Awasi Pemilu, Pemilik Media Gunakan Televisi untuk Kepentingan Partainya

Riset PR2Media menemukan menguatnya konsentrasi dan konglomerasi media, disertai kontrol pemilik media kepada redaksi media untuk kepentingan politik pribadi mereka.

Kamu sering lihat pidato-pidato para pemilik di televisi? Jelang Pemilu, pidatonya makin banyak kita lihat.

Ada pidato dari pemilik media yang disampaikan secara meledak-meledak, mendayu-dayu, berpantun. Namun pada dasarnya, para pemilik media televisi ini menggunakan frekuensi publik di media untuk kepentingannya sendiri alias kepentingan partainya.

Kejadian ini juga tidak hanya dilakukan di tahun ini. Tapi di tahun-tahun sebelumnya, kejadian ini terus berulang dan seperti selalu lepas dari pengawasan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media), sebuah lembaga riset media kemudian me-launching temuan tentang media yang digunakan pemiliknya untuk kampanye dan kepentingan politiknya. Pada 23 November 2023 lalu di Jakarta bersama Dewan Pers dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

PR2Media menemukan, jelang Pemilu, jumlah pemilik media yang melakukan ini, makin banyak. Riset yang diberi judul kepemilikan dan afiliasinya dengan politik media di Indonesia ini mengeksplorasi spektrum kepemilikan media dan afiliasi politik mereka pada partai-partai dan kekuasaan di Indonesia.

Baca Juga: Riset: 3 Media Dinilai Tak Independen Beritakan Keistimewaan Yogyakarta

Masduki, Direktur PR2Media dalam launching tersebut menyatakan, penelitian dalam laporan ini dipicu oleh fenomena menguatnya konsentrasi dan konglomerasi media. Disertai kontrol pemilik media kepada redaksi yang lebih mencerminkan kepentingan politik pribadi mereka, bukan kepentingan publik.

Hal ini telah beberapakali terbukti, misalnya dalam kontestasi Pemilu 2014 dan 2019. Aksi manipulasi opini dan propaganda politik yang menggunakan media mereka meluas, mengikis keragaman sudut pandang politik. Serta meningkatkan kerentanan terhadap diskursus publik dan ketidakpercayaan warga negara terhadap media.

“Pada tahap selanjutnya, hal ini sekaligus berdampak negatif terhadap demokratisasi di Indonesia,” kata Masduki.

Penelitian ini bertujuan memotret kondisi terbaru soal kepemilikan media, menyelidiki hubungan antara pemilik media dan struktur politik antara media, pemerintah, parlemen, dan partai politik.

Riset ini dilakukan untuk membantu pembuat kebijakan, pekerja media, aktivis media, dan masyarakat sipil, dalam memahami interelasi media dan politik praktis, yang akan berujung dan berimplikasi pada kontestasi dalam Pemilu 2024.

“Mengingat luasnya spektrum isu kepemilikan dan afiliasi politik, penelitian ini fokus kepada peta kepemilikan dan afiliasi politik media di Indonesia. Tidak mengkaji apa pengaruh kepemilikan dan afiliasi pemilik media terhadap isi berita atau jurnalisme atau bagaimana bentuk intervensi pemilik ke redaksi.”

Secara kronologis, penelitian ini mengidentifikasi dua hal, yaitu soal tipologi dan jaringan kepemilikan media arus utama di berbagai platform (horizontal, vertikal, diagonal) di tingkat nasional dan di tiga provinsi (Jawa Timur, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan) untuk tingkat lokal. Juga bentuk-bentuk afiliasi politik para pemilik dan pengelola media (langsung dan/atau tidak langsung) dengan partai politik dan/atau jabatan publik.

Baca Juga: Media Alternatif: Menulis Berita Kekerasan Seksual, Lalu Dapat Serangan

Tim peneliti PR2Media melakukan pengumpulan data di lapangan dan analisis data di empat lokasi. Yaitu Jakarta, Surabaya, Samarinda, dan Makassar, sejak November 2022 hingga September 2023. Dua kegiatan utama yang dilakukan adalah wawancara mendalam dan focus group discussion (FGD). Secara khusus, tim juga mengumpulkan dokumen profil perusahaan media terpilih, serta mengkajinya dari sisi hukum, untuk melihat bagaimana status perusahaan media ini.

Dari berbagai pemikiran tersebut, PR2Media menyimpulkan ada beragam pendekatan dalam melihat kepemilikan. Seperti horizontal (satu platform banyak saluran), vertikal (bisnis media dari hulu ke hilir), diagonal (campuran vertikal dan horizontal, beragam platform media dan bisnis penunjang media), konglomerasi (mengelola bisnis media (diagonal/horizontal/ vertikal) dan non-media: hotel, tambang, keuangan), dan transnasional (lintas negara).

