‘Diarak dan Dibuka Jilbab Secara Paksa’ Pemulung Tua Jadi Korban Kekerasan di Yogyakarta 

Seorang Nenek bernama Wakirah, dituduh mencuri di Pasar Niten, Yogyakarta. Ia diarak dan dibuka jilbabnya secara paksa.

Wakirah, lansia berusia 60 tahun warga Dusun Ngrame, Doto, Yogyakarta menjadi korban kekerasan di pasar Niten, Yogyakarta. Dia dituduh mencuri kue dan ayam geprek saat tengah memulung di area pasar. 

Konde.co berusaha menghubungi Wakirah melalui tetangganya, tapi masih sulit dihubungi. Konde.co kemudian menghubungi Gamulya dari Dapur Keliling Emergency Food Truck Indonesia (Dapur Keliling EFI) di Yogyakarta, yang kemudian menggalang dukungan untuk Wakirah. Gamulya pertama mengetahui soal Wakirah itu, dari pemberitaan media yang beredar di media sosial. Hingga akhirnya, Ia mendapatkan alamat Wakirah dan mendatanginya. 

Dilansir dari Harian Jogja, Kepala Dusun Ngrame, Doto membenarkan bahwa nenek malang tersebut sebelumnya memang bertempat tinggal di wilayahnya. Hanya saja saat ini sudah pindah ke wilayah Ambarbinangun, Sleman.

Wakirah selama ini tinggal bersama suaminya, Ari, di gubuk berukuran 1×10 meter di kelurahan Ngestiharjo, Yogyakarta. Saat kunjungan itu, Gamulya menyatakan, kondisi Wakirah sudah membaik secara fisik. Namun, Ia masih terlihat trauma dan shock

Kepada Mulya, perempuan paruh baya itu membantah telah mencuri. Saat dia memulung, Ia ingin membeli kue dan ayam geprek di pedagang pasar. Baru saja ingin membayarnya, tiba-tiba seseorang menamparnya dan meneriakinya pencuri. Beberapa orang lainnya, bahkan membuka paksa jilbab, ikut memukul sambil mengucapkan kata-kata ‘kasar’ dan juga mengarak Wakirah ke tengah pasar. 

Baca Juga:  Bertemu Pekerja Disabilitas, Lansia, Transpuan dan Lihat Keadilan untuk Mereka

“Nenek (Wakirah) mengatakan, pada waktu itu dia hanya terdiam kaku (freezing), tidak ingat dan merasakan apapun, pikirannya kosong, pasrah tidak bisa berbuat apa-apa,” cerita Mulya ketika dihubungi Konde.co, Senin (4/9).  

Apapun alasannya, Mulya menyayangkan tindakan kekerasan itu terjadi terhadap Wakirah, yang adalah kelompok rentan. Perempuan lansia yang sehari-harinya harus menyambung hidupnya dengan menjual kardus dan botol bekas hasilnya memulung bersama suami. 

“Tidak ada satu alasanpun yg membenarkan orang diperlakukan kasar, mendapat kekerasan fisik dan psikis, direndahkan martabatnya sedemikian rupa. Apalagi objek masalahnya adalah makanan, barang untuk dimakan, bukan barang untuk hidup bermewah-mewahan,” imbuh pegiat gerakan berbagi makanan kepada dhuafa dan pengungsi bencana itu. 

Gubug Wakirah Digusur

Pasca kejadian kekerasan yang menimpa Wakirah itu, Dapur Keliling EFI (@dapurkelilingEFI), sempat menawarkan menggalang donasi untuk Wakirah bisa membuka angkringan kecil-kecilan di sekitar gubuknya. 

“Nenek Wakirah meminta ‘kail’ bukan ‘ikan’, itu yang aku agak waw! Nenek Wakirah bilang, pengen punya angkringan di depan gubuknya ada lahan tak terpakai, memang cocok untuk angkringan. Ia bisa bikin nasi kucing, kopi, dan teh,” terangnya.  

