Caleg Perempuan Minim di Pemilu 2024, Hanya 1 dari 18 Parpol Penuhi Kuota 30% 

Partai politik masih abai terhadap kuota minimal keterwakilan perempuan 30% di pemilihan legislatif pemilu 2024. Dari 18 parpol hanya 1 parpol yang sudah memenuhi syarat. Namun, KPU tetap meloloskan mereka hingga akhirnya kini dilaporkan ke Bawaslu karena melanggar syarat administrasi.

Keterwakilan perempuan di politik masih jauh dari harapan. Kuota minimal 30% keterwakilan perempuan pada UU Pemilu tahun 2027 pasal 245, masih begitu sulit diterapkan oleh partai politik (parpol). 

Hasil Daftar Calon Tetap (DCT) yang dikeluarkan Komisi Pemilu Umum (KPU) beberapa waktu lalu, menunjukkan hal tersebut. Dari 18 parpol yang mendaftarkan ke KPU, hanya 1 yang memenuhi syarat keterwakilan perempuan. Dari semua DCT di 84 dapil, hanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang memenuhi kuota 30% perempuan.

Hadar Gumay, Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (NETGRIT) menyayangkan situasi ini. Partisipasi perempuan dalam politik yang masih minim. Belum menunjukkan kemajuan signifikan. Bahkan, justru mengalami kemunduran.

“Demokrasi kita makin maju? Bicara dengan data dong, ini sungguh memprihatinkan,” ujar Hadar dalam diskusi Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan, Kamis (9/11). 

Dari data yang dianalisis oleh Hadar, sebanyak 17 parpol yang tidak memenuhi syarat 30% keterwakilan perempuan. Dia mengatakan, minimnya partisipasi perempuan ini bisa dikatakan karena ketidakseriusan parpol. 

Di satu sisi, adanya pembiaran dari pembuat kebijakan pemilu terhadap komitmen keterwakilan perempuan. Ini tampak pada pelanggaran administratif KPU. Dikarenakan DCT DPR dari 17 partai yang tidak memuat keterwakilan perempuan minimal 30% itu tetap diloloskan.

“(Parpol) Tidak peduli. Penyelenggaranya sendiri (KPU) tidak peduli. Sesuatu yang menurut mereka nyaman begini,” imbuhnya. 

KPU Langgar Administratif Pemilu

Dia menegaskan, realitas yang ditampilkan data itu tidak sesuai dengan deklarasi pemilu berintegritas yang sudah dilakukan penyelenggara pemilu. Menurutnya,  jelas-jelas KPU membiarkan pelanggaran sistem pencalonan pemilu dan amanat UU. Hadar bersama Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan mendesak KPU mendiskualifikasi parpol di dapil yang tidak memenuhi 30% kandidat perempuan dalam DCT.

Pendesakan juga ditujukan kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk mengawasi dan menangani pelanggaran. Tanpa menunggu adanya laporan dari masyarakat sebagai peserta pemilu. Tuntutan ini menurutnya, sangat logis karena hal serupa pernah terjadi pada Pemilu 2014 dan 2019 yang parpol didiskualifikasi karena tidak memenuhi syarat keterwakilan perempuan minimal 30%.

Pengajar pemilu di Fakultas Hukum (FH) Universitas Indonesia, Titi Anggraini, menganggap pencalonan akan menjadi tidak sah jika tidak dikoreksi—daftar calon adalah inkonstitusional yang bisa berbuntut dalam gugatan perselisihan hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi.

“Implikasi yang selanjutnya adalah ketimpangan perempuan di parlemen dan dampak terhadap kebijakan yang tidak mengakomodasi hak perempuan”, ujar Direktur Eksekutif International Non Governmental Organization Forum on Indonesian Development (INFID), Iwan Misthohizzaman.

KPU Dilaporkan ke Bawaslu 

Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan mendatangi Bawaslu, di Jakarta, pada Senin (13/11). Mereka melaporkan pelanggaran administratif oleh KPU karena meloloskan DCT DPR yang tidak memenuhi kuota minimal 30% perempuan. 

Berdasar data yang dianalisis Pelapor, terdapat 266 DCT dari total 1.512 DCT Anggota DPR Pemilu 2024 yang telah ditetapkan dan diumumkan KPU, tidak memuat ketentuan keterwakilan perempuan paling sedikit 30%. 

