Riset Komnas Perempuan: Restorative Justice Harus Berperspektif Korban, Realitasnya Belum

Keadilan restoratif (restorative justice) semestinya bisa memberi keadilan dan pemulihan bagi korban. Bagaimana situasi penerapan restorative justice di Indonesia kini? Simak hasil riset Komnas Perempuan berikut!

Apa yang terlintas di pikiranmu saat mendengar soal restorative justice

Biasanya, istilah ini memang familiar dalam pemberitaan kasus kekerasan seksual, yang seringnya terjadi pada korban perempuan. Tapi jangan salah paham dulu, restorative justice (selanjutnya disingkat RJ) bukan serta merta sebagai:

Upaya “mendamaikan” korban dan pelaku untuk melupakan kasus. 

Atau “menyelesaikan” kasus dengan menikahkan pemerkosa dan korbannya. 

Itu adalah praktik-praktik keliru dari upaya RJ yang tidak berperspektif korban—dan tidak semestinya disebut sebagai RJ. Sebab, RJ ini menekankan pada pemulihan korban, internalisasi pertanggungjawaban pelaku, serta perbaikan kondisi masyarakat. 

Di Indonesia, RJ merupakan perkembangan pemikiran hukum yang haruslah dipahami dan dilaksanakan dengan tepat. Utamanya dalam sistem peradilan karena telah diadopsi sebagai strategi pembangunan hukum Indonesia. 

Kita bisa menjumpai RJ ini dalam UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Sementara pada UU TPKS, adopsi RJ yaitu soal hak korban atas restitusi dan reparasi. Tapi, UU TPKS tidak memungkinkan penyelesaian bersifat musyawarah/ mediasi antara pelaku dan korban. 

Baca Juga: Menggerutu Lihat CATAHU 2023, Bukti Nyata UU TPKS Belum Efektif Terlaksana

Sejak tahun 2022, Komnas Perempuan telah melakukan riset pemantauan pelaksanaan RJ dalam penanganan kekerasan terhadap perempuan. Bekerja sama dengan organisasi layanan pendamping korban kekerasan di 9 provinsi, riset ini mendokumentasikan praktik-praktik RJ di 23 kabupaten/kota di Indonesia. 

Pemantauan ini melibatkan 18 orang pengambil data lapangan (pemantau). Juga ada 3 orang pendamping yang masing-masing mengkoordinir 3 wilayah. Diantaranya, region barat (Aceh, Kalbar, Jateng), region tengah (Sulteng, Bali, NTT) dan region timur (Papua, Maluku, Sulbar).  

(Wilayah pemantauan Komnas Perempuan/ Sumber: Komnas Perempuan)

Proses pengambilan data yang berlangsung Agustus-Oktober 2022 ini, selesai sampai penulisan pada September 2023. 

Adapun total narasumber riset itu ada 449 narasumber. Mereka terdiri dari institusi penegak hukum (202 orang), korban (84 korban), lembaga layanan berbasis masyarakat (67 orang), lembaga layanan pemerintah (60), dan lembaga adat/sosial/agama (36 orang). 

“Proses ini cukup panjang dan melelahkan, terutama teman-teman pemantau dan pendamping yang berproses bersama Komnas Perempuan selama 1 tahun 5 bulan,” ujar Wakil Ketua Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin dalam launching hasil pemantauan RJ Komnas Perempuan, Selasa (19/9).

Restorative Justice Mayoritas Belum Pulihkan Korban

Hasil pemantauan Komnas Perempuan, mayoritas perempuan korban kekerasan tak puas atas penerapan RJ. Yaitu sebanyak 48 orang dari total 84 orang di 3 region pemantauan. 

“Di region timur dan barat, jumlah narasumber yang tidak puas lebih banyak daripada yang puas,” papar Komisioner Komnas Perempuan, Theresia Sri Endras Iswarini. 

(Tingkat Kepuasan Korban pada Proses Keadilan Restoratif Atau Sejenisnya/ Sumber: Komnas Perempuan)

Region tengah yang banyak korban puas terhadap Restorative Justice itu, ditemukan lebih banyak kebijakan tentang SPPT PKKTP (sistem peradilan pidana terpadu penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan). Selain itu, juga ada sensitivitas aparat penegak hukum. 

“Di wilayah ini pula ditemukan kepemimpinan perempuan adat dalam pengambilan keputusan kasus kekerasan terhadap perempuan dan proyek percontohan pengembangan kebijakan adat untuk penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan pelatihan  penguatan kapasitas penyelenggara mekanisme adat,” lanjutnya. 

Baca Juga: Yang Bisa Kamu Pelajari Dari Perempuan Adat: Sebagai Pelindung Hutan dan Lingkungan 

Hal yang jadi catatan penting, para perempuan korban kekerasan tersebut juga mayoritas belum pulih dengan adanya penerapan Restorative Justice

Sebanyak 45 dari 68 orang, merasa belum pulih. Ada 21 lainnya merasa lebih pulih dengan hasil atau kesepakatan yang dicapai. Jumlah korban yang merasa pulih relatif merata di tiga wilayah, tetapi jumlah yang tidak merasa pulih lebih tinggi di wilayah timur (18 orang) daripada di barat (15 orang) dan tengah (12 orang). 

