Kamus Feminis: Apa Itu Patriarki? Kamu Harus Pelajari Makna Sebenarnya 

Apa itu patriarki? Dalam konsep patriarki, aspek kehidupan perempuan sangat dikontrol. Pelajari apa makna kata patriarki dalam kamus feminis disini.

Konde.co menyajikan kamus feminis setiap sebulan sekali. Kamus feminis berisi kata-kata atau artian feminis agar lebih mudah dipahami

Kamla Bhasin, adalah aktivis perempuan India yang menulis dalam bukunya yang berjudul What Is Patriarchy?

Ia menjelaskan secara harfiah kata patriarki berarti aturan ayah atau patriark. Pada awalnya, kata ini digunakan untuk mendeskripsikan jenis khusus keluarga yang didominasi laki-laki. Yaitu rumah tangga besar patriark yang meliputi perempuan, laki-laki junior, anak-anak, budak dan pekerja rumah tangga. Mereka semua berada di bawah kekuasaan laki-laki dominan tersebut.

Kini kata patriarki digunakan secara lebih umum untuk merujuk pada dominasi laki-laki, pada hubungan kekuasaan dimana laki-laki mendominasi perempuan. Ia sekaligus dipakai untuk mencirikan sebuah sistem dimana perempuan masih tersubordinasi dalam sejumlah cara.

Menurut Kamla Bhasin, subordinasi yang kita alami dalam keseharian bisa mewujud dalam beragam bentuk terlepas dari kelas yang kita miliki. Misalnya berupa pengabaian, diskriminasi, eksploitasi, penindasan, kontrol dan kekerasan. Ini semua bisa terjadi di dalam keluarga, di tempat kerja dan di masyarakat. Detailnya mungkin berbeda di masing-masing tempat tapi temanya sama.

Siapa pun yang pernah mengalami entah itu diskriminasi, stereotipe, atau penolakan bahkan yang tak kentara sekalipun, bisa merasakan dan mengetahuinya. Meskipun, mungkin tidak dapat menamai hal yang dialaminya tersebut.

Baca Juga: Kecenderungan ‘Men vs Women’ Dalam Kesetaraan Gender Apakah Bisa Disudahi?

Kita mungkin pernah mendengar cerita atau melihat pengalaman para perempuan di sekitar kita yang mengalami berbagai bentuk kontrol patriarki. Seperti perempuan yang mengeluhkan larangan pulang malam sedang hal yang sama tidak berlaku bagi laki-laki. Anak perempuan yang harus berhenti sekolah karena biayanya diprioritaskan untuk anak laki-laki. Perempuan yang kerepotan mengurus anak-anak yang banyak tapi dilarang pakai kontrasepsi oleh suaminya. Perempuan yang bekerja di ranah publik tapi masih harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga saat pulang kerja. Perempuan yang tidak mendapatkan waris atau hanya mendapat bagian yang kecil dibanding saudaranya laki-laki, dll.

Situasi tersebut bukan semata-mata karena nasib segelintir perempuan yang malang. Bukan pula lantaran sejumlah laki-laki “kejam” yang mengeksploitasi atau menindas perempuan. Melainkan, hal ini terkait dengan sistem dominasi dan superioritas laki-laki yang menempatkan perempuan sebagai subordinat.

Hal lain yang perlu digarisbawahi adalah patriarki bukan sekadar istilah. Para feminis menggunakannya seperti sebuah konsep. Dan seperti konsep pada umumnya, ia adalah alat untuk membantu kita memahami realitas.

Konsep Patriarki dalam Gerakan Perempuan

Konsep patriarki digunakan dalam gerakan perempuan untuk menganalisis prinsip-prinsip yang mendasari penindasan perempuan. Konsep patriarki yang dikembangkan dalam tulisan para feminis dari berbagai aliran bukanlah konsep tunggal atau sederhana, melainkan punya makna yang beragam.

Sylvia Walby dalam Theorizing Patriarchy mendefinisikan patriarki sebagai sistem struktur dan praktik sosial dimana laki-laki mendominasi, menindas dan mengeksploitasi perempuan. 

Penggunaan istilah struktur sosial ini jadi penting. Lantaran, istilah ini secara jelas mengimplikasikan penolakan terhadap determinisme biologis. Selain itu, juga penolakan terhadap gagasan bahwa setiap individu laki-laki berada pada posisi dominan dan setiap perempuan ada di posisi subordinat.

Determinisme biologis adalah istilah umum untuk teori-teori yang meyakini bahwa akar dari perilaku dan kepribadian sosial manusia terletak pada biologi individu dan kelompok (ras atau etnis) dan menentukan aspek fundamental kehidupan sosial. Gagasan ini dipakai untuk membenarkan diskriminasi gender, rasial dan seksual serta bias lainnya terhadap sejumlah kelompok masyarakat.

