Korban perkosaan di Kemenkop UKM mengajukan gugatan praperadilan atas penghentian proses hukum kasusnya. Sidang pertama berlangsung di Pengadilan Negeri Bogor pada Senin (21/8/2023) siang. Korban (N) diwakili oleh kuasa hukumnya, LBH APIK Jabar.
Sidang dengan nomor perkara 3/Pid.Pra/2023/PN Bgr ini tidak dihadiri oleh termohon yakni Kepala Kepolisian Republik Indonesia cq Kepala Kepolisian Resor Bogor Kota. Hakim tunggal Elvina mengatakan pihaknya akan melakukan pemanggilan dengan peringatan pada termohon.
“Sampai dengan sekarang termohon belum hadir maka kita akan melakukan pemanggilan untuk yang terakhir. Kami akan melakukan pemanggilan dengan peringatan pada termohon. Jika memang termohon tidak hadir maka tidak dapat menggunakan haknya, begitu ya, sebagaimana ketentuan hukum acara yang berlaku,” katanya.
Karena itu sidang ditunda pada Senin (28/8/2023).
Hakim menjelaskan sidang praperadilan akan berlangsung selama 7 hari. Agenda sidang minggu depan terdiri dari 4 agenda yakni pembacaan permohonan, jawaban dari termohon, replik dan duplik yang akan berlangsung satu hari. Hakim juga meminta jika kuasa hukum pemohon akan menghadirkan saksi maka sudah harus dipersiapkan agar tidak ada penundaan sidang.
Sementara itu kuasa hukum pemohon Asnifriyanti Damanik menanyakan pada hakim posisi korban yang tidak bisa menghadiri sidang.
“Apakah pemohon prinsipal perlu hadir karena secara psikologis kondisinya tidak memungkinkan untuk hadir?,” ujar Asni.
Hakim mengatakan karena posisi pemohon sudah diwakilkan kepada kuasa hukumnya jadi pemohon tidak perlu hadir, apalagi kondisinya tidak memungkinkan.
“Karena memang sudah diwakilkan jadi tidak perlu hadir ya. Biar kondisinya membaik dulu,” kata Elvina.
Sidang kemudian ditutup majelis hakim dan akan dilanjutkan pekan depan. Kuasa hukum pemohon mendaftarkan gugatan praperadilan pada 14 Agustus 2023. Pada 18 Agustus 2023 mereka mendapat surat relaas panggilan sidang untuk menghadiri sidang di Pengadilan Negeri Bogor pada Senin 21 Agustus 2023.
Tim kuasa hukum pemohon terdiri dari Asnifriyanti Damanik, Ratna Batara Munti, Cut Dietty, Ni Made Rainy Windasari dan Dian Primayadi.
Gugatan Praperadilan Sebagai Imbas Salah Kaprah “Restorative Justice”
Gugatan praperadilan ini diajukan untuk menyoal sah atau tidaknya penghentian penyidikan. Polresta Bogor Kota yang menangani kasus perkosaan ini tercatat menghentikan kasus dengan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) sebanyak dua kali.
SP3 pertama terbit pada 18 Maret 2020 dengan alasan keadilan restoratif (restorative justice/RJ). Sedang SP3 kedua keluar pada 31 Maret 2023 dengan alasan tidak cukup bukti. Kedua SP3 tersebut dinilai kuasa hukum pemohon bermasalah. Karena itu mereka berharap kedua SP3 dinyatakan batal sehingga proses hukum atas kasus perkosaan terhadap N dapat dilanjutkan.
Kasus ini bermula saat N, pegawai honorer Kemenkop UKM, diperkosa 4 rekan kerjanya (MF, NN, WH, dan ZP) pada 6 Desember 2019. Perkosaan terjadi di hotel tempat berlangsungnya acara rapat di luar kantor.
Baca juga: Perkosaan Gang Rape Terjadi di Kemenkop UKM: Aktivis Temukan Rekayasa Kasus
Korban dan keluarga melaporkan kasus tersebut ke Polresta Bogor Kota pada 20 Desember 2019. Polresta Bogor menindaklanjuti laporan hingga tahap penyidikan dengan menangkap dan menahan keempat tersangka.
Tapi kemudian berlangsung upaya untuk mendamaikan kasus dengan difasilitasi oleh penyidik PPA Polresta Bogor. Akhirnya terjadi “perjanjian damai” antara korban dengan para pelaku pada 3 Maret 2020. Perjanjian itu diikuti dengan “pernikahan” antara korban dengan salah satu pelaku (ZP) pada 13 Maret 2020.
Polresta Bogor lalu menerbitkan SP3 dengan nomor S.PPP/813b/III/RES.1.24/2020 dengan alasan restorative justice pada 18 Maret 2020. Menurut kuasa hukum korban penggunaan RJ sebagai alasan terbitnya SP3 bertentangan dengan makna dan tujuan keadilan restoratif itu sendiri.