(Rasa Pulih Korban/Sumber: Komnas Perempuan)

Salah satu narasumber (P 72) mengungkapkan alasannya “Saya marah, kecewa dan sedih juga karena merasa tertipu dan mantan suami banyak kerjasama dengan orang lain. Dia karena punya kekuasaan [mantan Direktur] sedangkan saya hanya ibu rumah tangga. Saya dan keluarga dianggap orang yang bersalah dan mendapat stigma buruk dari masyarakat dan keluarga mantan suami juga.” 

Penerapan RJ terhadap para korban tersebut banyaknya terjadi pada kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Pola ini ditemukan baik di tingkat kepolisian, kejaksaan, dan di pengadilan. 

Hasil pemantauan mencatat 115 kasus. Kebanyakan kasus-kasus KDRT ringan seperti penelantaran ekonomi, kekerasan psikis dan fisik seperti pemukulan yang dianggap ringan dan tidak mengancam keselamatan. 

Baca Juga: Riset Jakarta Feminist: Perempuan Paling Banyak Jadi Korban Femisida di Rumah

Terdapat 15 kasus kekerasan seksual, 10 diantaranya adalah pelecehan seksual dan masing-masing 1 kekerasan seksual siber serta 1 kekerasan seksual dalam pacaran. Bahkan ada 3 kasus perkosaan yang diselesaikan dengan mekanisme keadilan restoratif. 

“Hal ini sangat dimungkinkan karena tidak ada batasan yang dengan tegas dalam Perkapolri untuk mengecualikan kasus kekerasan seksual, khususnya perkosaan, sementara rentang waktu pengumpulan data memungkinkan bahwa kasus-kasus ini ditangani sebelum UU TPKS berlaku,” jelasnya. 

(KDRT yang menggunakan RJ di institusi kepolisian/ Sumber: Komnas Perempuan)

Pun di Kejaksaan, KDRT juga menjadi kasus terbanyak yang diselesaikan dengan mekanisme keadilan restoratif, yaitu 32% atau 8 dari 25 kasus yang terdokumentasi. Sementara di pengadilan, kasus KDRT adalah kedua terbanyak (7 Kasus) setelah kasus diversi, yaitu kasus yang melibatkan anak berkonflik dengan hukum (8 kasus). 

Keputusan Adat dan Kebijakan Daerah yang Makin Rugikan Korban

Fakta yang juga ditemukan bahwa keputusan adat justru ada yang merugikan para korban. Mereka tidak mendapatkan keadilan terutama pada penyelesaian kasus kekerasan seksual. 

Hal itu dikarenakan, adanya tanggung Jawab korban untuk “membersihkan gampong (kampung)”, denda adat dinikmati oleh pihak keluarga, penyelesaian adat sebagai jalan keluar menghindari konflik yang lebih besar, suara tetua adat adalah mutlak serta simplifikasi denda adat yang dianggap memberi efek jera bagi pelaku.  

“Hasil pemantauan menemukan bahwa pelibatan korban paling minim ditemukan di dalam mekanisme adat/agama/sosial, dibandingkan mekanisme di institusi penegak hukum dan layanan pemerintah,” ujarnya.  

Baca Juga: Maskulinitas Laki-Laki Yang Harus Dilawan Dalam Kawin Tangkap

Adapun Temuan pemantauan di ketiga region memperlihatkan, kebijakan layanan di ketiga region pemantauan tidak merata. Selain itu, juga masih minim pula lembaga layanan yang fokus pada pemulihan dan keterbatasan SDM. Contoh, jumlah pendamping dan psikolog terbatas dan lebih banyak terpusat di kota padahal kekerasan seksual banyak terjadi di tempat-tempat terpencil termasuk di pulau terjauh, tertinggal dan terluar sehingga jauh dari pantauan publik. 

Realitasnya juga masih minimnya integrasi proses dan langkah layanan terpadu dalam penanganan kasus (SPPT PKKTP) dengan mekanisme keadilan restoratif. Serta muatan “pemulihan” di dalam kesepakatan keadilan restoratif masih sangat sempit, terfokus pada perjanjian damai dan ganti kerugian. 

Temuan Komnas Perempuan pada 2021, hanya 42 dari 128 kebijakan daerah yang mengatur soal pemulihan. Di antaranya, 6 dari 89 kebijakan daerah mengatur visum gratis, 23 dari 80 kebijakan daerah mengatur rumah aman dengan SOP-nya dan hampir 90% abai pada kondisi khusus daerah. 

(Kebijakan daerah soal pemulihan korban/Sumber: Komnas Perempuan)

Tanggapan Kepolisian, Jaksa dan Hakim 

Analis Kebijakan Madya, Dittipidum Bareskrim Polri, Kombes Pol. Ciceu Cahyati Dwi Meilawati menyatakan,  tidak memungkiri adanya kesulitan yang dihadapinya di lapangan. Di antaranya, regulasi yang belum kuat. Secara teknis belum ada petunjuk teknis atau SOP yang secara teknis, serta masih adanya kesulitan pemahaman regulasi. 

