntary counseling and testing (VCT) pada anggota SBMI yang adalah perempuan hamil.

“Kita coba diskusi dengan pihak perusahaan, dengan KPA Banten, Dinkes Provinsi, dan Dinkes Kabupaten Serang yang disepakati untuk kami melakukan itu. Tapi, sempat ada persoalan bahwa ‘Ini perlengkapannya bagaimana? Kan, ini tidak pada populasi kunci.’ Lah, buruh juga warga, Bu.”

Laporan Eksekutif Kementerian Kesehatan pada Januari–Maret 2022 menyatakan bahwa estimasi ibu hamil adalah 5.256.483, tetapi hanya 11,2% yang dites HIV. Dari total 1.360 yang berstatus positif, hanya 17,5% yang mendapatkan pengobatan ARV. 

Padahal, penularan vertikal dapat dicegah hingga 100% jika ibu hamil rutin minum obat sejak trimester pertama. Memang terdengar menakutkan: obat yang harus diminum seumur hidup. Namun, ARV terbukti dapat menurunkan viral load dalam tubuh hingga menghentikan penularan dari tubuh ke tubuh lainnya. 

Ini seperti yang dijelaskan oleh dr. Ekarini Aryasatiani SPOG, ibu hamil pun dapat melakukan persalinan vaginal, tanpa operasi sectio caesarea. ARV turut membantu proses tersebut. Seperti yang dialami oleh seorang PDHIV, Dyah, yang berhasil menjalani program kehamilan tanpa menularkan pasangan dan juga janin dalam kandungannya.

“Sebelas tahun saya menjanda, kemudian menikah dengan lelaki yang menerima kondisi saya sebagai HIV positif. Suami saya negatif. Lalu, saya ikut pelatihan program PPIA dan kehamilan. Alhasil, saya dapat melahirkan normal [vaginal] dan memberikan ASI eksklusif enam bulan. Anak saya tidak terinfeksi HIV.” 

Baca juga: Tak Berani Cerita, Takut Penyakitnya Diketahui: Cerita Perempuan dengan HIV/AIDS

Beberapa organisasi, seperti IPPI, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), dan Yayasan Intermedika (YIM) menyediakan pendampingan untuk mengecek status kesehatan publik. Ada juga program seperti Mak Club yang diinisiasi IPPI untuk mendampingi PDHIV yang hamil dengan tujuan mencegah penularan ke janin dalam kandungannya. Beberapa rumah sakit di pusat kota pun diceritakan siap mendampingi PDHIV yang adalah ibu hamil tanpa diskriminasi.

Walau begitu, perjuangan menjadikan fasilitas kesehatan sebagai ruang aman dan nyaman untuk ibu hamil yang hidup dengan HIV masih panjang. Selain diskriminasi, ada juga kasus dokter yang meminta PDHIV untuk tetap melakukan operasi sectio caesarea walau viral load-nya sudah minimal.

Kelompok PDHIV di ‘Lingkaran Setan’ Kekerasan dan Kemiskinan

LBH APIK Bali menyatakan bahwa setidaknya ada 100 kasus kekerasan yang terjadi pada PDHIV setiap tahunnya. Lebih rinci, IPPI melalui Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2023 menjabarkan terdapat 55 kekerasan baik fisik maupun psikis pada PDHIV berstatus ibu rumah tangga yang dilakukan oleh keluarga.

“Saya tadi pagi bercerita dengan Mbak Ipung. Ia adalah pendamping korban juga. Tadi [dia] bercerita ‘Saya mendampingi korban kekerasan seksual yang tulang kemaluannya remuk’. Jelas tidak bisa di-gips dan tidak bisa dilakukan tindakan medis untuk membantunya. Dan kemudian didamaikan oleh Polsek. Ini situasi yang sangat berat,” kisah Direktur Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (SPEK-HAM) Rahayu Purwa.

Persoalan lainnya, PDHIV yang jadi korban KDRT pun seringnya mengalami diskriminasi. Mereka kehilangan hak asuh anak saat memutuskan untuk bercerai. Akibat statusnya yang positif HIV. 

“Biasanya, untuk perempuan, mengasuh anak jadi terhalang atau sulit karena status HIV-nya,” cerita Lilis, penerima pengaduan kekerasan berbasis gender dalam Sekretariat Nasional IPPI. Dia menceritakan salah satu kisah PDHIV yang mengalami itu. 

Perempuan tidak kunjung mendapatkan perlindungan yang layak dari pemerintah. Kekerasan tak berkesudahan masih terjadi hingga kini walau UU PKDRT dan UU TPKS sudah lama disahkan, bahkan dari aparat sendiri. Ditambah lagi, kekerasan ekonomi juga menjadi penghalang PDHIV untuk merdeka atas hidupnya, seperti yang dialami Aya dan teman-temannya sebagai pengguna NAPZA yang pernah beririsan dengan hukum. 

“Peradilan nggak akan pernah bisa kita capai tanpa duit. Kita dituntut berdaya secara ekonomi, akhirnya menghalalkan segala cara. Jadi kurir, jadi bandar, jadi itu back-to-back. Sama seperti lingkaran kekerasan, itu situasi teman-teman pengguna NAPZA, termasuk transpuan dan ragam identitas yang lain.”

Baca juga: Di PHK Dari Pekerjaan Karena HIV/ AIDS: Diskriminasi Pekerja

Bagaimana bisa berdaya jika langkah untuk merdeka ditahan oleh diskriminasi? Beberapa perempuan lain menyampaikan keluhan yang dialami dalam dunia kerja. Semata karena statusnya, PDHIV pekerja juga harus melewati hambatan dalam kenaikan pangkat, tidak diberikan tunjangan, hingga dikeluarkan dari pekerjaan.

Perempuan yang hidup dengan HIV bukanlah perempuan “tidak baik-baik” atau “tidak benar” yang selama ini dikonstruksi oleh sistem patriarki. Mereka juga bukan perempuan “malas” yang sering kali terjerat menggunakan NAPZA. Mereka juga bukan beban keluarga, atau bahkan anaknya. 

Perempuan yang hidup dengan HIV adalah perempuan yang tidak baik-baik saja dan tidak mendapatkan haknya sebagai manusia. Mereka tersangkut pada masalah sistemik yang menjerat kelompok rentan dalam lingkaran setan kekerasan dan kemiskinan. 

Kontak Bantuan Pendamping Tes HIV dan Dukungan Sebaya

Inti Muda

https://instagram.com/intimudaindonesia

Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI)

0811-9722-312

Yayasan Intermedika Prana (YIM)

https://yimintermedika.org

021-2268-0385

0899-0350-555

Yayasan Victory Plus Yogyakarta

0274-587064

Pendampingan & program sekolah anak yang hidup dengan HIV (ADHIV)

Lentera Anak Pelangi (LAP)

0811-1525-888

https://www.lenteraanakpelangi.org/

Rumah Singgah ADHIV

Rumah AIRA

0821-3524-9610 (Mamah Lena)

Pengaduan dan pendampingan hukum

LBH APIK Jakarta

Hotline (WA): 0813–8882–2669

Telepon: (021) 87797289

Surel: pengaduanlbhapik@gmail.com / lbh.apik@gmail.com

Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI)

Penerima Pengaduan https://lapordata.ippi.or.id/penerima-pengaduan/ 

Lembaga Penanganan Kekerasan https://lapordata.ippi.or.id/direktori/ 

Fiona Wiputri

Manajer Multimedia Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!