Baca Juga: Sudah 39 Tahun CEDAW, Perempuan Masih Berjuang Stop Diskriminasi dan Ketidakadilan

Praktik patriarki pada dasarnya tidak berlaku sama di segala tempat dan era. Setiap sistem sosial atau periode sejarah memunculkan variasinya sendiri. Prinsip-prinsipnya secara umum tetap sama, yaitu laki-laki memegang kendali, tapi sifat dari kendali ini mungkin berbeda. Misalnya pengalaman atas patriarki di zaman nenek kita dengan era kita sekarang tentu berbeda. Begitu juga pengalaman perempuan Papua dengan perempuan Jawa, atau perempuan Indonesia dengan perempuan Eropa.

Karena itu penting bagi kita untuk mengenali perbedaan-perbedaan tersebut sehingga kita dapat menganalisis situasi kita dengan lebih baik. Dengan begitu, kita dapat menentukan strategi yang tepat untuk menghadapi atau melawan patriarki.

Dalam sistem patriarki, aspek kehidupan perempuan yang dikontrol biasanya mencakup aspek produktif, reproduktif, seksualitas, mobilitas, dan kepemilikan atau sumber daya ekonomi. Kontrol patriarki atas perempuan didukung oleh berbagai institusi dan lembaga yang ada di masyarakat. Seperti institusi keluarga, agama, hukum, ekonomi, politik, media, dan pendidikan dan sistem pengetahuan.

Institusi keluarga sebagai unit terkecil masyarakat dapat disebut sebagai lembaga yang paling patriarkal. Seorang laki-laki dianggap sebagai kepala rumah tangga. Dalam keluarga ia punya pengaruh yang besar untuk menentukan keputusan terkait peran produksi, reproduksi, sosial dan mobilitas perempuan.

Keluarga menjadi tempat pertama bagi sosialisasi nilai-nilai patriarki

Di dalam keluarga kita mendapat pelajaran pertama tentang hierarki, subordinasi, dan diskriminasi. Meskipun tingkat dan sifat dari kontrol laki-laki mungkin berbeda di masing-masing keluarga, tapi ia tidak pernah absen.

Mengacu pada Kamla sebagian besar agama modern bersifat patriarkal. Ia mendefinisikan otoritas laki-laki sebagai yang tertinggi. Agama juga punya pengaruh yang kuat dalam kehidupan masyarakat. Seperti Indonesia misalnya, yang notabene adalah negara sekuler tapi berbagai aspek kehidupan masyarakatnya dipengaruhi nilai-nilai agama.  

Begitu juga dengan sistem hukum yang di sebagian besar negara bersifat patriarkal dan borjuis. Artinya menguntungkan laki-laki dan kelas ekonomi yang kuat. Hukum yang berkaitan dengan keluarga, perkawinan dan warisan sangat terkait erat dengan kontrol patriarki atas properti.

Dalam sistem ekonomi patriarkal, laki-laki mengendalikan lembaga ekonomi, memiliki sebagian besar properti, mengarahkan aktivitas ekonomi, dan menentukan nilai berbagai aktivitas produktif. Sebagian besar pekerjaan produktif yang dilakukan perempuan tidak diakui atau dibayar. Selain itu, peran perempuan sebagai produsen dan pemelihara anak-anak dan tenaga kerja sama sekali tidak dianggap sebagai kontribusi ekonomi.

Baca Juga: Multitasking Perempuan Itu Cuma Mitos Karena Langgengkan Beban Ganda Perempuan

Dalam institusi politik dominasi laki-laki juga masih sangat kental, mulai dari tingkat desa hingga ke level negara. Meskipun undang-undang sudah mengatur soal kuota 30 persen perempuan, tapi jumlah perempuan di DPR, parpol, dan lembaga negara belum signifikan. Ketika sejumlah perempuan mendapat posisi politik yang penting, setidaknya pada awalnya karena hubungan mereka dengan tokoh politik laki-laki yang kuat.

Media juga menjadi sarana untuk memproduksi dan mereproduksi nilai-nilai patriarki. Penggambaran perempuan yang bersifat stereotipe dan terdistorsi terus diulang. Begitu juga dengan pesan-pesan terkait superioritas laki-laki dan inferioritas perempuan. Seperti sektor lainnya perempuan sangat kurang terwakili di media, baik di jajaran redaksi maupun sebagai narasumber.