“Proses yang mereka anggap sebagai restorative justice ini bermasalah karena di situ ada pelibatan penggunaan uang. Selain itu juga ada desakan dan di bawah tekanan dari kepolisian karena mereka ingin tersangka cepat dikeluarkan dari tahanan lantaran masa tahanannya sudah habis. Bahkan saat itu keluarga korban didesak kalau bisa pernikahannya di kantor polisi, seperti itu,” terang Ratna Batara Munti usai sidang.
Baca juga: Ingat Kasus Kekerasan Seksual di Kemenkop UKM? Penyidik Polresta Bogor Kena Sanksi Demosi
Ia melanjutkan keadilan restoratif pada dasarnya harus menekankan pada pemulihan para pihak terutama korban. Tapi faktanya, saat itu korban tidak mendapatkan pendampingan hukum dan pemulihan.
Sedangkan pernikahan korban dengan pelaku yang jadi persyaratan dalam perjanjian damai ternyata hanya strategi para tersangka untuk bebas dari tuntutan hukum. Ini lantaran pelaku yang menikah dengan korban tidak pernah menjalankan kehidupan sebagai suami istri dengan korban sejak menikah.
Ratna menambahkan kalau mengacu pada Perkap No. 6 tahun 2016 pasal 12, penerapan restorative justice terbatas pada perkara yang tingkat kesalahan pelakunya relatif tidak berat. Sedangkan tindakan kekerasan seksual yang terjadi pada korban merupakan kesalahan yang berat dan menimbulkan dampak psikis yang besar.
“Inikan pasal yang dikenakan itu pasal 286 KUHP, itu sebenarnya perkosaan. Jadi persetubuhan terhadap perempuan dalam kondisi pingsan dan tidak berdaya. Nah, jadi itu tidak tepat ya menggunakan pendekatan RJ dengan mendamaikan. Itu bermasalah praktiknya,” jelasnya.
Direktur LBH APIK Jabar ini menegaskan keadilan restoratif tidak tepat diterapkan bagi korban kekerasan seksual. Pasalnya, ada faktor relasi kuasa maupun relasi gender dalam konteks kekerasan seksual yang menunjukkan korban dalam posisi timpang. Akibatnya korban lebih rentan mengalami reviktimisasi. Apalagi ada situasi traumatis yang dihadapi korban kekerasan seksual.
Bahkan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang disahkan tahun 2022 lalu menyebutkan, kasus kekerasan seksual tidak dapat diselesaikan di luar proses peradilan. Perkecualian hanya berlaku terhadap pelaku anak. Selain itu Konvensi CEDAW juga menegaskan kekerasan terhadap perempuan merupakan kekerasan berbasis gender.
SP3 Kedua Dinilai Tak Relevan
Setelah SP3 pertama keluar, kuasa hukum korban sempat berencana mengajukan gugatan praperadilan. Seiring dengan itu kasus perkosaan N mendapat perhatian publik dan atensi dari pemerintah.
Menko Polhukam Mahfud MD beberapa kali melakukan rapat koordinasi lintas kementerian/ lembaga. Rakor melibatkan Kemenkop UKM, KPPPA, LPSK, Kompolnas, Mabes Polri, Polda Jabar, dan Kejaksaan.
Kasus pidana N akhirnya berhasil dibuka kembali atas dasar gelar perkara khusus di Polda Jabar pada 7 Desember 2020. Polresta Bogor menindaklanjuti dengan menerbitkan Surat Perintah Penyidikan Lanjutan Nomor SP.Sidik/251/XII/RES.1.24/2022/Sat Reskrim.
Pada 12 Januari 2023 PN Bogor mengabulkan tuntutan praperadilan oleh pelaku atas SP3 pertama sehingga penetapan tersangka dinyatakan tidak sah. Menanggapi putusan tersebut, Kemenko Polhukam menggelar rakor pada 18 Januari 2023. Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan pemerintah menghormati putusan majelis hakim. Tapi rakor juga menyepakati proses hukum atas kasus ini dilanjutkan kembali.
Baca juga: Perkosaan di Kemenkop UKM: Praperadilan Dikabulkan, Pelaku Perkosaan Tak Lagi Jadi Tersangka
Tindak lanjut dari rakor di Kemenko Polhukam, Kementerian PPPA menggelar rakor pada 24 Januari 2023. Rakor kali ini KPPPA mengundang Tim Independen dan kuasa hukum korban yaitu LBH APIK Jabar. Selain itu hadir juga Kemenkop UKM, Kompolnas, LPSK, Mabes Polri, Polda Jabar, dan Polresta Bogor.
