Ternyata selama ini banyak yang salah kaprah menyebut soal Women, peace and security (WPS) atau perempuan, keamanan dan perdamaian.
Keamanan selalu diidentifikasi dengan aman dalam perlindungan polisi, negara dan tentara, dan perdamaian selalu identik dengan menolak perang. Padahal keamanan dalam versi ini banyak yang palsu atau justru bermasalah.
Analogi ini seperti ketika wartawan membuat kalimat: dia ditangkap dan diamankan polisi, padahal belum tentu ia mendapatkan rasa aman ketika berada di kepolisian, mungkin justru sebaliknya.
Keamanan seperti inilah yang diperjuangkan dalam forum organisasi masyarakat sipil atau Forum WPS high level meeting di Yogyakarta, 5-6 Juli 2023.
Padahal jika merujuk peace and security, keamanan adalah ketika para perempuan bisa beraktivitas dengan nyaman, diberikan ruang untuk bersuara, tidak dikriminalisasi. Selama ini kriminalisasi masih banyak terjadi, masyarakat maupun para pembela HAM yang memperjuangkan ini masih banyak kena kriminalisasi
Perdamaian juga bukan sesuatu yang mudah didapatkan, karena sebenarnya para perempuan selama ini sudah menjadi agensi perdamaian walaupun untuk meraihnya juga tak semua perempuan bisa punya akses melakukannya.
Baca juga: Forum WPS High Level ASEAN di Yogyakarta, Bakal Bahas Isu Migrasi Hingga Perubahan Iklim
Ancaman lain juga terjadi pada pada saat perubahan iklim, ekstremisme yang membuat para perempuan menjadi korban kekerasan, migrasi, keamanan siber yang mengorbankan perempuan, krisis kemanusiaan seperti pandemi, dan kekerasan militerisme. Ancaman-ancaman inilah yang berdampak pada keamanan dan kesejahteraan perempuan.
Menyambut pentingnya acara WPS High Level atau Forum Tingkat Tinggi Perempuan, Perdamaian, dan Keamanan, sejumlah masyarakat sipil di ASEAN menyelenggarakan forum side event pada tanggal 4-5 Juli 2023. Forum bertajuk ‘Building Resilient Communities: Applying an Intersectional Perspective in the Regional Plan of Action on Women, Peace, and Security’ di Yogyakarta.
Forum side event pra-WPS High Level diselenggarakan oleh sejumlah organisasi seperti AMAN Indonesia, Migrant Care, The Working Group on Women and PCVE, Asia Pacific Partnership for Atrocity Prevention (APPAP), Southeast Asia Women Peacebuilders, Joint Initiative for Strategic Religious Action (JISRA), Asia Democracy Network (ADN), dan Southeast Asia Network of Freedom Expression (SAFENet).
Salah satu isu yang dibahas di forum side event adalah krisis kemanusiaan di Myanmar, yang berujung pada pelanggaran serius hak asasi perempuan.
Baca juga: Kisah Korban Penyekapan di Myanmar: Perdagangan Orang Ada Di Sekitar Kita
“Krisis membuat perempuan jadi sasaran kekerasan, pelecehan seksual, dan pemaksaan terkait konflik. Kondisi tersebut membuat berbagai organisasi masyarakat sipil mendesak ASEAN segera bertindak. Di antaranya, ASEAN harus mengakui pelanggaran mencolok junta terhadap the Five-Point Consensus. Perlu juga ada kepastian bahwa setiap perjanjian di masa depan memasukkan komitmen yang terikat waktu dan terukur, untuk membebaskan perempuan yang ditahan secara sewenang-wenang dan meminta pertanggungjawaban pelaku,” kata Ruby Kholifah, Direktur AMAN Indonesia
ASEAN juga diminta menangani kebutuhan para pengungsi, menetapkan perlindungan pengungsi dan mekanisme rujukan seperti bantuan hukum, perawatan medis, dan dukungan psikososial. Serta mendukung rehabilitasi, reparasi, dan keadilan transisi yang berpusat pada penyintas, termasuk akuntabilitas pasukan keamanan, pejabat negara, dan peradilan.
Wahyu Susilo, Direktur Migran Care menyatakan bahwa dalam konteks migrasi sebagai fenomena kompleks yang berimplikasi pada hak-hak perempuan, perdamaian, dan keamanan.
“ASEAN harus lebih memperhatikan tantangan terkait perlindungan, bantuan kemanusiaan, dan integrasi sosial bagi pengungsi sebagai kelompok rentan di negara-negara tujuan pengungsi seperti Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Krisis di Myanmar memang telah memicu perpindahan besar-besaran penduduk, termasuk perempuan dan gadis, yang dipaksa mengungsi dari rumah mereka.”
Kemudian ASEAN sebaiknya memperhatikan aktivitas kelompok ekstremis yang memanfaatkan faktor marginalisasi dan ketidakadilan, serta sejumlah kerentanan buruh migran perempuan seperti kondisi tidak setara, keterbatasan akses, dan kesepian. Pasalnya, kondisi-kondisi tersebut kerap mendorong pencarian spiritualitas, lalu kelompok-kelompok ekstremis akan masuk dengan menawarkan ‘solusi’ surga.
Apa Rencana Pemerintah dan UN Women untuk Perempuan di ASEAN?