Penetapan DPT DPR oleh KPU ini, menurut mereka jelas tidak sesuai dengan amanat pasal 245 UU 7/2017 yang mengatur, daftar bakal calon memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen). 

Ketentuan tersebut dipertegas oleh pengaturan Pasal 8 ayat (1) PKPU 10/2023 menyebut bahwa “Persyaratan pengajuan Bakal Calon wajib memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen) di setiap Dapil”.

“Kebijakan keterwakilan perempuan melalui affirmative action dalam konstruksi hukum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 adalah agenda demokrasi yang harus dijaga dan ditegakkan bersama, khususnya oleh Para Terlapor (KPU) selaku penyelenggara pemilu,” ujar Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan dilansir dari laman resmi Perludem.  

Baca Juga: Kiprah 3 Perempuan Berjuang di Pemilu dan Partai Politik

Hal tersebut sangat bertolak belakang dengan sikap KPU yang dalam waktu singkat langsung menindaklanjuti Putusan MK No.90/PUU-XXI/2023 terkait persyaratan usia dalam pencalonan pilpres dengan melakukan perubahan terhadap Peraturan KPU No.19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. 

“Padahal, putusan MK a quo hanya berdampak pada satu orang saja, sedangkan Putusan MA No.24 P/HUM/2023 berdampak pada terbukanya kesempatan bagi lebih banyak perempuan untuk dapat maju sebagai caleg pada pemilu DPR dan DPRD tahun 2024,” katanya. 

Ada beberapa tuntutan para pelapor ke KPU ini. Di antaranya, Bawaslu agar membuat putusan bahwa KPU terbukti melanggar administratif pemilu, KPU agar memperbaiki DCT legislatif di pemilu 2024 agar memuat minimal 30% keterwakilan perempuan, dan memerintahkan KPU untuk membatalkan atau mencoret DCT yang diajukan parpol. 

“Kami berharap Bawaslu dapat memprioritaskan penanganan laporan tersebut dan membuat keputusan dalam waktu sesegera mungkin demi tegaknya penyelenggaraan pemilu serentak tahun 2024 yang inklusif, demokratis, dan konstitusional,” pungkasnya. 

Baca Juga: Aktivis Protes Keterwakilan Perempuan Dalam Pemilu, KPU Revisi Aturan Pemilu 2024

Para Pelapor terdiri dari berbagai kalangan. Mereka adalah Hadari Nafis (NETGRIT), Wirdyaningsih (Dosen FHUI, Anggota Bawaslu RI 2008-2012), Wahidah Suaib (Pegiat Maju Perempuan Indonesia (MPI), Anggota Bawaslu RI 2008-2012), Mikewati Vera Tangka (Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia/KPI), dan Listyowati (Ketua Kalyanamitra).

Selain itu, ada juga Misthohizzaman (INFID), Kaka Suminta (KIPP), Hurriyah (Puskapol UI), Khoirunnisa Nur Agustyati (Perludem), Aji Pangestu (JPPR), Rotua Valentina (Institut Perempuan) dan Titi Anggraini (Dosen Pemilu FHUI, MPI).

Menanggapi pelaporan itu, Bawaslu mengatakan akan menindaklanjuti laporan dugaan pelanggaran administrasi pemilu yang diajukan Koalisi Masyarakat Sipil. 

Ketua Bawaslu, Rahmat Bagja bilang, pihaknya akan berhati-hati terhadap laporan administrasi terhadap KPU itu. Dia memastikan, Bawaslu bakal menganalisa laporan itu berdasarkan landasan hukum yang berlaku. 

“Kami (Bawaslu) berkomitmen menindaklanjuti laporan tersebut dengan aturan yang ada,” kata Bagja dalam laman resmi Bawaslu, Senin (13/11). 

Dia menyebut butuh waktu dua hari sejak Senin untuk melakukan kajian. Apakah laporan itu bisa masuk ranah ajudikasi atau tidak. Namun hingga saat ini (3 hari kemudian), belum ada perkembangan informasi soal itu. 

Fayza Rasya

Mahasiswa UIN Jakarta yang kini jadi jurnalis magang di Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!