Ilustrasi perda diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok minoritas

Melihat Peta Perda Diskriminatif, Ada 177 Perda Mengontrol Tubuh Perempuan

Dengan melihat peta tentang perda diskriminatif, kita menjadi tahu, mana saja wilayah di Indonesia yang selama ini mendiskriminasi dan mengontrol tubuh perempuan.

Penutupan Gang Dolly di Surabaya di 2014, merupakan salah satu bentuk implementasi peraturan daerah (perda) diskriminatif yang dilakukan kepada kelompok pekerja seks. 

Komnas Perempuan menilai bahwa keputusan Pemerintah Kota Surabaya menutup lokalisasi Gang Dolly sebagai kebijakan yang diskriminatif terhadap perempuan. Sebab aturan itu menutup hak-hak pekerja Dolly dalam memenuhi kebutuhan ekonomi dan sosial mereka. Dilansir dari Tempo, Komnas Perempuan juga menilai jika penutupan juga menunjukkan  telah terjadi peningkatan produk legislasi peraturan daerah yang bersifat diskriminatif. 

Bukan hanya menghilangkan mata pencaharian ratusan perempuan, penutupan praktik prostitusi terbesar se-Asia Tenggara ini juga merenggut hak perempuan dalam mengakses layanan kesehatan reproduksi.

Selama ini, perempuan pekerja seks selalu mendapatkan pemeriksaan secara berkala agar terhindar dari acquired immunodeficiency syndrome (AIDS). Mereka bisa mendapatkan akses layanan yang jelas dan tidak diskriminatif. Bahkan mereka juga dibekali dengan pengetahuan soal alat kontrasepsi dan penyakit menular seksual oleh Komisi Penanggulangan AIDS (KPA).

Baca Juga: Pakai Jilbab Atau Tidak? Jangan Atur Pakaian Perempuan

Cerita tersebut disampaikan oleh Ayu Oktariani dari Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) saat menghadiri acara bertajuk “Peluncuran Peta Perda Diskriminatif di Indonesia dan Pengembangan Feminist Hub”. Acara ini digelar oleh Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta (Jakarta Feminist) pada Rabu (13/3/2024) di Hotel Ibis, Cikini, Jakarta Pusat.

“Saat satu tempat prostitusi ditutup atau bahkan nantinya ada upaya-upaya yang cukup keras, tidak dengan pendekatan humanis, itu sebenarnya membuat kami dalam kerja-kerja penanggulangan HIV menjadi kesulitan untuk membantu,”ujar Ayu pada Rabu (13/3/2024).

Perda-perda diskriminatif terhadap perempuan pekerja seks justru membuat program yang sudah berjalan menjadi kocar-kacir. Bukan hanya berdampak secara sosial yang membuat perempuan pekerja seks sulit diterima di masyarakat. Perda tersebut juga berdampak bagi kesehatan mereka.

Pekerja seks, transpuan, lelaki seks lelaki (LSL), dan pengguna NAPZA memiliki kecenderungan hidup kohabitasi. Kohabitasi merupakan kondisi hidup bersama dalam satu rumah tanpa ikatan perkawinan yang sah. Dalam bahasa populernya dikenal dengan istilah “kumpul kebo”.

“Mereka tidak diterima di tempat mereka tinggal kalau ngekos sendirian. Jadi yang paling aman ngekos bareng-bareng, lebih murah, lebih aman,” jelas Ayu.

Kondisi ini membuat mereka rentan terserang penyakit, khususnya pernafasan. Hal tersebut dikarenakan sirkulasi udara yang tidak baik dalam rumah, mengingat satu rumah bisa dihuni sampai lima orang. Ditambah mereka hidup di lingkungan padat penduduk.

Sayangnya, mereka kembali berhadapan dengan perda diskriminatif soal larangan tinggal bersama tanpa ikatan perkawinan. Padahal, apa yang mereka lakukan semata-mata agar bisa menghemat biaya hidup.

Menjelajahi Peta Perda Diskriminatif Indonesia

Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta (Jakarta Feminist) meluncurkan Peta Peraturan Daerah (Perda) Diskriminatif yang tersebar di seluruh Indonesia. Jika Komnas Perempuan pernah menemukan 421 perda diskriminatif  pada 2018, kini ada 177 perda yang masih eksis sampai sekarang.

Peta yang dibuat oleh Jakarta Feminist memudahkan untuk mendeteksi provinsi mana saja yang masih memiliki banyak perda diskriminatif. Terdapat warna-warna dalam peta yang berfungsi untuk mengkategorikan jumlah perda diskriminatif yang berlaku di wilayahnya.

Warna abu-abu untuk menunjukkan provinsi yang tidak diketahui informasi perda diskriminatifnya. Kemudian ada warna ungu untuk menunjukkan provinsi yang memiliki sekitar 1-9 perda diskriminatif. Sementara warna merah untuk menunjukkan provinsi yang memiliki lebih dari 10 perda diskriminatif.

