cisgender

UGM Larang Aktivitas LGBT, Aktivis: Institusi Pendidikan Diskriminatif dan Abaikan HAM

Isu pelarangan minoritas gender dan seksualitas di kampus kembali jadi sorotan. Kali ini terjadi akibat surat edaran dari Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, yang melarang adanya aktivitas dan perilaku LGBT di lingkungan fakultas.

Surat edaran pelarangan aktivitas LGBT di UGM itu tersebar dan ditandatangani oleh Dekan Fakultas Teknik UGM, Prof. Ir. Selo, S.T., M.T., M.Sc., Ph.D., IPU, ASEAN Eng. pada tanggal 1 Desember 2023.

Secara umum, surat itu diedarkan dengan alasan “Mencegah penyebarluasan paham, pemikiran, sikap, dan perilaku yang mendukung dan/atau terlibat dalam lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) di lingkungan Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada.”

Pihak Fakultas Teknik UGM dalam surat itu membuat beberapa poin penolakan terhadap LGBT di lingkungan mereka. Salah satunya tertulis, fakultas “Menolak dan melarang aktivitas dan penyebarluasan LGBT bagi seluruh Masyarakat Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada karena tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, dan norma yang berlaku di Indonesia.”

Baca Juga: ‘Salon Rumah Puan’ Bercerita Tentang Hitam Putih Kehidupan Para Transpuan

Selain itu, disebutkan pula bahwa pihak fakultas bisa memberikan sanksi semaksimal mungkin kepada civitas academica jika terbukti, “Memiliki perilaku dan/atau melakukan penyebarluasan paham, pemikiran, sikap, dan perilaku yang mendukung LGBT.”

Organisasi Gaya Nusantara dalam Instagramnya menuliskan bahwa dunia pendidikan tinggi yang seharusnya menjadi ruang yang inklusif dan aman bagi semua orang, masih belum sepenuhnya bebas dari diskriminasi terhadap kelompok minoritas gender dan seksual. Tindakan diskriminatif ini dapat berupa perundungan, pelecehan, pengucilan, hingga penolakan terhadap hak-hak dasar kelompok minoritas.

“Pada kasus ini, kampus yang semestinya menjadi tempat aman dan nyaman malah meniadakannya,” tulis akun Instagram @yayasangayanusantara.

Dosen dan sosiolog, Dede Oetomo menyayangkan sikap pendidikan tinggi sekelas UGM mendasarkan pada “moralitas yang penuh dengan kebencian”

“Sangat memprihantinkan bahwa lembaga pendidikan tinggi, alih-alih mendasarkan pendidikannya pada sains, malah mendasarkan kebijakannya pada moralitas yang penuh kebencian pada orang yang berbeda,” ujar Dede Oetomo, sosiolog Universitas Airlangga seperti tertulis dalam Instagram @yayasangayanusantara.

Aktivis, Alegra Wolter dalam Instagram yang sama mengatakan bahwa insiden yang terjadi di fakultas teknik UGM membuka peluang diskusi tentang pencegahan kekerasan dan hak-hak komunitas minoritas.

Baca Juga: Teror Akademik Membungkam Wacana Gender dan Seksualitas Di Kampus

Echa Waode, Sekretaris Jenderal Arus Pelangi, menyayangkan surat edaran anti-LGBT yang diterbitkan oleh Fakultas Teknik UGM. Ia menilai, pejabat kampus UGM telah melanggar HAM karena membatasi hak seseorang untuk bersekolah, bekerja, dan melanjutkan cita-citanya.

“Bagaimana Indonesia ini, makin banyak orang-orang yang bodoh? Semakin banyak pengangguran, semakin banyak tindak kejahatan,” sesal Echa saat ditemui Konde.co, Minggu (17/12/2023).

“Itu karena negara tidak melindungi, tidak menghormati orientasi seksual seseorang.”

Padahal, hak setiap warga negara atas pendidikan yang layak tercantum dalam pasal 12 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM). Echa menekankan, bicara tentang HAM berarti bicara tentang hak yang dimiliki oleh semua orang, apa pun orientasi seksual dan identitas gendernya.

“HAM itu milik siapa pun. Selama dia manusia, dia bisa memiliki HAM yang utuh, terlepas dari orientasi seksual (atau) identitas gendernya,” Echa berkata. “Dia memiliki HAM yang utuh. Tidak bisa dikurangi, dibagi, ataupun dihilangkan, dan negara harus menjaga itu.”

“Jadi sangat disayangkan sekali jika, misalkan, ada tindakan diskriminatif hanya karena identitas berbeda, orientasi mereka seseorang berbeda, itu mereka mendapatkan diskriminasi. Menurutku tidak adil sekali.”

Baca Juga: Akademisi Anti Terhadap LGBT? Kebencian dan Prasangka di Dunia Pendidikan Jadi Tinggi

Sementara itu, anggota Perkumpulan Suara Kita, Hartoyo, memperingatkan UGM agar lebih waspada. Bisa jadi, ada kelompok intoleran yang menyasar kampus itu dengan isu-isu LGBT.

“UGM perlu waspada jadi sasaran permainan kelompok konservatif atau intoleran dengan isu LGBT untuk kepentingan politik yang lebih besar,” ujar Hartoyo kepada Konde.co, Senin (18/12/2023).

