Ilustrasi pemberitaan KBGO yang menyudutkan korban

Pemberitaan KBGO Harusnya Berperspektif Korban, Media Jangan Nirempati

Perusahaan media seharusnya berstrategi mencari keuntungan dengan tetap pakai hati nurani. Jangan tambah beban korban dengan pemberitaan asal-asalan saat membahas kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO) yang terjadi pada kelompok rentan.

Kemarin malam, aku menemukan berita dari sebuah media daring yang ikut trendjacking atas kasus KBGO yang terjadi. 

Lagi-lagi, dalam kasus tersebarnya konten intim yang tidak konsensual, perempuan selalu menjadi korbannya. Mereka ditempatkan dalam bingkai menjadi pihak yang paling bersalah, seakan seksualitas hanya tabu pada perempuan.

Sudah menjadi korban KBGO, mereka kembali dijadikan korban olokan publik yang juga diperparah lewat amplifikasi konten media. Media seharusnya tidak menjadikan penderitaan korban kekerasan seksual sebagai ajang mendapatkan klik banyak dalam situs webnya. 

Ada banyak opsi mencari uang yang menguntungkan perusahaan media dan menjadikan penderitaan korban sebagai komoditas bukan salah satunya. Bahkan, di beberapa media, aku sempat menemukan pemberitaan yang fokus menguak identitas dan biodata korban walau aturan media sudah ada di negara kita sejak lama.

Mereka sudah cukup menderita: menjadi korban kekerasan, menerima cacian dari orang di sekitarnya, dan mengalami kesulitan dalam memperoleh keadilan hukum. 

Indonesia mengamini UU Pers dan kode etik jurnalistik (KEJ) yang perlu dipatuhi media. Media juga kini bisa mengakses panduan strategi pemberitaan kekerasan seksual yang lebih rinci secara mudah bahkan gratis. Salah satunya adalah yang dikeluarkan oleh Project Multatuli dan Rutgers Indonesia pada 2022. Media mengonstruksikan realitas sosial–menunjukkan cerminan budaya dan masyarakat lewat pemberitaannya. Maka dari itu, perusahaan perlu berkontribusi dalam menciptakan ruang aman untuk kelompok rentan.

Purple Code mengidentifikasi setidaknya ada 15 jenis KBGO yang terjadi di sekitar kita. Produksi dan/atau penyebaran konten seksual tanpa persetujuan seluruh pihak lewat teknologi digital sebagai medium adalah salah satu bentuknya. Selama ini, istilah yang digunakan adalah “revenge porn” yang sebenarnya berkonotasi negatif. Berbagai lembaga kini menyebutnya dengan istilah non-consensual dissemination of intimate images (NCII). 

Baca Juga: Cara Pemulihan Reputasi Korban Penyebaran Konten Intim Non-Konsensual 

Kita ketahui bahwa merekam tanpa persetujuan adalah bentuk kekerasan. Namun, sering kali, beberapa kasus NCII tidak banyak dipahami publik. Beberapa menganggap bahwa seseorang yang memberikan persetujuan untuk direkam sama saja memberikan persetujuan untuk disebarkan. Padahal, keduanya adalah hal yang berbeda. Kita harus paham bahwa karakteristik dari persetujuan seksual itu salah satunya adalah spesifik. Memberikan satu persetujuan seksual tidak berarti memberikan persetujuan seksual lainnya.

CATAHU 2023 Komnas Perempuan menemukan bahwa kasus KBGO masih tinggi hingga kini. Media seharusnya ingat–menanamkan di kepala setiap pemangku kuasa sampai jajaran terbawah–bahwa kekerasan seksual adalah masalah struktural yang seharusnya dipecahkan bersama. 

Kekerasan seksual terjadi karena ketimpangan kontrol dan penyalahgunaan kuasa, yang sering kali digunakan sebagai senjata melemahkan “warga kelas dua”. World Health Organization (WHO) menyebut kekerasan seksual sebagai “tindakan jahat, agresif, dan kontradiktif yang bertujuan untuk merendahkan, mendominasi, mempermalukan, meneror, serta mengendalikan korban”. 

Jadi, bagaimana seharusnya media melakukan pemberitaan terkait KBGO?

Aturan pemberitaan isu kekerasan seksual berdasarkan Kode Etik Jurnalistik

Menurut Kode Etik Jurnalistik/KEJ, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh media agar tetap etis dan profesional. Beberapa pasal pun menekankan pentingnya menjaga hak korban dan martabat kelompok rentan. 

Misalnya, Pasal 5 yang berbunyi “Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.” Pasal ini menjelaskan bahwa seharusnya media tidak menulis nama korban tanpa persetujuannya sama sekali, apalagi hanya untuk kepentingan kapital perusahaan media dalam berstrategi soal SEO.

Selanjutnya, Pasal 8 yang berbunyi “Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.” Kita ketahui bersama bahwa perempuan selama ini menjadi kelompok rentan saat menerima kekerasan seksual. Perempuan dibebankan konstruksi soal keperawanan, bahkan kebanyakan korban disalahkan jika ia mengalami kekerasan. Mereka disalahkan atas pakaiannya, sikapnya, atau tindakan personalnya; budaya menyalahkan korban dan mitos terkait kekerasan seksual masih kental di sekitar kita.