Dalam mencermati kepemilikan ini, ada dua pintu masuk, yaitu uang (saham pada media) dan posisi kekuasaan dalam struktur media. Juga terdapat afiliasi politik yang dilihat dalam dua sisi antara lain dari afiliasi langsung, di mana pemilik atau pengelola media sekaligus merupakan pejabat publik, calon atau anggota parlemen (DPR/DPRD/DPD), dan pengurus partai politik. Yang kedua, dari afiliasi tidak langsung, di mana para pekerja media terhubung kepada partai politik, pejabat pemerintah, anggota legislatif, dan lain-lain, baik sebagai tim sukses, calon anggota legislatif, tim ahli, konsultan, dan sebagainya.

“Berdasarkan berbagai konsepsi ini, kami mengembangkan empat tingkatan konseptual afiliasi media dan politik.”

Baca Juga: Demokrasi Ada di Tanganmu, Jadilah Pemilih Kritis di Pemilu 2024

1. Pertama extreme, dimana pemilik media dan keluarganya (pemegang saham, komisaris, direksi) sekaligus menjadi ketua parpol, calon legislatif, atau anggota DPR/DPD/DPRD, kepala pemerintahan tingkat pusat/daerah.

2. Yang kedua, tipe strong, yaitu berposisi sebagai komisaris di media sekaligus pengurus parpol/calon atau anggota DPR/DPD/DPRD, kepala pemerintahan pusat/daerah.

3. Dan ketiga adalah tipe moderate, yaitu menjabat direksi di media sekaligus pengurus parpol/calon atau anggota DPR/DPD/DPRD/kepala pemerintahan pusat/daerah

4. Dan keempat  adalah tipe weak, jurnalis atau editor media yang menjadi calon legislatif/anggota parlemen dan pengurus parpol.

Berdasarkan kajian terhadap dokumen hukum perusahaan dan informasi terkait, Masduki menyatakan bahwa penelitian ini mencatat lima temuan penting, yaitu secara historis sejumlah akta perusahaan media mengalami perubahan yang relatif cepat, terutama pergantian nama-nama dalam komisaris dan direksi. Fenomena ini menggambarkan tingginya dinamika restrukturisasi perusahaan, keluar masuk tokoh bisnis, politik, dan lain-lain, dalam struktur tertinggi yang dipengaruhi situasi internal maupun eksternal. Fenomena ini juga mengindikasikan tidak stabilnya korporasi media dari struktur kepemilikan dan figur kunci dalam manajemen.

“Yang kedua, muncul indikasi kuat shadow names dan blurred position antara komisaris dan direksi. Nama-nama yang tertulis dalam akta perusahaan tidak otomatis merupakan pemilik nyata dalam saham perusahaan.”

Baca Juga: Media Diharap Kontribusinya, Sayang Malah Langgengkan Kekerasan Perempuan

Yang ketiga, ada kompleksitas asal usul nama dalam level komisaris atau direksi, yaitu kombinasi tokoh bisnis, tokoh partai politik, pejabat pemerintah, dan tokoh masyarakat, yang merepresentasikan beragam kepentingan, tidak sekadar bisnis media.

Keempat, yaitu dokumen hukum perusahaan juga menggambarkan model diversitas usaha yang mengarah ke konsentrasi. Di mana usaha media hanya menjadi a tool of other businesses yang berpotensi memicu conflict of interest.

“Ada dominasi pola kepemilikan yang cross company services. Yaitu digital media, hospitality, olahraga, hiburan, natural resources, investment, food, dan lain-lain,” kata Masduki.

Kelima, dokumen hukum menunjukan bahwa tujuan bisnis dalam pengelolaan media lebih dominan, ketimbang tujuan publik.

“Sedangkan tujuan politik praktis, meskipun dalam realitas telah terbukti. Tapi dalam rumusan teks pada akta perusahaan tidak diuraikan dengan jelas. Dokumen hukum juga mengonfirmasi terjadinya transformasi bisnis dari konvensional ke digital dan konvergensi.”

Temuan lapangan penelitian ini menunjukkan adanya bentuk-bentuk kepemilikan media dan afiliasi politik praktis yang kompleks. Ini mendisrupsi nalar kewarasan publik, terkait media pers dan penyiaran.

Baca Juga: Media Pojokkan Para Janda, Aktivis Layangkan Surat Terbuka

Secara khusus, peneliti menemukan empat model afiliasi politik. Pertama, model extreme. Contohnya Hary Tanoesoedibjo, selaku pemilik (pemegang saham), direktur utama (memimpin operasional) pada sisi media, dan Ketua Umum Partai Perindo (pemimpin operasional). Sekaligus menjadi caleg DPR RI di sisi struktur politik. Pada saat yang sama, Hary Tanoesoedibjo memiliki anak perempuan yang menjadi wakil menteri.

