‘Petualangan Sherina’ jadi film pertama yang kutonton di bioskop seumur hidupku. Dengan ingatan masa kecil yang tidak bagus-bagus amat, ada beberapa adegan yang masih lekat di benakku hingga kini.
Mulai dari Planetarium Bosscha, Sherina (Sherina Munaf) menjuluki Sadam (Derby Romero) sebagai “Anak mami”, Sherina yang membawa bekal permen kacang bersalut coklat warna-warni, “Namaku Kertarajasa,” ketegangan petualangan Sherina dan Sadam, momen persahabatan yang menggemaskan, hingga lagu-lagu yang jadi original soundtrack film karya Mira Lesmana dan Riri Riza itu.
Dengan latar tempat utama di Bandung dan Lembang, tempatku lahir dan tumbuh besar, film ‘Petualangan Sherina’ terasa begitu dekat.
23 tahun kemudian, aku menonton ‘Petualangan Sherina 2’, menyaksikan Sherina dan Sadam kecil beranjak dewasa. Tokoh Sherina masih diperankan oleh Sherina Munaf dan Sadam oleh Derby Romero. Bahkan Mathias Muchus dan Uci Nurul masih berperan sebagai ayah dan ibu Sherina.
Dengan menggunakan pemeran utama yang sama, film ‘Petualangan Sherina 2’ semakin terasa sebagai sebuah ajang nostalgia besar. Bagiku dan banyak penonton lainnya yang menyaksikan ‘Petualangan Sherina’ saat masih kecil, rasanya kami tumbuh bersama Sherina, Sadam, dan keluarga mereka.
Romantisme Kehidupan Jurnalis Ibukota dan Manajer Program LSM
Awalnya, aku kaget saat mendapati Sherina dewasa dalam ‘Petualangan Sherina 2’ bekerja sebagai jurnalis televisi. “Duh, Sherina!” celetukku sebagai seorang jurnalis, dalam hati. “Ngapain sih, jadi jurnalis segala di Indonesia?”
Namun, melihat meja kerja di kantor media tempat Sherina bekerja, tampaknya ia bukan reporter biasa. Setidaknya Sherina punya nilai tawar lebih yang membuatnya kerap ditugaskan untuk peliputan penting, seperti World Economic Forum hingga agenda Presiden Joko Widodo. Good for her.
Kendati demikian, dasar nasib—bukannya meliput World Economic Forum, Sherina malah ‘dilempar’ ke hutan rimba Kalimantan. Penugasan di luar negeri dialihkan kepada rekan jurnalis laki-laki yang masih kerabat dengan jajaran direksi. Sherina yang malang. Kan, begitulah dinamika kehidupan jurnalis di ruang redaksi? Terlebih jurnalis perempuan.
Baca Juga: Riset AJI dan PR2Media: Jurnalis Perempuan Terkena Diskriminasi Gender di Tempat Kerja
Adegan ketika Sherina mengeluh ingin resign kepada ibunya membuatku tersenyum getir. Aku juga, Sherina, aku juga pernah berada di posisi itu.
Namanya juga film musikal, kisah-kisahnya disampaikan secara dramatis. Yang jelas, nyaris tidak mungkin aku menjadi seperti Sherina, yang menghadiri peliputan dan masuk kantor media sambil bernyanyi, “Betapa bahagianya!” Tapi barangkali kalau jurnalis boleh sedikit meromantisir kehidupan sehari-hari, kami akan sedikit-banyak seperti Sherina juga.
Ada satu komentar mengenai karakter Sherina dalam film ‘Petualangan Sherina 2’ di media sosial yang menggelitik bagiku. Kira-kira ia berkata, “Persoalan yang disebabkan orang Jakarta tidak bisa diselesaikan dengan cara Jakarta.” Tokoh Sherina memang perempuan pemberani yang berdedikasi tinggi terhadap kebenaran. Tapi ia juga tipe jurnalis ibukota yang merasa tahu segalanya, keras kepala, dan heroik.
Aku pernah mendengar beberapa kisah jurnalis seperti Sherina, yang sok tahu dan malah membahayakan masyarakat lokal saat meliput di daerah yang tidak dikuasainya. Intuisi yang tajam dan keingintahuan tinggi tidak buruk juga, tapi dalam beberapa situasi, hal itu nyatanya tak selalu bijak. Apa lagi saat ia berada di tempat dan situasi yang tidak dikenalnya dengan baik.
Baca Juga: Jumlah Jurnalis Perempuan Hanya 25%, Jurnalistik Dianggap Pekerjaan Laki-Laki
Namun, keberanian—kalau bukan kenekatan—Sherina terbukti ada gunanya. Ketika Sindai (Quinn Salman) panik saat menemukan penculik Sayu dan diabaikan para orang dewasa yang sibuk. Hanya Sherina yang mau mendengarkan dan mengikutinya. Ketika Sadam terlalu fokus berkoordinasi dengan kepolisian, Sherina memilih untuk langsung mengejar para pelaku karena tidak sabar dengan proses birokrasi yang berbelit-belit.
