The Little Mermaid, rasisme

‘The Little Mermaid’, Representasi Kulit Hitam atau Sebatas Blackwashing?

Film live action ‘The Little Mermaid’ (2023) diwarnai kontroversi. Bermula dari isu rasisme yang menyerang sosok ‘putri duyung berkulit hitam’. Berlanjut ke perbincangan representasi kulit hitam hingga dugaan blackwashing di industri perfilman.

Sebuah pertemuan penting kerajaan laut ‘Bulan Karang’ tengah digelar. Raja Triton bersama para putrinya berkumpul melingkar untuk mendengarkan kabar dari setiap perairan. 

Para duyung itu tampak beragam. Bukan saja siripnya yang beraneka warna, tapi mereka juga punya ragam identitas warna kulit (ras) yang berbeda. Dari sekian itu, ada satu tempat yang kosong. Rupanya, putri duyung ‘Ariel’ —yang diidentikkan putri duyung berkulit hitam— tidak hadir. 

Di tempat yang berlainan, Ariel tampak asik dengan dunia permukaan (manusia). Dia baru saja menemukan teropong yang membawanya ke kapal karam. Setelah selamat saat kejar-kejaran dengan ‘ikan buas’, Ariel pun baru ingat: mestinya dia menghadiri pertemuan ‘Bulan Karang’.

Raja Triton yang mengutus si Kepiting, Sebastian, marah besar atas obsesi Ariel yang, lagi dan lagi, ingin tahu sekali dunia manusia. Ariel bahkan punya tempat koleksi khusus barang-barang manusia dari kapal karam.

Baca juga: Moana, Symbol Perempuan Pemberani

Ariel masih suka diam-diam mengintip ke atas permukaan. Ia naik ke sekoci dari kapal layar yang tengah berpesta. Dia takjub melihat kembang api dan kerumunan manusia-manusia yang bernyanyi dan menari dengan alunan musik. Di sana, Ariel melihat Eric. 

Eric adalah seorang pemuda yang menjadi pangeran karena diangkat anak oleh Ratu kerajaan Pulau Karibia, Ratu Elina. Eric digambarkan sebagai anak muda dengan ambisi besar untuk ‘menaklukkan’ samudera sampai bisa memajukan kerajaan tepi lautnya. 

Kecelakaan kapal layar terjadi di malam itu. Badai dan ombak besar datang. Eric yang berusaha menyelamatkan anjingnya, Max, malah tercebur ke dasar lautan. Di situlah, Ariel menolong Eric. Hingga keesokan harinya mereka berdua telah berada di tepi pantai. 

Samar-samar Eric melihat wajah perempuan yang jadi penyelamatnya. Namun, Ariel keburu masuk lagi ke laut usai orang-orang kerajaan yang berteriak mencari Pangeran Eric berdatangan.

Pertemuan singkat itu jadi menakjubkan bagi Ariel. Dia merasakan ‘jatuh cinta’ kepada manusia, yang merupakan Pangeran Eric. Sebagaimana film musikal, suasana bahagia itu digambarkan dengan nyanyian: Ariel mau bertaruh apa pun untuk ada di samping Eric dan menjadi bagian hidupnya. 

(Sumber: Instagram Little Mermaid 2023)

Pun Eric; dia begitu penasaran dengan ‘perempuan penolong’ yang belum sempat diajaknya bicara. Dia mengerahkan para pengawal kerajaannya untuk mencari tahu siapa perempuan itu.  

Ariel masih ngeyel dengan dunia manusia. Sampai di puncak ayahnya, Raja Triton, marah besar. Ia lalu menghancurkan benda-benda dari kapal karam di tempat khusus Ariel. Di tengah kegundahan Ariel itulah, Bibi Ursula, seorang penyihir laut yang licik dan bermaksud jahat, berupaya memanipulasi Ariel. 

Ariel harus menukar ‘suara siren’ yang ia miliki; agar bisa naik ke daratan, sirip duyungnya disihir jadi kaki. Perjalanan ‘jadi manusia’, seperti obsesinya, tidaklah langsung bahagia. Justru di sinilah titik perjuangan Ariel berlangsung. 

Kontroversi ‘Putri Duyung Ariel Berkulit Hitam’

Film ‘The Little Mermaid‘ (2023) ini merupakan film adaptasi dari judul sama yang tayang pada lebih dari tiga dekade lalu, tepatnya pada 1989. Film ini banyak disebut sebagai dongeng karya Hans Christian Andersen. 

Film Amerika Serikat (AS) atau Hollywood ini, dibintangi sejumlah aktor seperti Halle Bailey (Ariel), Jonah Hauer-King (Eric), Daveed Diggs (Kepiting Sebastian), Awkwafina (Burung selam Scuttle), Jacob Tremblay (Ikan Flounder), Noma Dumezweni (Ratu Selina), Javier Bardem (Raja Triton) dan Melissa McCarthy (Ursula). 