Institusi pendidikan formal juga turut melanggengkan ideologi patriarkal. Sejak pembelajaran dan pendidikan menjadi formal dan dilembagakan, laki-laki memegang kendali atas seluruh bidang pengetahuan, filsafat, teologi, hukum, sains, seni, dll. Hegemoni laki-laki atas penciptaan pengetahuan ini meminggirkan pengetahuan dan pengalaman perempuan, keahlian dan aspirasi mereka.

Kontrol laki-laki atas berbagai institusi tersebut menguntungkan mereka dalam hal hak istimewa atau privilese maupun secara ekonomi dan material. Meski secara umum laki-laki memegang kekuasaan di semua lembaga penting masyarakat, namun bukan berarti perempuan sama sekali tidak berdaya atau tanpa hak.

Baca Juga: Tak Semua Perempuan Punya Privilese: Yuk, Hargai dan Empati

Seperti dikatakan Kamla tidak ada sistem yang tidak setara yang dapat berlanjut tanpa partisipasi kaum tertindas, beberapa diantaranya juga memperoleh keuntungan darinya. Hal yang sama juga berlaku pada sistem patriarki. Perempuan bisa naik ke tampuk kekuasaan dengan menjadi presiden misalnya. Tapi ini tidak mengubah fakta bahwa sistem tersebut didominasi laki-laki dan perempuan hanya diakomodasi di dalamnya dengan berbagai cara.

Hal yang sama bisa kita lihat dalam konteks masyarakat kapitalis. Pekerja atau buruh punya peran yang sangat penting. Mereka bahkan dapat berpartisipasi dalam manajemen sampai batas tertentu. Tapi ini tidak berarti bahwa mereka memegang kendali.

Jadi masalahnya bukan pada apa yang perempuan lakukan, tapi bagaimana mereka dinilai dan siapa yang berhak memberikan nilai tersebut. Bukan berarti perempuan benar-benar dikecualikan dari kekuasaan atau prestise dalam patriarki. Masalahnya ada pada kerangka itu sendiri, dan kerangka itu ditentukan oleh laki-laki.

Apakah semua laki-laki mendapat keuntungan sebagai laki-laki dari patriarki?

Laki-laki mendapat keuntungan tapi bisa juga tidak. Ia mendapat keuntungan karena Laki-laki, entah dia menginginkannya atau tidak, menikmati keistimewaan tertentu sebagai laki-laki. Kita bisa melihat misalnya laki-laki buruh yang tidak berdaya berhadapan dengan laki-laki pemilik pabrik, memiliki kekuasaan atas istri atau pasangan mereka. 

Secara umum di masyarakat kita laki-laki menikmati mobilitas yang lebih besar, juga akses atas sumber daya dan layanan publik. Seperti dibahas sebelumnya, karena berbagai institusi masyarakat memberi hak istimewa pada mereka sebagai laki-laki, maka laki-laki mendapat lebih banyak hak di hampir semua bidang. 

Di sisi lain laki-laki juga dirugikan oleh patriark. Seperti perempuan, mereka dipaksa mengikuti stereotipe dan mengambil peran tertentu. Mereka juga, diharapkan berperilaku dengan cara tertentu, entah mereka menginginkannya atau tidak. Laki-laki juga diwajibkan untuk memenuhi kewajiban sosial yang mengharuskan mereka untuk berfungsi dengan cara tertentu.

Baca Juga: Aliansi Laki-Laki Baru, Pentingnya Keterlibatan Laki-Laki Melawan Patriarki

Dalam keseharian kita mungkin pernah mendengar ejekan “banci” misalnya yang ditujukan pada laki-laki yang tampak lembut dan tidak agresif. Atau laki-laki yang memperlakukan istrinya dengan hormat dan setara dijuluki dengan label “ikatan suami takut istri”. 

Laki-laki juga tidak punya pilihan untuk keluar dari arus utama, melepaskan diri dari peran sebagai pemberi dan pelindung. Tetapi, dehumanisasi ini sama sekali tidak bisa dibandingkan atau disamakan dengan subordinasi yang dialami perempuan. Ada dua alasan utama, pertama laki-laki tidak pernah mengalaminya sebagaimana perempuan. Kedua mereka tidak didiskriminasi atau dilumpuhkan secara substansial karenanya.

Referensi

Bhasin, Kamla. What Is Patriarchy? Kali for Women, 1993.

Walby, Sylvia. Theorizing Patriarchy. Basil Blackwell, 1990. 

Anita Dhewy

Redaktur Khusus Konde.co dan lulusan Pascasarjana Kajian Gender Universitas Indonesia (UI). Sebelumnya pernah menjadi pemimpin redaksi Jurnal Perempuan, menjadi jurnalis radio di Kantor Berita Radio (KBR) dan Pas FM, dan menjadi peneliti lepas untuk isu-isu perempuan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!