Hartoyo meneruskan, “Kepentingan kelompok konservatif atau intoleran adalah politik negara. Mereka adalah kelompok-kelompok yang juga pendukung para teroris dalam beragam bentuk. Maka jangan kasih ruang sedikit (pun) pada kelompok-kelompok intoleran atau konservatif.”

Surat edaran ini juga akan membuat kondisi kelompok minoritas gender dan seksualitas di Indonesia makin terpojok dan terdiskriminasi. Belum beres menghadapi sentimen “lima tahunan” anti-LGBT menjelang Pemilu, kini persoalan datang dari lingkungan pendidikan yang mestinya menjunjung dan menjamin pemenuhan hak-hak warga negara.

Bukan Satu-satunya Kampus yang Melarang

UGM melalui Fakultas Teknik bukan satu-satunya institusi pendidikan tinggi di Indonesia yang terang-terangan bersikap anti-LGBT. Sebelumnya, pada September 2022, Rektor Institut Teknologi Sumatera (Itera) Prof. Dr. I Nyoman Pugeg Aryantha juga pernah merilis surat edaran serupa.

Surat edaran itu berisi beberapa poin, salah satunya larangan ‘berperilaku LGBT+’ di dalam lingkungan kampus Itera’. Ada banyak perguruan tinggi lainnya pula yang menolak keberagaman gender dan seksualitas di lingkungan mereka.

Penolakan dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas gender dan seksualitas memang kerap terjadi. Termasuk di lingkungan institusi pendidikan yang terjadi saat ini. Seakan-akan, tidak ada jaminan perlindungan HAM bagi semua warga negara tanpa kecuali di dalam undang-undang.

Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA Indonesia) juga menyatakan sikapnya merespons edaran anti-LGBT Fakultas Teknik UGM. Pada Minggu (17/12/2023), melalui akun media sosial, AILA Indonesia menyerukan dukungan apresiasinya atas keluarnya surat edaran Dekan Fakultas Teknik UGM itu.

“Hal tersebut telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” tulis AILA Indonesia dalam rilisnya.

Baca Juga: Riset: Jelang Tahun Politik, Pemberitaan Media Online Diskriminatif Terhadap LGBT

Mereka menyebut pasal 2 dan pasal 597 UU KUHP tentang jaminan dan perlindungan terhadap norma agama dan kesusilaan dalam masyarakat, yang berpotensi dicederai oleh tindakan asusila. Selain itu, mereka juga menyesalkan kritik dari ‘para penggiat LGBT’ dan berdalih bahwa langkah yang diambil FT UGM justru diperlukan untuk “Menjaga keamanan dan kenyamanan kaum perempuan dari pelanggaran privasi dan kemungkinan tindak pidana kejahatan seksual di fasilitas kampus.”

AILA Indonesia mengimbau masyarakat untuk turut mendukung sikap FT UGM.

Hartoyo kemudian memandang dari kacamata yang lebih luas. Ia melihat bahwa tidak menutup kemungkinan, isu LGBT ini dijadikan sebagai politik identitas yang ‘dimainkan’ lagi menjelang Pemilu 2024.

“Ini menjelang Pemilu dimainkan lagi isunya. Siapa pihak yang memainkan dan siapa yang diuntungkan dari politisasi identitas ini?,” katanya.

Lebih lanjut, ia mengatakan, “Isu LGBT hanya jadi alat buat mereka. Selain isu LGBT, biasanya mereka akan menggunakan isu-isu moral, seperti LGBT, feminisme, seksualitas, maupun komunisme.”

Echa juga sepakat mengenai politik identitas yang ‘muncul’ setiap masa Pemilu. “Politik identitas itu selalu muncul di lima tahun sekali,” lanjutnya.

Peluang Diskusi Pencegahan Kekerasan dan Hak Minoritas

Meski situasinya tidak menguntungkan bagi minoritas gender dan seksualitas, setidaknya ada perspektif lain dari persoalan ini. Misalnya, hal yang terjadi di FT UGM bisa pula dilihat membuka ‘pintu’ menuju peluang diskusi tentang pencegahan kekerasan dan hak-hak komunitas minoritas.

Baik Echa maupun Hartoyo sama-sama sepakat untuk mendorong minoritas gender dan seksualitas untuk tidak tunduk pada rasa takut. Pasalnya, HAM adalah milik semua.

“Musuh mereka yang sebenarnya bukan LGBT, tapi musuh mereka politik bangsa ini. Mereka menginginkan negara ini menjadi negara berbasis agama versi mereka,” jelas Hartoyo. “Maka mereka akan terus agresif memperjuangkan kepentingan mereka.”

Echa pun mendorong kawan-kawan minoritas gender dan seksualitas untuk melawan diskriminasi dan persekusi terhadap identitas diri mereka.

“Mari bangkit, lawan dan terus bergerak, karena kita juga bagian dari warga negara Indonesia. Kita punya hak yang sama, keadilan yang setara. Juga selama kita tidak melakukan tindakan yang negatif, mari sama-sama kita maju, bergerak, dan bebas berekspresi,” tutupnya.

Salsabila Putri Pertiwi

Redaktur Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!