Lelucon seksis harus dihentikan

Kita Memang Butuh Lelucon, tapi Bukan Lelucon Seksis!

Kita memang membutuhkan lelucon atau humor untuk tertawa atau menjaga kewarasan. Tapi sayangnya, tidak semuanya berkualitas. Banyak sekali lelucon sampah.

Contoh lelucon sampah itu adalah yang seksis, bias, diskriminatif, bahkan melecehkan perempuan dan kelompok rentan/kelompok marginal. 

Lelucon ‘sampah’ ini tidak hanya dilontarkan secara langsung (luring) oleh orang-orang yang kekurangan bahan dan minim kreativitas, tetapi juga tersebar luas di media sosial dalam ragam format.

Seni melucu atau humor, dalam berbagai bentuknya, menjadi sarana ekspresi kreatif dan cara untuk menyampaikan pesan dengan cara yang menyenangkan. Namun, seperti halnya seni lainnya, penggunaan humor juga dapat membawa dampak yang signifikan tergantung pada konteks dan cara penyajiannya.

Lelucon dalam format apapun membutuhkan kecerdasan, etika, dan kesadaran kritis. Tanpa batasan-batasan tersebut, humor bisa menjadi senjata yang merugikan dan melukai, bukan malah menjadi alat untuk menyemai persatuan, membangun kesetaraan, dan merayakan keberagaman. 

Baca Juga: Diberhentikan Dari Admin Grup WhatsApp Karena Protes Humor Seksis

Lalu bagaimana yang dimaksud lelucon etis itu? Salah satu kunci dari ‘candaan’ yang etis adalah kepekaan terhadap konteks sosial, kemanusiaan, dan keberagaman. Naasnya, banyak pelaku humor yang tidak bijak dalam memahami batas antara melucu dan merendahkan atau menghina orang lain.

Lelucon yang materinya dibuat dan disampaikan dengan tidak berlandaskan nurani dan akal sehat justru hanya menjadi lelucon sampah alias tidak berguna. ‘Candaan’ sampah biasanya merendahkan atau mengobjektifikasi perempuan atau kelompok rentan lainnya. 

Segala yang berfokus pada penampilan fisik, pakaian, atau perilaku seksual tidak layak disebut sebagai lelucon, tetapi merupakan bentuk kekerasan verbal. Lelucon yang tidak etis dan sensitif adalah bentuk kedangkalan kreativitas yang secara langsung maupun tidak langsung melanggengkan praktik kekerasan kepada perempuan dan berbagai kelompok minoritas.

Baca Juga: 4 Tips Buatmu Hindari Stiker Dan Humor Seksis

Lelucon memiliki kekuatan untuk membentuk opini, memperkuat norma sosial, dan membentuk budaya masyarakat. Ia yang merendahkan perempuan atau kelompok rentan menciptakan iklim yang tidak ramah dan menghambat perjuangan menuju kesetaraan. 

Selain itu, lelucon yang diskriminatif terhadap kelompok rentan atau marginal juga menghadirkan ancaman serius terhadap visi masyarakat yang inklusif. Kelompok-kelompok seperti minoritas etnis, LGBTQ+, dan penyandang disabilitas seringkali menjadi sasaran lelucon dari pelawak ‘gagal’. Hal ini tidak hanya menciptakan ketidaknyamanan psikologis bagi individu yang menjadi sasaran, tetapi juga menormalisasi sikap dan perilaku yang tidak menghormati hak asasi manusia.

Para pelaku humor harus memahami bahwa kebebasan berekspresi tidak berarti kebebasan untuk merendahkan, menyakiti, atau menghina orang lain lewat materi lelucon. Tak perlu memaksakan diri untuk terlihat ‘keren’ saat melucu jika bahan itu malah hanya merugikan orang lain. Melucu ada batas wajarnya. Batas wajar dalam melucu bukanlah bentuk pembatasan kreativitas. Jika kekurangan bahan lelucon, maka berdiam diri dan memperbanyak riset isu-isu penting adalah solusi yang bagus untuk meningkatkan kualitas humor.

Baca Juga: Serial ‘Anne With An E’, Perjuangkan Kesetaraan Gender dan Lawan Rasisme

Meningkatkan kualitas humor merupakan langkah penting dalam menciptakan lingkungan hiburan yang lebih positif dan mendidik. 

