Elon Musk dan Mark Zuckerberg (Foto: kolase Konde.co / Wikipedia dan Instagram)

Wacana Adu Tinju Mark Zuckerberg vs Elon Musk, Krisis Maskulinitas Ada di Sekitar Kita

Wacana adu tinju antara CEO Meta Mark Zuckerberg dan CEO Tesla Elon Musk ramai dibincangkan. Hal ini menunjukkan krisis maskulinitas, ketika laki-laki berupaya mengedepankan dominasinya.

Masih ingat wacana adu tinju antara CEO Meta Mark Zuckerberg dan CEO Tesla Elon Musk?

Wacana tersebut tampaknya memang tidak akan benar-benar terjadi. Namun, jika keduanya benar-benar bertarung, ini akan memberikan makna baru pada istilah “tech bro”.

Kedua miliarder ini juga pernah berselisih di masa lalu terkait kepentingan bisnis: Uji coba peluncuran roket SpaceX pada tahun 2016 yang dilakukan oleh Musk telah menghancurkan satelit senilai US$200 juta (Rp 3 triliun) milik Zuckerberg.

Pada 2022, Musk mengatakan bahwa Zuckerberg seharusnya tidak mendominasi media sosial, lalu mendorong orang-orang untuk meninggalkan Facebook, platform media sosial milik Meta.

Meta juga baru-baru ini meluncurkan platform Threads, yang langsung bersaing dengan X (sebelumnya dikenal sebagai Twitter) milik Musk.

Pola saling mengancam untuk mengalahkan satu sama lain merupakan bentuk persaingan yang baru–dan bukan hal aneh–bagi kedua orang ini. Sempat ada kabar bahwa pertarungan adu tinju itu akan berlangsung di Colosseum Roma, tempat para gladiator pernah bertarung secara mengerikan sampai mati, dan akan disiarkan secara langsung.

Demi Maximus, apa yang sedang terjadi sebenarnya?

Baca Juga: Di Balik Viral Obrolan ‘Provider’ bareng Prilly Latuconsina, Ada Jebakan Maskulinitas Toksik

Musk dan Zuckerberg berusaha membingkai wacana pertarungan itu sebagai peristiwa yang hanya akan sekali terjadi dalam generasi mereka. Namun, secara tidak langsung, keduanya telah menempatkan diri di antara barisan laki-laki dengan posisi publik dan politik yang “memamerkan kekuatan fisik demi meningkatkan status”.

Sebagai seorang peneliti gender, saya melihat bagaimana pertarungan ini–sebut saja “unjuk kegagahan”–cenderung menunjukkan adanya krisis maskulinitas.

Uang tidak bisa membeli kegagahan

Penampilan dua miliarder kulit putih kaya raya bertarung akan menjadi hal yang langka. Lalu apa yang akan didapat oleh Musk dan Zuckerberg dari pertarungan ini?

Scott Melzer dalam studinya tentang klub-klub perkelahian, “Manhood Impossible” (kejantanan yang mustahil), menyebutkan bahwa secara budaya, berkelahi kerap dikaitkan dengan maskulinitas. Budaya Amerika Serikat (AS) merayakan kekerasan laki-laki dalam konteks-konteks yang dianggap tepat.

Melzer menjelaskan bahwa bagi laki-laki kulit putih dari kelas profesional, berkelahi dapat membuat mereka merasa telah melewati ujian kedewasaan dan memenuhi persyaratan budaya untuk menjadi kuat. Perkelahian membantu mereka membuktikan pada diri mereka sendiri bahwa mereka adalah “laki-laki sejati”, meskipun tangan mereka lembut dan terawat.

Bagi saya, cara Musk dan Zuckerberg yang menantang satu sama lain menunjukkan adanya maskulinitas yang putus asa dari dua kutu buku teknologi berkantong tebal ini. Mereka bilang uang tidak bisa membeli kebahagiaan. Mungkin uang juga tidak bisa membeli kegagahan.

Kris Paap, penulis “Working Construction”, menjelaskan bahwa laki-laki yang tidak berani mengambil risiko sering dianggap lemah dan banci oleh teman-temannya. Sebaliknya, laki-laki yang mempertaruhkan kesehatan dan kesejahteraannya, membuktikan adanya keberanian mereka untuk mendapatkan rasa hormat dari rekan-rekannya.

Baca Juga: Maskulinitas Laki-Laki Terlihat Dari Cara Mereka Pilih Makanan: Lebih Suka Makan Daging Daripada Vegan

Ini terutama terjadi pada laki-laki kelas pekerja. Namun, para politikus juga sebenarnya sama saja, mereka ikut unjuk kehebatan fisik agar dikagumi, dan memberikan pengaruh politik. Hanya saja mereka mengenakan sarung tangan.

Pada 2012, sebelum menjadi Perdana Menteri Kanada, Justin Trudeau bertanding tinju melawan Senator Patrick Brazeau. Trudeau, yang merupakan anggota Parlemen Kanada dan berasal dari keluarga kerajaan dan dinasti politik, menyatakan sebelum pertandingan bahwa ia “ditempatkan di planet ini untuk melakukan ini … Saya bertarung, dan saya menang.”