Pada rakor tersebut kementerian dan lembaga yang hadir menegaskan lagi dukungan mereka agar kasus ini diproses kembali. Mereka juga berjanji akan terus mengawal proses hukum yang berjalan. Begitu juga dengan Polresta Bogor, sebagai penyidik mereka akan terus menindaklanjuti perkara tersebut.
“Kapolres Bogor pak Bismo berikut Kasatnya waktu itu juga hadir dalam rapat-rapat yang dipimpin KPPPA. Selain itu ada juga Kompolnas, LPSK, Mabes Polri yang sepakat tetap melanjutkan penyidikannya dengan memperbarui alat bukti,” terang Ratna.
Kompolnas mengusulkan agar ada ahli farmakologi yang dihadirkan. Sementara kuasa hukum korban mengusulkan untuk menghadirkan ahli psikologi klinis dan psikologi forensik. Selain juga menghadirkan saksi yakni ibu korban yang belum pernah dipanggil.
Ratna menjelaskan rakor di KPPPA diikuti dengan gelar perkara di Polresta Bogor di hari yang sama. Gelar perkara dihadiri oleh Polresta Bogor, Polda Jabar, Kemen PPPA, Tim Independen, dan kuasa hukum korban. Polresta Bogor juga mengundang dua ahli hukum pidana. Mereka dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Fakultas Hukum Binus University.
Dalam gelar perkara pendapat ahli sejalan dengan keputusan rakor. Ahli berpendapat untuk membuka kasus perkosaan tersebut dapat dilakukan lewat surat perintah penyidikan (sprindik) baru dan menambah bukti baru (novum). Ini mengacu pada Perma Nomor 4 tahun 2016.
Hasil Gelar Perkara
Satu minggu setelah gelar perkara di Polresta Bogor, pada 31 Januari 2023 berlangsung gelar perkara yang dipimpin Karowassidik Bareskrim Polri. Hasil gelar perkara ini, pertama memerintahkan Polresta Bogor untuk menerbitkan SP3 atas Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP). SPDP ini dikeluarkan Polresta Bogor pada 7 Desember 2022 yang menandai dimulainya kembali penyidikan setelah terbitnya SP3 pertama pada 18 Maret 2020.
Kedua, hasil gelar perkara di Bareskrim Polri memandatkan jika penyidikan akan dilanjutkan kembali, harus ada praperadilan terlebih dulu atas SP3.
Kuasa hukum korban mengaku tidak tahu soal gelar perkara di Bareskrim Polri tersebut. Mereka baru mengetahuinya saat datang ke Polresta Bogor untuk berkoordinasi dan menindaklanjuti sprindik baru. Di sana mereka mendapat informasi soal adanya gelar perkara di Bareskrim Polri yang memerintahkan Polresta Bogor untuk menerbitkan SP3.
Akhirnya Polresta Bogor kembali menghentikan penyidikannya dengan menerbitkan SP3 baru dengan nomor SPP.Sidik/251.a/III/RES.1.24/2023 dengan alasan tidak cukup bukti pada 31 Maret 2023. Ratna berpendapat terbitnya SP3 kedua menunjukkan kepolisian tidak memegang komitmen yang pernah disampaikan dalam rapat-rapat koordinasi kasus.
Baca Juga: Menggerutu Lihat CATAHU 2023, Bukti Nyata UU TPKS Belum Efektif Terlaksana
“Upaya dan atensi dari kementerian dan lembaga itu diabaikan semua dengan gelar perkara di Bareskrim,” ujar Ratna.
Asnifriyanti menambahkan alasan terbitnya SP3 kedua karena tidak cukup bukti dinilai tidak relevan. Jika mengacu pada pasal 184 KUHAP terdapat 5 alat bukti. Kelima alat bukti ini seharusnya dilengkapi terlebih dahulu.
“Jadi dalam penyidikan itukan yang baru dikumpulkan itu baru keterangan saksi dan petunjuk. Sementara seharusnya ada juga keterangan ahli gitu ya yang itu harusnya dimanfaatkan,” terang Asni.
Selain itu proses penyidikan lanjutan belum sepenuhnya dijalankan. Bahkan belum ada pembaruan alat bukti seperti komitmen yang disampaikan kepolisian dalam rapat koordinasi pada 24 Januari 2023.
“Dari Sprindik tanggal 7 Desember 2022 sampai dengan SP3 yang kedua keluar tanggal 31 Maret itu belum ada penyidikan yang menggali alat bukti lagi gitu lho,” ujarnya.
Karena itu menurut Asni SP3 harus dinyatakan batal. Pasalnya penyidik dinilai belum maksimal melakukan upaya-upaya untuk mengumpulkan alat bukti sesuai dengan pasal 184 KUHAP.
(Infografis diolah Tim Konde.co)