Dengan kata lain, terjadi ‘government-political party-parliament-media connection model, which are controlled by only one hand oligarch’. Model yang barangkali hanya ada di Indonesia.

Kedua, adalah model strong. Contohnya Surya Paloh, pemilik Media Group (dengan saham mayoritas sekaligus menjadi direktur utama) pada sisi media, menjadi Ketua Umum Partai Nasdem. Anaknya, Prananda, menjadi Ketua Pemenangan Pemilu Partai Nasdem pada sisi struktur politik. Prananda juga menduduki peran anggota DPR RI periode 2019–2024, dan mencalonkan diri lagi. Partai Nasdem menempatkan tiga orang menteri dalam kabinet Presiden Jokowi. Yaitu Menteri Komunikasi dan Informatika (yang sangat strategis dalam sektor media, tapi posisi Johny G. Plate diganti pada Mei 2023 karena terlibat kasus korupsi), Menteri Pertanian (Syahrul Yasin Limpo mengundurkan diri pada Oktober 2023 karena terlibat kasus korupsi), dan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup.

Ketiga, model moderate. Contoh model ini adalah Syafril Nasution, selaku Direktur Corporate Secretary di MNC Group, Ketua ATVSI 2019– 2022, dan pada Pemilu 2024 menjadi calon anggota legislatif Partai Perindo Dapil Jawa Tengah. Syafril Nasution juga menjadi Wakil Ketua Pengurus Pusat Partai Perindo Bidang Organisasi.

Keempat, model weak. Sejumlah jurnalis senior di berbagai provinsi di Indonesia maju menjadi calon anggota legislatif pada Pemilu 2024, baik di tingkat DPR RI maupun DPRD. Para jurnalis dan sejumlah media juga menunjukkan keberpihakan (partisanship) kepada partai politik atau figur politik tertentu lewat berita (presiden, menteri, kepala daerah, dan lain-lain).

Baca Juga: Politik Dinasti Bisa Jadi Ancaman di Pemilu 2024, Kita Bisa Apa?

“Menarik diperhatikan bahwa empat model ini tidak terjadi pada grup media berskala nasional lainnya. Seperti Grup Emtek, Kelompok Kompas Gramedia, Jawa Pos Grup, Mahaka Media, BeritaSatu Media Group, dan Trans Group. Secara umum, di tiga daerah di luar Jakarta, yaitu Jawa Timur, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan, pola relasi langsung politisi dengan media lokal cenderung “abu-abu”. Sejumlah informan menyatakan keterlibatan nama-nama politisi atau pejabat daerah sebagai pemilik media. Akan tetapi, tidak terdapat bukti secara eksplisit dalam dokumen hukum. Berdasarkan temuan di atas, secara umum, riset mengkonfirmasi adanya kompleksitas masalah kepemilikan dan afiliasi politik yang memberi peringatan pada tiga pihak. Yaitu regulator media, regulator pemilu, dan regulator persaingan usaha.”

Pada intinya, riset ini menemukan indikasi kuat, yaitu integration of media, government, and political ownership.

Pola ini awalnya terjadi di tingkat nasional, lalu merebak ke daerah, dan semakin dianggap sebagai hal yang normal. Terdapat beberapa risiko, seperti iklim persaingan usaha media yang tidak adil dan kompetisi politik yang tidak sehat.

“Untuk menanggulangi persoalan ini, Komisi Pemilihan Umum, Komisi Penyiaran Indonesia, Dewan Pers, Komisi Informasi, dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, perlu duduk bersama mencari jalan keluar melalui produksi regulasi baru, atau minimal pelaksanaan revisi,” kata Masduki.

Baca Juga: Dianggap Provokator: Narasi Perempuan Dalam Framing Media 

Oleh karena itu peneliti bertanya, sejauh mana pengaruh kepemilikan media yang terkonsentrasi dan partisipasi pemilik media dalam politik praktis terhadap isi berita dan kerja jurnalistik?

Pertanyaan ini akan menjadi tugas yang harus dijawab oleh riset berikutnya. Untuk menjawabnya, diperlukan metode penelitian yang lebih spesifik, seperti analisis isi atas berita dan etnografi kerja jurnalis di ruang redaksi.

“Rekomendasi riset berikutnya adalah pemetaan preferensi sikap jurnalis pasca disrupsi digital dan di era politik digital terkait kontestasi politik elektoral. Riset ini menemukan indikasi awal sikap permisif jurnalis terhadap politisasi media dan keterlibatan ganda mereka. Yaitu tetap menjadi jurnalis tapi terjun dalam politik praktis. Melemahnya komitmen etis para jurnalis, baik oleh relasi kuasa tidak imbang antara mereka dan pemilik media, maupun oleh ambisi karier pribadi, perlu menjadi keprihatinan bersama,” tutup Masduki.

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik. Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!