Namun pada Selasa (5/9), @dapurkelilingEFI yang berniat ke gubuk Wakirah di kelurahan Ngestiharjo, Yogyakarta, untuk menginfokan angkringan sumbangan dari kawan-kawan sudah siap diantar. Mereka kaget melihat gubuknya sudah dibongkar karena digusur. 

“Ternyata ada Pak Ari, suami nenek, yang sedang membereskan sisa-sisa bongkaran. “Pak Ari bilang, 2 hari lalu ada orang dari kelurahan yang perintahkan mereka untuk pindah dan harus segera membongkar sendiri gubuknya, katanya dilarang bikin bangunan di tanah tersebut,” terang Mulya mengabarkan. 

Baca Juga: Petani Digusur Aktivis Dibungkam, Merdeka Harusnya Memanusiakan

Konde.co kemudian menghubungi melalui sambungan telepon suami Wakirah, Ari Maulana, soal isu penggusuran itu. Dia membenarkan bahwa pihak kelurahan memintanya pindah dari gubug yang ditempatinya. Itu dikarenakan, gubungnya berdiri di atas tanah kas desa Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta.

“Ini tanah milik desa, sebetulnya tidak boleh nanti bikin gak enak sebaiknya Bapak pergi. Kan dulu mau ditegur, tapi masih punya kasian katanya,” ujar Ari menirukan ucapan pihak kelurahan saat itu.

Ia mengaku, diberikan waktu seminggu untuk membongkar gubugnya. “(Awalnya) dikasih waktu 4 hari. Tapi bos saya bilang ‘jangan 4 hari Pak, kasihan, dikasih waktu 1 minggu biar nyari kontrakan dulu,” lanjut Ari.

Hingga saat ini, Ari masih dalam tahap pembongkaran gubugnya yang terbuat dari triplek, plastik dan tenda terpal bekas hasilnya memulung.

“Ya saya merasa orang gak punya, ya memang salah numpang di situ. Saya minta maaf, saya siap membersihkan tempat ini,” lanjutnya.

Konde.co sudah berupaya menghubungi pihak kelurahan soal ini, namun hingga berita ini ditayangkan belum memberikan konfirmasi.

(Suami Wakirah, Ari, tengah membereskan sisa-sisa bongkaran gubungnya. Foto: IG @DapurKelilingEFI)

Baca Juga: Kekerasan Ekonomi Banyak Dialami Perempuan Paska Pandemi

Malam hari usai penggusuran, @dapurkelilingEFI dan @RumahHarapanMelanie kemudian menjenguk Wakirah dan Ari di tempat tinggal sementaranya di sekitar Krapyak, Yogyakarta. 

“Setelah mengalami peristiwa tragis di pasar dan disusul dengan penggusuran gubuknya hanya dalam kurun waktu seminggu, kini nenek sakit demam, flu, dan batuk. Fisiknya drop, tentu terkait erat dengan kondisi psikisnya,” imbuhnya.  

(Situasi luar gubug Wakirah dan Ari. Foto: IG @DapurKelilingEFI)

Mulya dkk membawakan bingkisan, buah-buahan, obat, dan uang untuk Wakirah. Saat ini, pasangan lansia itu menyewa satu kamar sederhana berukuran 2×3 ribu/bulan, dengan 1 kamar mandi di luar yang digunakan bersama penghuni 4 kamar lainnya. 

“Kamar ini didapatkan mendadak oleh suami Wakirah di hari yang sama, ketika orang kelurahan (diduga —red) memerintahkan mereka membongkar gubuknya. Dengan tergesa-gesa mereka pindah, hanya membawa pakaian dan perabotan seperlunya, sisa barang dan rongsokan dari bongkaran gubuk akan mereka jual. Misalnya 1 kg atap seng seharga Rp 1.000.-” katanya.