Sejak tayang perdananya film ‘The Little Mermaid’ pada akhir Mei 2023, tak sedikit narasi dan komentar rasis menyerang sosok Halle Bailey. Bahkan, jutaan dislikes juga menyerbu di sosial media. Meskipun demikian, sebetulnya reaksi serupa sudah terjadi sejak trailer-nya rilis pada 2019 lalu. 

Mereka bereaksi karena tidak terima dengan pemilihan aktris Afrika-Amerika, Halle Bailey, menjadi sosok Ariel yang diperankan orang dengan kulit hitam (Helle) dalam ‘The Little Mermaid’. Tagar #NotMyAriel pun sempat menjadi tren di twitter. 

Baca juga: Stereotipe Berujung Kekerasan: ‘Blackface’ Itu Sangat Bermasalah!

Mereka protes, Disney merusak memori masa kecil mereka. Disney dinilai merusak karakter ikonik putri duyung yang mereka idolakan. Sebab selama beberapa dekade, Ariel digambarkan sebagai perempuan duyung kulit putih dengan rambut merah menyala dan mata biru. 

Menanggapi berbagai kritikan itu, Freeform sebagai bagian dari Walt Disney Company, sempat turun tangan. Melalui akun media sosial resminya, Freeform bikin pernyataan alasan Disney memilih sosok Halle sebagai Ariel. Mereka menyebut, Hans si penulis asli naskah ‘The Little Mermaid’ itu adalah orang Denmark. Ini artinya, Princess Ariel itu juga seperti orang Denmark, yang juga ada yang berkulit hitam. 

“Putri duyung Denmark bisa berkulit hitam, karena orang Denmark juga secara genetik bisa memiliki rambut merah,” tulis Freeform.

Sutradara Rob Marshall pun sempat mengklaim bahwa Halle adalah aktris paling cocok untuk peran Ariel. Dia aktris yang punya paket komplit. “Halle memiliki kombinasi langka antara semangat, jiwa muda, kepolosan, dan substansi. Ditambah sebuah suara menyanyi yang indah,” kata Marshall. 

Sementara, Halle dalam sebuah wawancara mengatakan, dirinya hanya akan berfokus pada hal positif terkait reaksi terhadap casting. Saat kabar troll rasis menyerbu internet setelah trailer film rilis, Halle malah membagikan supercut dan montase gadis kulit hitam muda. Gadis itu begitu antusias dan tersentuh saat tau sosok Ariel adalah seperti dirinya, kulit hitam.  

@jendayis682

Do you understand how it feels for our babies to see themselves in the fairy tales that the world said wasn’t made for them. Say what you want and complain all you want I hear nothing over the joy and excitement this little girl has over seeing a person that represent her. #littlemermaid #MarleyGraceWORLD #littlemermaid2023 #blackgirlrepresentation #BlackGirlSeeThemselves

♬ original sound – JendayiS

Di tengah rasisme terhadap orang dengan kulit hitam yang terjadi selama ini, Halle merasa hal ini sangat berarti. Ia merujuk pada peran Ariel (yang jadi representasi kulit hitam) sebagai putri duyung ‘The Little Mermaid’ terbaru 2023.  

“Sangat penting bagi kami untuk melihat diri kami sendiri.. Ini sangat berarti bagi saya,” kata Halle dalam Variety. 

Jika ditelusuri, sosok putri duyung berkulit hitam, sebetulnya bukan kali pertama ini muncul. The Insider  pun menyebut, sosok itu bahkan sudah ada lebih dari 30 tahun lalu. 

Pada sekitar 1992-1994 di CBS, ada serial TV ‘The Little Mermaid’ juga punya putri duyung berkulit hitam. Putri duyung bernama Gabriella ini juga digambarkan sebagai sosok tuli. Dia menggunakan bahasa isyarat dengan Ollie, si gurita, untuk membantu menerjemahkan pesannya. 

Dugaan Blackwashing dan Kritik Lainnya

Soal rasisme, tentu kita sepakat: menolak dan tidak membenarkan siapa pun yang melakukannya. Termasuk fans fanatik ‘The Little Mermaid’ (1989)  sampai reviewer dadakan yang bikin konten setelah nonton filmnya. 

Di luar itu, ada pula kritikan-kritikan yang bisa jadi pertanyaan sekaligus refleksi. Salah satunya The Guardian, yang secara tidak langsung menyebut isu soal keberagaman termasuk soal dominasi ras (di luar non-kulit putih), jadi tren. Itulah yang kemudian dimanfaatkan kapitalis AS, termasuk industri perfilman Hollywood ‘Disney’. 

