Tanggal 17 Juli 2023, publik dihebohkan dengan keluarnya surat edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 2 Tahun 2023 Tentang Petunjuk Bagi Hakim Dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat Yang Berbeda Agama Dan Kepercayaan. Surat edaran ini disebut melarang Pengadilan untuk tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar-umat yang berbeda agama dan kepercayaan. Berbagai headline berita yang terkesan click bait dan membuat misinterpretasi di masyarakat, ramai dibicarakan belakangan ini. Jadi sebenarnya bagaimana memahami SEMA ini? Benarkah perkawinan beda agama jadi mustahil?
Konde.co menghubungi Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti (24/7) untuk mengupas makna dari SEMA ini. Pertama-tama, Bivitri menjelaskan bahwa surat edaran adalah keputusan yang sifatnya internal untuk Mahkamah Agung atau tidak keluar dari lingkungan Peradilan Mahkamah Agung. Lingkupnya hanya meliputi peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.
“Surat edaran MA bukan termasuk peraturan perundang-undangan, sifatnya hanya mengatur hakim tapi tidak mengatur masyarakat umum” ujar Bivitri.
Baca Juga: Kamu dan Pacarmu Beda Agama dan Mau Menikah? Cari Tahu Landasan Hukumnya
Menurut Bivitri, surat edaran ini melanggar peraturan perundang-undangan yaitu UU Administrasi Kependudukan. “SEMA No. 2 Tahun 2023 ini jelas melanggar UU Adminduk, yang sudah mengatur tentang pencatatan perkawinan secara lengkap. Undang-undang itu sifatnya lebih tinggi dibandingkan dengan surat edaran.”
Selain itu, ia menyebut dasar dari SEMA hanya mengacu pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Padahal ada UU Adminduk yang sudah mengatur dengan jelas tentang pencatatan perkawinan
“UU Adminduk sudah bagus, MA dalam hal ini mengabaikan UU Adminduk. Pencatatan perkawinan warga negara adalah kewajiban pemerintah, tapi hal ini justru kontra dengan amanat UU tersebut.”
Apakah Surat Edaran Ini Bisa Dibatalkan?
Setelah viralnya berita ini, netizen pun mempertanyakan tentang kekuatan hukum surat edaran tersebut. Mengingat bangsa ini adalah bangsa yang plural, terdiri dari berbagai macam agama dan kepercayaan. Tentu peristiwa perkawinan beda agama warganya akan sering ditemui. Maka, keluarnya SEMA ini memunculkan kekhawatiran bagi pasangan beda agama yang akan melangsungkan pernikahan. Mengutip BBC.com, Direktur Program Indonesia Conference on Religion and Peace (ICRP), Ahmad Nurcholis mengatakan sejak 2005 pihaknya sudah membantu dan mengadvokasi 1.655 pasangan beda agama.
Menurut Bivitri, tidak seperti halnya peraturan perundang-undangan, SEMA tidak bisa diuji. Yang bisa membatalkannya hanyalah ketua MA itu sendiri. Bivitri berpendapat bahwa SEMA No. 2 Tahun 2023 ini menggunakan pola pikir agama Islam. Padahal di Indonesia memiliki keberagaman agama dan kepercayaan.
“Aturan pernikahan di agama lain belum tentu seperti agama Islam. Bagi sebagian agama, tetap bisa melangsungkan perkawinan sepanjang satu pihak mau mengikuti tata acara pernikahan agama tersebut. Pengadilan ngga ada urusan di situ, SEMA hanya berfungsi bagi pasangan beda agama yang ingin mendapatkan penetapan pengadilan.”
Lalu bagaimanakah suatu kasus yang membutuhkan penetapan pengadilan? Menurut Pasal 36 UU Adminduk: Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Perkawinan, pencatatan perkawinan dilakukan setelah adanya penetapan pengadilan. Hal ini menjelaskan bahwa penetapan pengadilan, baru dibutuhkan ketika pasangan beda agama tidak mendapatkan akta perkawinan dari lembaga agamanya.
Campur Tangan Wakil Ketua MPR RI
Pengamatan Bivitri, SEMA nomor 2 tahun 2023 ini akibat dari dari kunjungan Wakil Ketua MPR RI Yandri Susanto ke Mahkamah Agung sepekan sebelum keluarnya peraturan tersebut. Mengutip antaranews.com, Yandri meminta Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengabulkan permohonan pernikahan beda agama pada akhir Juni lalu. Alasannya, pernikahan beda agama bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 2005 yang menolak pernikahan beda agama. Yandri khawatir akan terjadinya banyak ekses buruk yang timbul seperti permasalahan soal ahli waris dan status anak.
Bivitri menilai bahwa tidak bisa membuat peraturan tentang perkawinan beda agama berdasarkan nilai yang dianut salah satu agama saja di Indonesia. “Ada intervensi politik, wakil ketua MPR yang terlihat anti dengan pernikahan beda agama, minta ke MA agar praktik tersebut dihentikan. Sangat tidak adil jika pemerintah dan MA menggunakan kerangka pikir agama Islam untuk diterapkan di agama lain. Jangan pakai satu agama untuk agama lain,” tandasnya.
Baca Juga: Ingin Belajar Toleransi di Desa? Belajarlah dari Dusun Ngepeh di Jombang
Menelisik Sejarah Negara Mencatatkan Perkawinan Warganya
Tujuan awal disusunnya masalah perkawinan warga negara menjadi undang-undang adalah kebutuhan untuk melindungi perempuan dan anak. Sebelum UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 lahir, banyak masalah yang dihadapi perempuan dan anak yang tidak memiliki status hukum dalam pernikahan. Dengan adanya UU Perkawinan ini, maka memberikan kepastian dan status hukum bagi warga negara. Bivitri menjelaskan, hal ini adalah hasil dari perjuangan para aktivis perempuan terdahulu untuk mendapatkan hak dan perlindungan bagi perempuan dan anak seperti kebutuhan administratif, hak keperdataan, nafkah dan hak waris
“Sejarahnya panjang, UU Perkawinan itu sendiri sebenarnya adalah terobosan, Membantu hak anak dan perempuan yang tidak eksis di mata hukum. Awalnya diajukan oleh aktivis perempuan dengan asas monogami. Kemudian dalam penyusunannya, masuk juga pemikiran tentang Islam” jelas Bivitri.
Seiring berjalannya waktu, UU Perkawinan mengalami banyak dinamika. Terutama menyangkut polemik perkawinan beda agama.
“Makin lama UU Perkawinan makin diinterpretasikan ngaco. Sebenarnya masih banyak kritikan terhadap UU Perkawinan, namun secara prinsipil masih bisa dipakai dan diterima.”
Pernikahan Beda Agama Masih Bisa Dilaksanakan
Lalu apakah setelah keluarnya SEMA ini, pernikahan beda agama tidak bisa lagi dilaksanakan? Bivitri menjawab tetap bisa dilakukan selama salah satu pihak bersedia menundukkan diri terhadap agama salah satu dari pasangan tersebut. SEMA hanya berlaku jika pasangan membutuhkan penetapan pengadilan untuk pernikahan mereka. Masyarakat tidak seharusnya bingung karena pernikahan beda agama masih bisa dilaksanakan, apabila lembaga agama mengeluarkan akta pernikahan yang menjadi pengantar untuk dicatat dalam Catatan Sipil.
“Karena ada sebagian agama sejauh yang saya tahu, Protestan dan Katolik bersedia memberkati dan mengeluarkan akta perkawinan antar umat beragama (salah satu pihak adalah penganut agamanya)” tutup Bivitri.