“Papa, apakah aku melakukan kesalahan?”
“Kita hanya melakukan apa yang kita anggap benar. Kita hanya akan tahu nanti jika itu ternyata salah.”
Amrita Sabharwal (Taapsee Pannu) (Amu) digambarkan sebagai sosok istri yang “ideal” dalam perspektif laki-laki. Penurut, pembicara yang halus, penyayang keluarga, dan pengurus rumah yang andal. Kegiatannya setiap hari diisi dengan rutinitas yang sama, bahkan kita tidak diberi petunjuk apa yang sebenarnya ia suka.
Kehidupan rumah tangganya biasa saja, penuh canda dan tawa–sebagaimana pernikahan seharusnya. Sampai suatu ketika konflik yang mematahkan cita-cita membuat suaminya, Vikram (Pavail Gulati), emosi. Saat berusaha menenangkan Vikram, Amu ditampar olehnya di depan kerabat dan orang terdekat lain mereka.
Mungkin terkadang kita berpikir bahwa sesekali menjadi korban tumpahan emosi orang lain itu hal yang normal. Ada ucapan “harus sabar” “hati orang tidak bisa kita prediksi” yang sebenarnya dimaksudkan baik–upaya mengajak bersimpati dan memaafkan orang lain. Namun, apakah jika tidak memaafkan membuat kita yang jadi bersalah? Yang malahan menutup inti dari permasalahan utama, yaitu orang lain yang menjadikan diri kita pelampiasan atas emosinya.
Baca juga: Film ‘Darlings’: Kamu Bisa Lihat Bagaimana Perlawanan Korban KDRT
Terlebih lagi, penderitaan dan konflik tidak berhenti di satu tamparan yang Amu terima saja. Tidak juga menjadi suatu penderitaan fisik di pipi sebentar, yang keesokan harinya hilang rasa. Namun, tindakan Vikram ini menjadi bukti bahwa tidak ada rasa hormat darinya kepada Amu yang sejak lama terinternalisasi. Bahkan ia dapat tanpa pikir panjang melakukan itu di depan orang lain, bahkan disaksikan oleh orang tua Amu juga.
Keheningan Amu selama beberapa waktu menunjukkan adanya gejolak diri yang tidak tertahankan. Rasa sayang yang berganti amarah. Rasa tanpa pamrih yang berganti menjadi ingatan Amu semasa dirinya lajang. Rasa ingin kembali bebas menjadi dirinya yang penuh mimpi.
Yang dialami Amu bukan soal tamparan semata. Bukan tamparan yang dilihat sebagai satu kejadian terpisah dari lainnya. Amu merasa matanya terbuka: bagaimana dia selama ini tidak benar-benar mengenal suaminya.
Kita sebagai penonton juga ditunjukkan berbagai petunjuk minor yang mungkin bisa kita selidiki dari pasangan. Tanda ini bisa berupa bagaimana pasangan kita berbicara tentang lawan jenis dan dirinya sendiri. Lainnya, adalah bagaimana pemecahan masalah atas konflik yang terjadi antara kedua belah pihak.
Baca juga: ‘Mrs. Chatterjee vs Norway’: Demi Hak Asuh Anak, Negara pun Ibu Lawan
Di film ini, terlihat bahwa Vikram memiliki pandangan bahwa perempuan seharusnya tidak mengemudi, permintaan maaf dapat selesai dengan barang mewah atau sekadar ucapan “aku sayang kamu”. Ia juga tergambar tidak mampu menunjukkan kerentanan diri di depan Amu di awal cerita hingga selesai.
Selain apa yang terjadi pada Amu, tamparan juga menohok kita pada realitasnya. Apakah kita betul-betul mengenal pasangan kita?
Sikap Amu dapat menjadi refleksi untuk karakter perempuan di sekitarnya, bahkan membukakan lembaran baru untuk mereka. Refleksi itu dialami oleh pengacaranya, Netra Jaisingh (Maya Sarao), dan pekerja rumah tangganya, Sunita (Geetika Vidya Ohlyan). Bahwa ketimpangan dalam hubungan suami istri itu tidak adil pada realitasnya sehingga bungkam bukan resolusi dari permasalahan tersebut.
Netra dan Sunita digambarkan mampu melawan ketidakadilan yang dialami mereka di dalam rumah. Kisah Amu menjadi sentilan dan percikan kecil untuk perempuan di sekitarnya berjuang atas hak tubuh mereka.