Ini bisa jadi tidak mengherankan, karena di akhir pekan pertama tayang perdana saja, film ini sudah merajai box office. Hasil penjualan tiketnya mencapai Rp 1,7 triliun dan pendapatannya terus berjalan. 

“Mereka tidak mencoba untuk ‘terbangun’ (woke) dengan putri duyung kecil. Itu hanya menanggapi kekuatan pasar kuno yang baik,” tulisnya. 

Woke ini istilah dari AS, mengacu pada kesadaran akan isu-isu keadilan sosial. Pertama kali digunakan pada 1940-an. Namun pada akhir 2010, woke dipakai secara lebih luas soal keadilan sosial kritis, politik sayap kiri, aktivisme progresif sampai lingkungan. Pada 2014, woke menyoroti gerakan Black Lives Matter. 

Tapi konsep ‘woke’ kemudian bergeser ke makna peyoratif, bahkan pisau bermata dua. Bisa saja mengingatkan ketidakadilan sistemik, tapi juga sikap agresif terhadap politik progresif dan hanya memperburuk keadaan. 

Baca juga: Aktris Kulit Hitam Sulit Dapat Peran: Gloria Hendry Jadi ‘Bond Girl’ Kulit Hitam Pertama

Adaptasi karakter film kulit putih ke kulit gelap, memang bukan hal baru di perfilman. Pada 1994 misalnya, film ‘Shawshank Redemption’ aktor Morgan Freeman (kulit hitam) menggantikan karakter kulit putih ‘Red’. Istilah ini disebut sebagai blackwashing. Ini berlaku sebaliknya dengan sebutan whitewashing

Allyssa M. Smith dalam jurnalnya Whitening vs Blackwashing: Structural Racism and Anti-Racist Praxis in Hollywood Cinemamenuliskan, blackwashing menjadi batu loncatan terhadap munculnya representasi kulit hitam di industri film Hollywood. 

Namun, ini bukanlah solusi sempurna untuk masalah kurangnya representasi itu. Bahkan, bisa menimbulkan kesalahan representasi ‘kulit hitam’ dalam jangka panjang. Contohnya, menimbulkan potensi pemaksaan sebuah karakter film karena mengubah ras mereka. Itu dilakukan alih-alih mencari cara kreatif untuk menghadirkan film yang sensitif pada keberagaman dan inklusif. 

Secara personal, kritik terhadap ‘The Little Mermaid’ juga muncul pada kisah klasik ‘Putri yang menunggu pangerannya’. Standar kebahagiaan perempuan yang (melulu digambarkan) harus punya pasangan idaman. Menunggu ‘mendapatkan ciuman pasangan’ agar lepas dari kutukan. Hingga (dipaksa) bersaing dengan sesama perempuan untuk dapat perhatian. 

Ini tampak pada scene Ariel yang terobsesi bersama Eric. Dia juga mesti bersaing dengan ‘putri bergaun violet’ yang adalah jelmaan Ursula, untuk mendapatkan (kembali) Eric. Sampai satu-satunya yang bisa memerdekakannya adalah keberhasilan membuat Eric benar-benar jatuh cinta dan memberikan ciumannya. 

Baca juga: Mengemis Cinta Thor, Mengapa Marvel Sulit Hadirkan Posisi Perempuan yang Setara?
(Sumber: Twitter The Little Mermaid)

Di samping itu, ada pula pertanyaan-pertanyaan yang muncul. Kenapa Pangeran tetap seperti mayoritas? Eric digambarkan laki-laki kulit putih, hidung mancung, badan tinggi jenjang dll. Pun Ariel masih dikelilingi oleh dominasi kulit putih, seperti ayahnya, bibinya, sampai mayoritas saudara. Di bagian itu, tak banyak ada penjelasan. 

Alur ceritanya mudah sekali ditebak, sekaligus tak ada kebaruan yang progresif, dari pengetahuan dan perkembangan perspektif berdekade silam. Seperti halnya film-film dongeng lainnya yang punya benang merah sama pada film Cinderella, Putri Salju, dan lainnya.

Film live action ‘The Little Mermaid’ dikatakan untuk Semua Umur (SU). Tapi, rasanya film ini sebaiknya ditonton oleh anak usia 13 ke atas. Sebab efek audio visualnya yang menggelegar serta ada beberapa adegan romantisme ala anak muda, yang tentunya butuh bimbingan dan kehati-hatian. 

Meski begitu, rasanya sayang melewatkan hal yang justru paling menarik di film ini, yaitu karakter penggambaran Ursula. Dia tampil mengejutkan dibandingkan versi asli kartunnya. Lebih atraktif dan otentik dari segi penggambaran karakternya. Ini menambah daya tarik film ini selain musikalnya yang bagus.

Penasaran nonton?  Cusss, kamu bisa ajak keluarga atau temanmu!

(Sumber: Twitter The Little Mermaid)

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!