Dalam era dimana konten-konten humor dapat dengan cepat menyebar melalui berbagai platform media sosial, penting bagi kita untuk memastikan bahwa lelucon yang kita hasilkan tidak hanya menghibur tetapi juga mempromosikan nilai-nilai yang positif. 

Berikut adalah beberapa cara untuk meningkatkan kualitas humor dan mendorong kreativitas dalam pembuatan lelucon tanpa harus mereproduksi materi sampah yang tidak mendidik.

1.Penting untuk memahami audiens dan mempertimbangkan sensitivitas serta norma-norma yang berlaku di dalam kelompok tersebut. Hindari materi yang mungkin menyinggung atau merendahkan kelompok tertentu. Pastikan bahwa humornya bersifat inklusif, membangun, dan dapat diterima oleh berbagai kalangan.

2.Lelucon yang didasarkan pada pengalaman bersama memiliki daya tarik khusus karena mereka dapat menghadirkan rasa keterhubungan di antara audiens. Carilah momen-momen atau kejadian-kejadian yang dapat diidentifikasi bersama untuk membuatnya lebih relevan dan dapat memberikan pengalaman humor yang lebih berdampak.

3.Kembangkan kreativitas dalam menggunakan permainan kata dapat membuatnya lebih cerdas dan mendalam. Mencoba berbagai gaya bahasa, seperti metafora, simile, atau parodi, dapat memberikan dimensi tambahan pada lelucon dan meningkatkan kualitas humor.

Baca Juga: Posting di Medsos? Kamu Mesti Bedakan Antara Humor, Konteks, dan Sensitivitas 

4.Ajak audiens untuk berpikir lebih dalam atau melihat suatu situasi dari sudut pandang yang berbeda sehingga lelucon lebih bermakna dan mendidik.

Selain cara-cara di atas, masyarakat juga berhak kritis dan menolak setiap bahan lelucon yang tidak mempromosikan keadilan gender dan keberagaman. Menolak untuk memberi panggung bagi ‘produsen’ dan ‘distributor’ lelucon yang tidak bermutu bukanlah sebuah dosa, melainkan sebuah upaya memutus mata rantai pendangkalan budaya humor. 

Setiap pelaku humor wajib menyadari bahwa mendengarkan dan belajar dari reaksi orang adalah kunci untuk menghindari kesalahan yang tidak disengaja. Jika konten humor dianggap merugikan atau tidak pantas, penting untuk bersedia belajar dan tumbuh dari pengalaman tersebut. Keterbukaan untuk menerima umpan balik dapat membantu meningkatkan kualitas lelucon dan menciptakan lingkungan yang lebih ramah dan inklusif.

Baca Juga: Kekerasan Seksual di Kantor Agensi Muncul Karena Normalisasi Humor Seksis

Melucu bukanlah sekadar aktivitas membuka mulut dan mengucapkan kata-kata atau diksi yang dapat memicu tawa. Lebih dari itu, melucu adalah seni yang membangun koneksi kompleks antara otak, nurani, dan jemari. Saat menciptakan lelucon, otak harus bekerja secara kreatif dan inovatif, menemukan cara-cara baru untuk menghadirkan kegembiraan. Selain itu, nurani memainkan peran penting dalam menentukan batas-batas etika humor dan memastikan bahwa lelucon tidak merendahkan atau melukai perasaan orang lain.

Jadi, mari melucu dengan kesadaran penuh akan kekuatan humor dan pengaruhnya. Dengan membangun koneksi antara pikiran kreatif, nurani yang terbuka, dan jemari yang bijak, kita dapat menciptakan budaya humor yang tidak hanya menghibur, tetapi juga membangun kedekatan, pengertian, dan apresiasi terhadap keberagaman pun kesetaraan dalam masyarakat.

Maria Goreti Ana Kaka

Karyawan swasta asal Nusa Tenggara Timur yang saat ini berdomisili di Jakarta. Sejak SD, Maria tertarik dengan isu perempuan dan anak, terutama semenjak bergabung dalam Forum Anak. Selain itu, Maria Goreti juga tertarik untuk mengulas isu-isu seputar bahasa Indonesia. Maria banyak menulis artikel di berbagai platform dengan topik seputar perempuan dan anak.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!