Setelah keluar sebagai pemenang, citra Trudeau sebagai bayi nepo (dianggap mampu duduk di kursi kekuasaan berkat hubungan kekerabatan, bukan kemampuan) langsung menguap. Tiga tahun kemudian, dia menjadi PM, mengikuti jejak ayahnya.

Ada banyak contoh laki-laki lainnya yang duduk di kekuasaan tapi tetap ingin menunjukkan kejantanannya. Presiden Rusia Vladimir Putin terkenal sering menunggang kuda dengan bertelanjang dada. Sementara, Presiden AS Joe Biden pernah mengatakan bahwa ketika di sekolah menengah, ia ingin menyeret Donald Trump dan menghajarnya.

Selama hampir dua abad, unjuk kejantanan–mulai dari William Henry Harrison hingga Donald Trump–telah menjadi bagian dari kesuksesan kampanye kepresidenan AS.

Akhir dari laki-laki … lagi dan lagi

Bukanlah suatu kebetulan bahwa rivalitas Musk vs Zuckerberg muncul di tengah persepsi populer bahwa maskulinitas sedang dalam masa krisis. Perempuan bisa jauh lebih cepat memperoleh gelar sarjana dibandingkan laki-laki. Sementara, kesenjangan pendapatan semakin menyempit.

Bunuh diri dan overdosis di kalangan laki-laki, yang sering disebut sebagai “kematian karena putus asa”, terus meningkat.

Keyakinan akan adanya “krisis maskulinitas” meningkat selama masa perubahan sosial yang progresif. Para pendukung pandangan ini cenderung menyalahkan kaum feminis dan kaum progresif sosial lainnya karena mengkritik adat istiadat dan nilai-nilai tradisional yang maskulin yang, menurut mereka, menyebabkan laki-laki menjauh dari “semestinya”.

Menurut para ahli gender, pergantian abad ke-20 dan tahun 1990-an menjadi momen perubahan sosial lainnya yang memicu kecemasan serupa.

Pada tahun 1890, gerakan menuju pendidikan koedukasi (ketika murid laki-laki dan perempuan ditempatkan di satu ruang kelas) memicu perdebatan perihal anak perempuan dan laki-laki diajarkan kurikulum yang sama. Para pendukung gerakan itu berpendapat, jenis kelamin tidak seharusnya menjadi masalah di dalam kelas. Anak perempuan memang sudah seharusnya dipersiapkan untuk melakukan pekerjaan di luar rumah.

Sayangnya, gerakan semacam itu tidak bisa diterima oleh para laki-laki yang diuntungkan oleh pemisahan peran berdasarkan gender. Boy Scouts of America yang muncul pada tahun 1910 sebenarnya bertujuan untuk menjamin anak laki-laki mendapatkan ruang yang tidak boleh didapatkan oleh anak perempuan. Ini juga untuk memastikan anak laki-laki akan “cukup” mengenal maskulinitas.

Baca Juga: Maskulinitas Laki-Laki Yang Harus Dilawan Dalam Kawin Tangkap

Sama halnya dengan kemunculan politik identitas pada tahun 1990-an. Politik ini menyoroti ideologi berbasis hak, khususnya hak-hak istimewa laki-laki kulit putih.

Saat ini, kemajuan sosial–entah dalam bentuk banyaknya jumlah perempuan di tempat kerja, meningkatnya jumlah perempuan di jabatan politik atau makin banyak anak perempuan yang diizinkan untuk ikut kegiatan Pramuka–tampaknya memicu rasa tidak aman para laki-laki.

Hal tersebut dapat terlihat dari mulai munculnya sejumlah advokat pendukung hak-hak laki-laki seperti Jordan Peterson, yang mengklaim bahwa laki-laki diminta untuk mengebiri diri mereka sendiri atas nama kesetaraan. Selain itu, ada pula cemoohan oleh komentator konservatif Ben Shapiro terhadap film “Barbie” yang mendapat pujian karena mengkritik nilai-nilai patriarki.

Pada saat-saat seperti ini, seperti yang telah diprediksi, banyak laki-laki bertindak untuk merebut kembali gagasan bahwa mereka secara mutlak berbeda dengan perempuan–dan karenanya berhak berada di ruang yang berbeda.

Sosiolog Martha McCaughey mengungkapkan bagaimana biologi evolusioner telah menjadi cara yang populer untuk berargumen bahwa laki-laki tidak dapat menahan “kecenderungan bawaan” mereka.

Ini termasuk dorongan untuk mendominasi orang lain, baik dalam hal bisnis, di tempat tidur atau, ya, di atas ring.

Foto: kolase Konde.co / Wikipedia dan Instagram

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Kristen Barber

Associate Professor of Race, Ethnic and Gender Studies, University of Missouri-Kansas City
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!