(Kondisi gubug Wakirah dan Ari sebelum pembongkaran. Foto: IG @DapurKelilingEFI)

Untuk membantu Wakirah, para relawan itu meminta Ari untuk segera mencari rumah kontrakan yang layak, biaya sewanya selama 1 tahun, peralatan masak dan sembako akan ditanggung oleh @RumahHarapanMelanie. Sedangkan @dapurkelilingEFI akan membiayai angkringan atau warung beserta isinya, sebagaimana keinginan nenek sebelumnya. 

Baca Juga: 3 Perempuan Yang Alami Kesenjangan Digital: Lansia, Perempuan Desa Dan Berpendidikan Rendah

“Angkringan/warung ini nanti akan kami dampingi dan subsidi agar menjadi warung makan gratis khusus untuk para pemulung, penarik becak, homeless dan dhuafa lain yang melewatinya. Sehingga, dapat terjadi #RakyatBantuRakyat,” katanya. 

(Wakirah ketika dikunjungi di kontrakan. Foto: IG @DapurKelilingEFI)

Dari apa yang menimpa Wakirah, Mulya sebetulnya menyayangkan atas ‘absennya’ peran negara. Sebab semestinya, kelompok rentan seperti Wakirah itu mendapatkan hak perlindungan atas keamanan dan hidup layak. Bukan malah jadi korban kekerasan berulang kali.  

Pihaknya juga mengajak agar tiap orang tidak mudah menghakimi atau melakukan kekerasan. Terlebih, kepada perempuan dan kelompok rentan. Pihak terkait juga harusnya bisa membantu persoalan perempuan senasib seperti Wakirah, yang ada di Yogyakarta atau tempat-tempat lainnya. 

“Siapapun harus memperlakukan siapapun dengan baik, sopan, dan adil. Tidak ada satu alasanpun yang membenarkan tindakan kekerasan, apalagi kepada kelompok rentan seperti lansia, dhuafa, perempuan, anak, dan lain-lain. Solidaritas, gotong royong,  dan empati kepada sesama harus kita gaungkan lebih besar,” katanya. 

Kisah Wakirah: 30 Tahun Memulung, Sakit Tumor, dan Hidup di Jalanan

Wakirah sudah lebih dari 30 tahun menjadi pemulung dan hidup di jalanan. Ia tinggal bersama suaminya—yang juga pemulung— bernama Ari. Mereka tinggal berpindah-pindah satu tempat ke tempat lain untuk mencari sampah dan rongsokan untuk dijual kembali. 

Alun-alun utara kota Yogyakarta, jadi lokasi yang mereka tempati cukup lama pada malam hari selama bertahun-tahun itu. Mereka beristirahat di bawah pohon besar dengan beralaskan kardus dan terpal. 

Tempat ini pulalah yang jadi saksi perdarahan hebat yang sering dialami Wakirah saat sakit tumor. Suaminya, berkali-kali harus membuang kantong penuh dari dari tubuh Wakirah ke sungai pada masa itu. 

Baca Juga: 21 Tahun Catahu, Komnas Perempuan Temukan Kekerasan Khusus Kelompok Rentan

“Bersyukur pada tahun 2012, ada petugas Dinas Sosial Jogja yang melihat nenek kesakitan parah dan segera membawanya ke rumah sakit untuk dilakukan operasi miom (mengangkat fibroid rahim) dengan biaya gratis. Beberapa tahun kemudian nenek juga harus operasi gondok di lehernya,” ujar Mulya yang juga dituliskannya di akun Instagram Dapur Keliling EFI. 

Lima tahun terakhir ini, Wakirah dan Ari tinggal di gubuk kecil. Tepat berada di samping gudang barang bekas milik bos lapak—yang kemudian mereka harus meninggalkan gubug. Sebelumnya, setiap pagi, Wakirah dan suami berkeliling jalan kaki dengan kantong plastik besar untuk mencari sampah/rongsokan yang bisa dijual. Penghasilan mereka memulung, rata-rata hanya Rp 25 ribu/hari. 

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!