Ilustrasi kontes kecantikan

Celebrating or Empowered? Melihat Seksisme Tubuh Perempuan dalam Kontes Kecantikan

Meski sering diklaim sebagai ajang 'empowerment', kontes kecantikan justru kerap lekat dengan seksisme terhadap tubuh perempuan. Apakah kontes kecantikan memang jadi ajang selebrasi perempuan, atau hanya mempromosikan standar kecantikan yang tidak realistis?

Salah satu stereotip yang biasa muncul untuk mengidentifikasi kata cantik adalah whiteness

Perempuan dianggap cantik apabila memiliki wajah yang putih, mulus dan kencang. Selain itu perempuan juga akan dinilai cantik bila memiliki lekuk tubuh dan garis bibir sensual yang dianggap sempurna dengan standar kecantikan yang ada. 

Secara singkat, konsep ini cukup menggambarkan standar kecantikan dan penilaian cantik dalam konstruksi sosial. Termasuk dalam media hiburan. Salah satunya kontes kecantikan.

Kita cukup mengenal kontes kecantikan biasa menampilkan sosok perempuan yang dirancang “ideal” dengan penilaian Brain, beauty and behavior.

Lalu apakah kontes kecantikan yang selama ini ada menjadi ajang untuk celebrating bagi perempuan? Atau hanya mempromosikan standar kecantikan yang tidak realistis?

Feminis cukup vokal untuk mengkritik kontes yang sukses memperkuat standar patriarki bagi perempuan dan dinilai mengobjektifikasi perempuan. Peserta diminta untuk berjejer lalu dinilai berdasarkan penampilan fisik mereka. 

Ada juga peserta yang diseksualisasi sebagai bentuk hiburan dan kontes-kontes yang mempromosikan standar kecantikan yang tidak realistis. Perempuan harus berusia di antara 18 dan 25 tahun, memiliki tinggi dan berat badan tertentu. Kontes yang mengukur dan membandingkan tubuh perempuan seperti swimsuit competition yang diadakan Miss Universe yang bermasalah ini akan menunjukkan hal yang jelas untuk mengatakan bahwa kontes ini dirancang untuk melayani pandangan laki-laki.

Baca Juga: Perlawanan Seksisme Dalam Serial ‘Merajut Dendam’ 

Sistem sosial patriarki yang berkembang dalam masyarakat umumnya selalu menempatkan perempuan sebagai subjek dari berbagai aktivitas yang dilakukan pria dan teori ini sudah dikenalkan oleh Laura Mulvey melalui artikelnya “Visual Pleasure and Narrative Cinema” (1975) yaitu “Male Gaze”. Perempuan sebagai pihak pasif menjadi objek seksual laki-laki heteroseksual yang melihatnya dan laki-laki mendapatkan kepuasannya tersendiri.

Namun, kita tidak bisa menepis fakta bahwa kontes kecantikan mampu menyediakan sarana berskala besar bagi perempuan untuk bisa mengekspresikan diri mereka, menerima pengakuan dan memamerkan bakat mereka serta mengembangkan diri secara profesional, meningkatkan harga diri dan kepercayaan diri mereka. Lalu, karena jangkauan kontes ini, kontes kecantikan juga dapat menjadi sarana yang bagus untuk menyuarakan isu-isu, hak Perempuan dan kesetaraan gender.

Pada akhirnya kita bisa menyimpulkan bahwa kontes kecantikan bisa luas persepsinya seperti dapat memberdayakan sekaligus merendahkan Perempuan. Kontes kecantikan tidak memiliki tujuan lain selain untuk memperkuat gagasan yang usang tentang kecantikan Perempuan dan mengajarkan orang bahwa ideal atau tidaknya diri seorang Perempuan diatur oleh para panelis.

Para kontestan perempuan yang menjadi sasaran standar yang tidak profesional dan tidak masuk akal tentang sesuatu yang dianggap cantik dan ideal. Lalu diterima oleh masyarakat rentan dan menerima model ini sebagai contoh seperti apa gambaran ideal. Ini membuat kita tidak termotivasi dan tidak puas dengan diri kita yang sebenarnya.

Jadi, mari kita menerima kontes kecantikan ini untuk mendorong perempuan tumbuh positif terhadap tubuh. Juga menerima penampilan mereka tanpa takut dihakimi. Kita ciptakan lingkungan yang nyaman di mana perempuan tidak mencari validasi diri dari mereka sendiri. Tunjukkan kepada dunia bahwa posisi Perempuan dalam masyarakat itu serba bisa, penting, berharga dan tak tergantikan.

Yessania Anindhita

Mahasiswi Universitas Negeri Semarang yang menempuh Pendidikan di Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia S1
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!