“Masih ada mekanisme yang masih perlu dipersingkat untuk penanganan RJ, di Bareskrim. Mekanisme pengajuan RJ, harus diajukan kepada Kabareskrim, sementara kita tahu banyak kesibukannya sehingga tidak bisa menanggapi, jadi dibuat lebih simpel lagi,” ujar Ciceu menanggapi laporan Komnas Perempuan. 

Dia bilang, hasil pemantauan Komnas Perempuan soal RJ ini akan jadi masukan pihaknya dalam penanganan perkara. Termasuk, penguatan pedoman penanganan perkara terhadap perempuan berhadapan dengan hukum. 

“Kami kepolisian dan LBH Apik serta AIPJ2 (Australia Indonesia Partnership for Justice), sedang menyusun (pedoman) penanganan perkara terkait perempuan terhadap hukum,” ujar Ciceu.

Ciceu menyebut, upaya yang dilakukan kepolisian saat ini juga sedang menyiapkan pembentukan direktorat tindak pidana pemberdayaan perempuan dan anak dan pemberantasan perdagangan orang mulai dari tingkat Bareskrim Polri. 

Hingga, supervisi kegiatan Prioritas Polri Kegiatan III Penanganan Kasus TPPO serta kejahatan terhadap perempuan dan anak, kelompok rentan TA 2023 di Bareskrim Polri. Juga asistensi percepatan penanganan perkara yang menjadi tunggakan dan menjadi perhatian publik/atensi masyarakat ke-34 Polda jajaran mulai September 2023 ini. 

Baca Juga: Sejumlah Polisi Tolak Gunakan UU TPKS, Tantangan Berat Penanganan Korban

Sementara, Jaksa Ahli Madya Jampidum, Kejaksaan Agung RI, Robet Parlindungan Sitinjak menekankan bahwa RJ itu haruslah berperspektif korban.

“Jadi kalau ada RJ disuruh korban membersihkan kampung, itu sudah melenceng dari garis RJ itu. Jadi tolong Komper sebagai ‘mata dan telinga’ kami, RJ itu korban. Kalau gak, “baju” RJ dipakai, sehingga jangan diam saja,” tegas Robet.

Robet  juga menyoroti masih adanya pimpinan di kejaksaan yang ‘belum memahami’ soal penanganan kekerasan terhadap perempuan. Dia mencontohkan soal ‘suka sama suka’ dalam kekerasan seksual yang praktiknya seringkali salah kaprah dan merugikan korban anak. 

Pada UU No. 35/2014 jo Perpu No.1/2016 jo UU No 17/2016 tidak dikenal istilah suka sama suka. Korban usia anak meminta untuk dicabuli, maka dewasa selalu menjadi tersangka, bukan anak. UU Perlindungan Anak jelas sekali mengatur tentang pemaksaan. Namun demikian, meskipun tidak ada pemaksaan, maka tetap dikategorikan rape (pemerkosaan). 

“Para pemimpinnya pun harus diberikan pemahaman, sampai ke hakim agung. Masalahnya kegawatdaruratan. Sudah SDM kurang, pimpinannya pun tidak paham, akibatnya hukum yang sudah ada tidak bisa dilaksanakan,” terangnya. 

Pun situasi aparat penegak hukum di tingkat daerah, tak boleh diabaikan. Sebab justru merekalah yang jadi ‘pintu gerbang’ perjuangan keadilan bagi korban. 

Baca Juga: Perempuan dan Anak Bermasalah Dengan Hukum, Pedoman Baru Jaksa Bisa Membantu

Hakim Agung Ketua Kamar Pidana, Desnayeti pun turut bersuara. Dia mengungkap, situasi di Mahkamah Agung (MA) kini tengah menyusun tema RJ, meski tidak khusus untuk perempuan.  “RJ untuk keadilan (korban–red), itu yang sedang kami persiapkan sekarang,” kata Desnayeti.  

Desnayati menyampaikan, RJ di tingkat pengadilan ini hanya sebagai pertimbangan. Jadi, tidak boleh menghentikan pemeriksaan yang ujung-ujungnya seringkali menguntungkan pihak pelaku dan semakin merugikan korban. 

Ia menyebut, selama ini banyak ditemukan kasus-kasus Restorative Justice –mediasi dan perundingan dengan pelaku– yang dimanfaatkan pelaku ‘menyelamatkan dirinya’. Kalau sudah tercapai RJ, maka kasus tidak dilanjutkan dan dia lari. Namun, di level dirinya sebagai hakim tidak bisa menerapkan hal seperti itu. 

“Tidak ada tawar menawar. Kita bikin aturan, kalau tidak melaksanakan RJ, maka dihukum sekian, terlebih korbannya perempuan dan anak perempuan,” pungkasnya. 

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!