“Ini dokumen bersama, ini dokumen hidup. Teman-teman boleh memberikan rekomendasi masukan perda yang harus masuk ke dalam peta ini,”ujar Yuri pada Rabu (13/3/2024).

Dalam peta tersebut terlihat bahwa perda diskriminatif banyak ditemui di Provinsi Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bengkulu, Jawa Barat, dan Kalimantan Selatan. Meski begitu, bukan berarti provinsi lainnya tidak memiliki perda serupa. Mengingat bahwa ada keterbatasan Jakarta Feminist dalam mengumpulkan data-datanya.

Baca Juga: Kisah Pemaksaan Jilbab Terjadi di Banyak Tempat, Perempuan Selalu Jadi Korbannya

Perda diskriminatif memuat aturan dan kebijakan yang dapat merugikan seseorang atau kelompok tertentu. Akibatnya, mereka tidak bisa mendapatkan keadilan. Hak-hak mereka dibatasi dan dirampas oleh aturan yang tidak inklusif.

Divisi Program Jakarta Feminist, Yuri Muktia memaparkan tentang rumusan yang masuk dalam data-data Perda diskriminatif. Ada beberapa unsur yang dilihat mulai dari frasa yang digunakan dalam pasal, siapa yang dirugikan, serta bias apa yang ada dalam Perda tersebut.

Salah satu contoh Perda diskriminatif ada pada Peraturan Bupati Bekasi Nomor 95 Tahun 2021 Pasal 1. Di sana tertulis definisi lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) disebut sebagai individu yang mengalami penyimpangan seksual. Tentu saja frasa ini merugikan dan memberi stigma negatif pada kelompok LGBT.

“Pemerintah masih sedikit alergi dengan kata-kata, contoh LGBTIQ. Kita harus cari diksi lain yang mereka nggak langsung ketika melihat judulnya saja (pemerintah) sudah langsung tolak,” ujar Veryanto Sitohang, Komisioner Komnas Perempuan.

Tak heran jika dalam aturan seringkali ditemukan kata-kata bermakna subjektif seperti asusila, mesum, dan lain-lain. Artinya, aturan berlaku sesuai pemaknaan subjektif tersebut dan mengesampingkan perspektif gender atau keberpihakan pada perempuan dan kelompok rentan.

Contoh lainnya pada Peraturan Daerah Kabupaten Banjar Nomor 10 Tahun 2007 Pasal 7 Ayat (2). Dalam ayat tersebut tertulis larangan seseorang menggunakan pakaian yang tidak sesuai atau bertentangan dengan norma agama dan budaya di tempat umum. Tak hanya mendiskriminasi, ayat ini juga merenggut kebebasan berpenampilan seseorang.

Baca Juga: Marak Perda Anti LGBT, Diskriminasi Makin Banyak Terjadi 

Pemaksaan penggunaan atribut keagamaan cukup sering terjadi di Indonesia, terutama di instansi pendidikan. Beberapa sekolah negeri memaksa siswinya untuk mengenakan jilbab. Jika melanggar, maka pihak sekolah tak segan untuk mengintimidasi dan merundung siswi tersebut.

Hal ini tentu menjadi perhatian serius, mengingat bahwa instansi pendidikan menjadi tempat belajar dan menjaga kebhinekaan Indonesia. Dalam Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional juga dijelaskan bahwa pendidikan harus diselenggarakan secara demokratis, berkeadilan, dan tidak diskriminatif.

Mirisnya, kejadian tersebut terus terjadi, seolah tak ada penanganan serius dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Alih-alih memaksa, pihak sekolah justru harus mengajarkan tentang toleransi dan menghargai pilihan masing-masing. Dalam hal ini, pemerintah daerah juga harus membuat peraturan yang lebih inklusif dan tidak diskriminatif.

Sulitnya Advokasi Perda Diskriminatif

Eka C. Tanlain dari Komnas HAM menceritakan betapa sulitnya mengadvokasi perda diskriminatif ini kepada pembuat kebijakan. Menurutnya, perlu ada permainan kata-kata agar pemerintah—dan organisasi/lembaga tertentu—tidak defensif saat diajak mengenal lebih dekat dengan sexual orientation, gender identity and expression, and sex characteristic (SOGIE SC).

“Ketika kita melakukan advokasi ke kementerian, lembaga, itu kita tidak bisa membungkus sembarangan kata-katanya,” ujarnya pada Rabu (13/3/2024).

Hal inilah yang membuat Komnas HAM menjalankan penegakan dan pemajuan hak asasi manusia secara bersamaan. Bahkan juga menjangkau isu-isu lain yang lebih dekat dengan masyarakat.

“Jadi sebenarnya kalau kita mau bicara soal apa saja perda-perda yang diskriminatif, nggak perlu langsung menggunakan kata-kata ODHIV, HIV, perempuan, anak. Tapi mungkin kita bisa eksplor lebih banyak lagi,” ujar Eka.