Tapi sepertinya kisah Sadam lebih mengejutkan lagi bagi para penonton ‘Petualangan Sherina’. Sadam Ardiwilaga, yang 23 tahun lalu dikenal sebagai ‘anak mami’, tiba-tiba menjadi manajer program sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) di bidang konservasi orangutan di pedalaman Kalimantan.
Sadam menjelaskan alasannya mengambil keputusan karier itu dalam film ‘Petualangan Sherina 2’. Ia sekaligus membeberkan alasan hubungannya dengan Sherina sempat renggang.
“Ya… Life happens,” ujar Sadam. Persahabatan bertahun-tahun bisa renggang dan rekat kembali, atau tidak sama sekali. Begitulah hidup.
Darurat Perdagangan Orangutan dan Satwa Langka
Selain nostalgia Sherina dan Sadam, film ‘Petualangan Sherina 2’ juga menyoroti persoalan serius yang terjadi di Indonesia. Perburuan dan perdagangan satwa langka, terutama orangutan, menjadi masalah yang terus berulang.
Dalam ‘Petualangan Sherina 2’, sindikat perdagangan satwa berusaha menculik bayi orangutan untuk dijual kepada kolektor satwa kaya-raya, pasangan Syailendra dan Ratih. Sindikat ini bahkan mempunyai ‘orang dalam’ yang bekerja di balai konservasi, yang seharusnya bekerja melindungi satwa-satwa itu.
Ironisnya, kisah perdagangan orangutan bukan sesuatu yang fiktif. Baru beberapa hari yang lalu, dua bayi orangutan diselamatkan dari sindikat perdagangan satwa di Medan, Sumatera Utara. Melansir Kompas pada Sabtu (30/9/2023), bayi-bayi orangutan itu hasil perburuan di Taman Nasional Gunung Leuser. Sedangkan mengutip Antara, kasus tersebut masih dalam penyelidikan Dit Reskrimsus Polda Sumatera Utara. Mereka berupaya menangkap pelaku dan mengungkap jaringan perdagangan satwa lainnya.
Scoring Lagu dari Masa Lalu
Satu hal yang membuatku terpukau saat menonton ‘Petualangan Sherina 2’ adalah lagu-lagu yang ditampilkan. Sebagai sebuah film musikal, lagu-lagu tersebut tentu jadi ‘nyawa’ film ini. ‘Petualangan Sherina’ 23 tahun yang lalu berhasil mempersembahkan original soundtrack yang tak lekang oleh waktu, seperti ‘Jagoan’, ‘Persahabatan’, dan ‘Lihatlah Lebih Dekat’.
Bagaimana dengan sekarang?
Sherina Munaf menunjukkan bakat musiknya dalam scoring lagu-lagu untuk ‘Petualangan Sherina 2’. Ia tak luput memasukkan bait-bait mirroring dari lagu-lagu di film sebelumnya, sekaligus memberikan sentuhan baru dan lirik yang lebih menggambarkan kisah Sherina dan Sadam dewasa.
Salah satunya lagu ‘Mengenang Bintang’, yang ‘berkaca’ dari lagu ‘Bintang-Bintang’ di film ‘Petualangan Sherina’. Tentu saja bait, “Canopus, Capella, Vega…” tidak lupa ditambahkan pada versi terbarunya. Tak heran, penonton dibikin makin susah move on dari film pertama karenanya.
Di sisi lain, memang sebuah keputusan tepat untuk membawa penyanyi Isyana Saraswati sebagai salah satu pemeran di film ‘Petualangan Sherina 2’. Suara Isyana dalam lagu ‘Hadiah Istimewa’—yang dinyanyikan bersama Chandra Satria—begitu khas dan berhasil menggambarkan karakter yang dimainkannya. Centil, angkuh, sekaligus anggun—itulah Ratih Syailendra, ‘Ratu Bogor’ kolektor satwa langka yang berusaha mempertahankan gengsi dan reputasinya dengan memelihara bayi orangutan.
Baca Juga: Pamer Konten Satwa Liar di Medsos Bahayakan Konservasi di Indonesia
Pada beberapa adegan terakhir, penampilan lagu ‘Hari Kita Berdua’ yang ‘mengulang’ lagu ‘Persahabatan’ sukses membuatku berkaca-kaca. Rasanya seperti menyaksikan diri sendiri tumbuh dewasa dan mengunjungi kenangan masa kecil.
Ada rasa hangat, agak menyesakkan, tapi menyenangkan. Seperti apa pun kelanjutan hubungan Sherina dan Sadam dewasa, setidaknya mereka mendapatkan closure yang barangkali dibutuhkan oleh mereka—juga para penonton setia—sejak 23 tahun yang lalu.
Kisah Sherina dan Sadam mungkin too good to be true—namanya juga fiksi. Tapi ada beberapa realita yang dimunculkan film ini. Mulai dari tuntutan kerja jurnalis, praktik nepotisme, hingga darurat perdagangan orangutan dan satwa langka.
Semuanya bersama dengan Sherina dan Sadam, ‘kawan-kawan kecil’ kita—para milenial yang jadi menyadari banyak hal tidak baik-baik saja di dunia kala kita beranjak dewasa.