Pembingkaian media tentang kekerasan seksual yang malahan memberikan spotlight pada riwayat hidup dan kronologi kasus yang dialami korban membuat publik hanya fokus pada sensasionalitasnya. 

Seharusnya media meletakkan fokus pada pelaku yang menjadi dalang kekerasan seksual itu terjadi dan turut mengecam perbuatan pelaku.

Catatan kunci dari Panduan Meliput Kekerasan Seksual bagi Persma dan Jurnalis oleh Project Multatuli dan Rutgers Indonesia

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam peliputan kekerasan seksual. Pertama, wawasan jurnalis soal isu ketimpangan gender dan kekerasan seksual. Perusahaan media seharusnya mengedukasi jurnalis dan para pemangku kuasa tentang kekerasan seksual lewat berbagai pelatihan. 

Aku sangat menyayangkan bahwa pemberitaan KBGO sensasional yang baru-baru ini kutemukan datang dari reporter yang sesama perempuan. Artikel pertama membahas kejadian yang menimpa korban, artikel kedua menguak biodata dan riwayat hidup korban. 

Pada kasus ini, tentu tidak bisa menyalahkan hanya satu orang saja, tetapi juga jajaran di atas yang punya tanggung jawab lebih besar dalam memandu dan menyortir konten yang disajikan ke publik. Mereka punya peran penting dalam membuat panduan yang jelas terkait peliputan dan pemberitaan kekerasan seksual untuk menyaring pemberitaan yang seenaknya. Dengan tergambarnya terbangunnya sistem tersebut oleh berita-berita yang dibuat media, publik dapat menaruh kepercayaannya kepada mereka ke depannya.

Kedua, penggunaan diksi. Media perlu menjauhkan diksi sensasional atau yang memperhalus tindakan kekerasan seksual lewat bahasa (eufemisme) dalam memberitakan kekerasan seksual, termasuk KBGO. Sayangnya, media-media besar sampai 2020 ditemukan masih sering menggunakan bahasa sensasional dalam pemberitaan. Sedihnya, mereka hanya memberikan kesan “berperspektif korban” pada kasus yang sudah ramai terlebih dahulu dikawal publik atau aktivis sehingga menunjukkan adanya inkonsistensi. 

Ketiga, keterampilan jurnalis dalam berperspektif korban, dari proses praproduksi hingga pascaproduksi. Berperspektif korban dijelaskan dalam buku panduan sebagai upaya “memprioritaskan hak, kebutuhan, keinginan, dan keamanan penyintas kekerasan seksual”.

Baca Juga: No Viral, No Justice? Kasus di Depan Mata Revenge Porn di Pandeglang

Walau selama ini diajarkan prinsip cover both sides, jurnalis tetap perlu menunjukkan keberpihakannya kepada korban. Maka dari itu, pemberitaan seharusnya tidak fokus pada identitas, riwayat hidup, sikap, aktivitas pribadi, atau status hubungan korban dengan pelaku. Keberpihakan dapat ditunjukkan dengan pembingkaian berita yang tematik dan melibatkan pihak yang kredibel.

Artinya, media perlu membingkai pemberitaan dengan menambahkan konteks sosial, ekonomi, dan politik pada kasus yang terjadi. Mengingat bahwa kasus kekerasan seksual adalah masalah struktural yang tidak lepas dari ketidakberdayaan korban. Pemilihan informan berdasarkan riwayatnya juga dapat dipertimbangkan, media dapat melibatkan lembaga atau pihak yang berpengetahuan secara akademis atau pengalaman.

Terakhir, kontribusi yang dapat diberikan media terhadap korban. Pastikan korban dapat menjangkau akses kesehatan, dukungan psikologis dan sosial, layanan bantuan hukum, serta keamanan fisik dan digital. Setelah pproses produksi selesai, media seharusnya tidak melepas begitu saja korban dengan memastikan bahwa dirinya aman. 

Sampai kini, korban kekerasan seksual masih kesulitan untuk mengakses keadilan hukum. Undang-undang yang mengatur tindak pidana kekerasan seksual masih belum memiliki payung hukum turunan yang jelas dan tegas, aparat penegak hukum masih bias gender, dan prosespenyelidikan dan penyidikan kasus kekerasan seksual yang lambat. Ditambah lagi, korban harus menerima berbagai tekanan dari berbagai belah pihak yang dapat memengaruhi kondisinya. Media perlu berprinsip memberikan uluran tangan kepada korban.

Dewan Pers pun harus bergerak menyudahi pemberitaan yang masih merugikan korban kekerasan seksual

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) tahun lalu sempat mendesak media untuk membuat pemberitaan yang berperspektif korban. Selain itu, mereka juga mendesak agar Dewan Pers turut memonitor pemberitaan media dengan lebih ketat dan membuat panduan peliputan kekerasan seksual yang berperspektif pada korban. 

Terkait itu, Arif Zulkifli menyatakan tiga komitmen Dewan Pers yaitu ke depannya akan mencantumkan pembahasan isu kekerasan seksual dalam materi Uji Kompetensi Wartawan, menambahkan poin SOP sebagai indikator dalam verifikasi pendataan media, dan membentuk tim penyusun Pedoman Peliputan Kekerasan Seksual.

Harapannya, dengan terwujudnya komitmen tersebut, media di Indonesia bisa jauh dari pemberitaan yang hanya mengedepankan sensasionalitas.

Fiona Wiputri

Manajer Multimedia Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!