Namun, di beberapa kasus, kebanyakan istri kesulitan untuk melepaskan suaminya sehingga tidak semudah apa yang dikisahkan Thappad lewat karakter Amu, Netra, dan Sunita. Aku teringat pada drama serial The Maid (2021) keluaran Netflix yang juga merepresentasikan kasus kekerasan. Ada satu skenario saat karakter utama film tersebut, Alex, terkejut setelah mengetahui tetangganya rujuk dengan suami setelah mengalami KDRT yang berulang.
“It takes most women seven tries before they finally leave.”
Thappad tidak melulu menunjukkan pernikahan yang buruk, tetapi juga mencerminkan pernikahan yang saling menghormati. Seperti milik ayah Amu, Sachin Sandhu (Kumud Mishra), dan ibunya, Sandhya Sandhu (Ratna Pathak Shah), yang perlahan tergambar seiring film berlanjut. Walau begitu, setelah pernikahan puluhan tahun, mereka pun terlihat masih belajar untuk saling mengenal satu sama lain hari ke hari.
Karakter kedua orang tua Amu awalnya terlihat kontradiktif. Seiring konflik terjadi, Sachin terlihat berusaha untuk mengerti Amu walau dengan perspektif dirinya sebagai laki-laki.
Baca juga: Unorthodox: Perempuan Bebas Menjadi Dirinya Sendiri
Berbeda dengan itu, Sandhya menunjukkan dirinya yang berusaha mendidik Amu lewat apa yang dia diajarkan selama ini oleh orang tuanya. Sandhya melakukan perpanjangan konstruksi gender soal bagaimana perempuan seharusnya bersabar dan mengalah, melepas segala mimpi yang ia punya untuk menjadi ibu rumah tangga.
Pilihan yang diambil Amu tentu bukanlah intuisi sekejap mata. Ia digambarkan harus melewati berbagai tantangan dari orang sekitarnya yang sering kali tidak berpihak padanya. Namun, di sisi lain, aku menilai bahwa Amu masih memiliki privilese jika dibandingkan dengan kebanyakan kasus KDRT pada realitasnya.
Misalnya, kekerasan yang dialaminya terjadi di depan publik sehingga memudahkannya untuk melanjutkan kasus pidana ke pengadilan. Walau desas-desus ancaman bermunculan, Amu masih digambarkan memiliki saksi yang akan berpihak kepadanya. Lain kasus jika KDRT terjadi tanpa saksi dan konstan, tetapi tanpa bukti lebam atau luka.
Selain itu, Amu tumbuh dengan privilese keluarga yang dapat mandiri secara finansial. Memang tidak ada gambaran tentang bagaimana ia akan menghidupi anak di kandungannya kelak, atau apa pekerjaan orang tua Amu. Namun, tampaknya mereka begitu stabil secara finansial untuk kembali menanggung hidup anaknya yang sudah dewasa.
Baca juga: 7 Film Feminis yang Menambah Makna Tahun Barumu
Selain dialog singkat soal stigma janda, Thappad belum secara baik mendalami risiko yang akan dialami Amu atas keputusannya mengajukan perceraian. Atau memang mungkin karena tidak ada risiko baginya ke depan selain kehilangan pasangan?
Perjuangan Amu atau bahkan Vikram yang bertolak belakang tidak tergambar hitam-putih, baik-jahat. Pilihan mereka untuk berlaku demikian hanyalah menggambarkan bagaimana mereka memperjuangkan apa arti “bahagia” yang selama ini ternyata tidak terlihat sama.
Di luar itu, Thappad berhasil membukakan pintu untuk refleksi tentang budaya menormalisasi kekerasan yang masih ada di sekitar kita. Film ini menjabarkan kompleksitas pernikahan dan rasa cinta. Lalu, mencoba mendekonstruksikan peranan gender yang selama ini timpang pada istri semata.
Seharusnya, pernikahan monogami tidak hanya menguntungkan satu tokoh, tetapi dua belah pihak. Mencicipi kebebasan adalah milik bersama dan pernikahan seharusnya jauh dari kekerasan. Kita seharusnya tidak membenarkan kekerasan atas dalih “tidak sengaja”, bahkan cinta.
Sumber foto: firstpost.com