Data Komnas Perempuan menyebut, di tahun 2022 terdapat 360 kebijakan yang berperspektif gender, namun terdapat 421 Peraturan Daerah (Perda) yang bermasalah dan mendiskriminasi perempuan.

Baca Juga: Riset Jakarta Feminist: Perempuan Paling Banyak Jadi Korban Femisida di Rumah

Aturan busana terkait identitas agama di lingkungan pendidikan telah beberapa kali mencuat di masyarakat, seperti di Bali (2014), Jawa Barat (2016), Banyuwangi (2017), Jakarta (2017), Riau (2018), Manokwari (2019) dan Jogjakarta (2017, 2018, 2019). Kondisi itu rekat dengan berlarutnya persoalan kebijakan diskriminatif atas nama agama, moralitas dan otonomi daerah.

Pada tahun 2009, Komnas Perempuan pertama kali melansir laporan mengenai keberadaan kebijakan diskriminatif ini. Hingga kini terdapat 62 kebijakan daerah yang memuat aturan busana yang mengadopsi interpretasi tunggal dari simbol agama mayoritas.

Ke-62 kebijakan daerah ini terbit antara tahun 2000 hingga 2015 dan tersebar di 15 provinsi, yang terdiri dari 19 peraturan daerah dan 43 peraturan dan kebijakan kepala daerah di tingkat provinsi juga kota/kabupaten. Sekurangnya ada 15 kebijakan serupa yang terdapat di Provinsi Sumatera Barat.

“Dan sebagian besar aturan ini diterapkan kepada Aparatur Sipil Negara atau ASN dan lembaga-lembaga publik di daerah, beberapa di antaranya secara spesifik memerintahkan pelaksanaannya juga mencakup lembaga pendidikan,” kata Imam Nahei seperti pernah di wawancara Konde.co

Pemantauan dan kajian Komnas Perempuan menunjukkan bahwa kelahiran kebijakan daerah yang diskriminatif ini terkait dengan penguatan politik identitas primordial, terutama agama dan etnis, sejak reformasi bergulir di tahun 1998. Juga, bertaut dengan percepatan otonomi daerah tanpa mekanisme pengawasan yang mumpuni, serta demokratisasi yang lebih bersifat prosedural daripada substantif.

Pada kebijakan yang lahir di situasi ini, kelompok minoritas diperintahkan untuk “menyesuaikan diri” yang berarti tunduk pada pengaturan yang mengunggulkan identitas tunggal kelompok “mayoritas”.

Baca Juga: Menderita Di Bawah Aturan Wajib Jilbab: Cerita Pelajar dan Pegawai Negeri Perempuan di Indonesia

Dalam hal ini, minoritas mencakup mereka yang berbeda agama/keyakinan ataupun seagama tetapi berbeda pandang dengan kelompok pengusung kebijakan itu.

Komnas Perempuan sepanjang 2009-2020 mencatat bahwa pihak yang berbeda pandangan mengenai aturan tersebut dapat meresikokan diri untuk mengalami diskriminasi dan pengabaian dalam layanan publik, memperoleh sanksi sosial berupa ejekan dan pengucilan, atau sanksi administratif jika bekerja sebagai pegawai, juga kemungkinan kekerasan dan persekusi.

“Akibatnya, banyak pihak yang berbeda pendapat memilih berdiam diri, tunduk pada aturan tersebut meski tidak sesuai dengan hati nurani. Kondisi ini kemudian dimanfaatkan sebagai tanda “tidak ada yang berkeberatan” untuk menjustifikasi keberadaan kebijakan diskriminatif itu,” kata Imam Nahei yang kala itu diwawancara Konde.co

Akibat konstruksi sosial yang menempatkan perempuan sebagai target kontrol moralitas dan simbol komunitas, maka kebijakan yang diskriminatif ini memiliki dampak kerugian yang tidak proporsional bagi perempuan, sebagaimana jelas tampak dalam pelaksanaan kebijakan yang mengatur tentang busana dengan identitas agama.

Komnas Perempuan sejak tahun 2007 mencermati kelahiran kebijakan daerah yang diskriminatif atas nama otonomi daerah, agama, moralitas dan kehendak mayoritas. Kebijakan serupa ini dapat lahir karena mekanisme pengawasan otonomi daerah belum sempurna. Menggunakan proses demokrasi yang bersifat formalitas, perumusan kebijakan diskriminatif kerap membungkam suara-suara yang berbeda pandang, termasuk melalui berbagai cara intimidasi dan peminggiran. 

Kebijakan ini secara khusus menempatkan perempuan sebagai target kontrol, mengurangi perlindungan dan kepastian hukum, serta menghadirkan secara langsung maupun tak langsung diskriminasi yang berlapis, karena identitasnya sebagai perempuan dan dari kelompok minoritas, juga marginal.

Rustiningsih Dian Puspitasari

Reporter Konde.co.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!