Pemerintah Indonesia dalam penyelenggaraan forum WPS high level meeting pada 7-9 Juli 2023 di Yogyakarta mengatakan bahwa Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dan mitra lainnya menyatakan komitmen terhadap implementasi Rencana Aksi Regional tentang Perempuan, Perdamaian dan Keamanan ASEAN (ASEAN RPA WPS) untuk mendorong partisipasi dan kepemimpinan perempuan dalam pencegahan konflik dan membangun perdamaian berkelanjutan
Sepuluh Negara Anggota ASEAN mengesahkan ASEAN RPA WPS di bulan November 2022 di KTT ASEAN ke-40 dan 41, yang merupakan kerangka kebijakan regional pertama dalam agenda perempuan, perdamaian, dan keamanan (WPS).
“Hari ini menandakan puncak dari dialog tingkat tinggi yang telah dilaksanakan selama dua hari untuk memperkuat komitmen dalam mewujudkan rencana ASEAN RPA WPS menjadi aksi, baik di tingkat regional maupun di negara masing-masing. “Agenda perempuan, perdamaian dan keamanan merupakan agenda penting bagi kebijakan dalam dan luar negeri Indonesia, serta dalam upaya bersama untuk memelihara perdamaian dan kesejahteraan di kawasan,” ucap I Gusti Ayu Bintang Darmawati, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia.
UN Women menyebut bahwa kawasan ASEAN punya banyak hal untuk dibagikan dan menunjukkan semakin pentingnya agenda WPS di abad ke-21.
“Mengingat isu perdamaian dan keamanan yang terus berubah dan munculnya ancaman lainnya,” kata Jamshed Kazi, UN Women Indonesia Representative and Liaison to ASEAN.
“Rencana Aksi WPS yang ambisius menguraikan langkah kritis yang penting untuk mengatasi tantangan unik yang dihadapi perempuan di wilayah terdampak konflik. Untuk memastikan kesuksesan dalam implementasi, kita harus bekerja bersama dan menyatukan kemitraan kita,” ucap Kate Rebholz, Deputy Chief of Mission, U.S. Mission to ASEAN, menambahkan, “Berinvestasi pada pemberdayaan perempuan, kesetaraan gender, dan pembangunan perdamaian bukan hanya sebuah kepentingan moral, namun juga investasi yang baik untuk kestabilan dan kesejahteraan kawasan ASEAN di masa depan.”
Baca juga: Di Balik Gegap Gempita KTT Asean 2023: Ini Bukan Forum Kongkow, Ada Perampasan Lahan dan Intimidasi
Di KTT ASEAN ini, perwakilan pemerintah, ahli kajian gender, diplomat dan anggota organisasi masyarakat sipil dan organisasi internasional berdiskusi tentang pentingnya mengintegrasikan perspektif gender dalam konteks perdamaian dan keamanan ASEAN untuk merespons tantangan yang muncul, seperti isu keamanan yang berhubungan dengan iklim, bencana, keamanan siber, dan ekstremisme berbasis kekerasan.
KTT Perempuan, Perdamaian, dan Keamanan ASEAN (KTT WPS ASEAN) diselenggarakan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, dan didukung oleh Pemerintah Australia, Inggris Raya, Kanada, dan Republik Korea, UN Women, Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID).
Will Nankervis, Duta Besar Australia untuk ASEAN mengatakan, “Australia bangga dapat bekerja sama dengan ASEAN untuk agenda Perempuan, Perdamaian dan Keamanan di kawasan. Mendukung kesetaraan gender serta kebijakan dan program yang inklusif adalah salah satu komponen utama dari Kemitraan Strategis Komprehensif ASEAN-Australia. Untuk mengatasi tantangan keamanan bersama, kita harus mendukung kepemimpinan dan partisipasi penuh dan setara dari perempuan dan anak perempuan di sektor keamanan, kontingen militer, pasukan penjaga perdamaian dan pembangunan perdamaian. Kita butuh keterampilan, wawasan, kekuatan dan kepemimpinan transformatif dari beragam perempuan dan anak perempuan untuk mencapai dan memperkuat perdamaian.
Saya mengucapkan selamat untuk Indonesia dan ASEAN atas terselenggaranya Dialog Tingkat Tinggi hari ini.” “Kanada sangat senang dapat menjadi bagian dari perjalanan WPS bersama ASEAN, melalui keterlibatan kami dengan UN Women dalam mendukung inisiatif Pemberdayaan Perempuan untuk Perdamaian yang Berkelanjutan, Kebijakan Bantuan Internasional Feminis (FIAP), Strategi Indo-Pasifik Kanada, kemitraan kami dengan organisasi seperti Institut Perdamaian dan Rekonsiliasi ASEAN (AIPR), juga melalui komitmen kami dalam menyelenggarakan rangkaian Dialog WPS di tahun 2023,” ucap Duta Besar Kanada untuk ASEAN, Vicky Singmin.
Komitmen mereka yaitu akan mendukung Negara Anggota ASEAN seiring dengan upaya mereka dalam membangun WPS ke dalam kebijakan, dan mendukung organisasi masyarakat sipil untuk memberdayakan perempuan dalam pengambilan keputusan di isu perdamaian dan keamanan.