Julukan 'The Nuruls' misoginis dan klasis

Nama Saya Nurul, Penggunaan Nama The Nuruls pada Semua Nurul Itu Misoginis

Setelah Konde.co menurunkan liputan soal The Nuruls, sebagai jurnalis yang bernama Nurul, saya tergelitik untuk ngobrol bersama kelompok minoritas soal labeling nama Nurul. Mereka rata-rata satu suara dan menyatakan, jika di balik tren The Nuruls, ada stigma misoginis-klasis yang harus dihentikan.

Sebagai perempuan bernama Nurul, saya merasa terpanggil mengulik soal ‘The Nuruls’.  

Saya kemudian menemui para queer yang berasal dari berbagai latar belakang dan domisili, yaitu di Surabaya, Jakarta, Medan soal tren The Nuruls, juga bersama aktivis HAM dan keberagaman. Ini karena banyak yang menyebut, awal mula istilah ‘The Nuruls’ ini muncul dari kalangan queer, yang jengah dengan kalangan yang homofobik-hipokrit, penampilannya identik dengan perempuan berjilbab.

Rata-rata mereka menyatakan bahwa tindakan homofobik-hipokrit itu memang ‘menyebalkan’. Tapi, melabeli tindakan semacam itu sebagai ‘The Nuruls’ itu juga tak dibenarkan. Mereka mengajak untuk stop memberi label-label, stereotip, pembatasan, bahkan kebencian pada semua nama Nurul, karena tak semua Nurul adalah ‘The Nuruls’. 

Penggunaan The Nuruls juga dianggap misoginis, dikarenakan merujuk pada nama perempuan yang dilabeli dengan hal-hal negatif seperti norak, rese, sampai hipokrit. Penggunaan kata Nurul ini, jadi semacam perpanjangan stereotip bahwa orang yang punya agama Islam itu tidak mungkin menjadi orang yang progresif, kasian dengan para Nurul-Nurul yang progresif. 

Menormalisasi penggunaan The Nuruls termasuk hanya akan melanggengkan misoginisme dan klasisme yang memecah belah. Apapun itu tujuannya, bahkan jika itu karena iseng atau candaan. 

Tren The Nuruls, yang asal comot nama perempuan kemudian juga melakukan peyorasi (menjadikan buruk), itu merendahkan martabat dan hak asasi perempuan. 

Trend The Nuruls dan Pembahasannya yang Ramai di Medsos

Sebelumnya, tren The Nuruls memang sudah cukup ramai dibahas, meski mayoritas sebatas lalu lalang dan masih cukup simpang siur.

Ada banyak versi yang menyebut soal The Nuruls ini. Juga ada banyak versi soal siapa yang pertama kali mempopulerkan atau mengunggahnya di sosial media. 

Rustiningsih Dian Puspitasari sebelumnya menuliskan di Konde.co tentang  Tren The Nuruls: Distigma Cewek Norak Kabupaten, Sebutan yang Misoginis dan Klasis!

dari fenomena yang viral di Tiktok belakangan ini. 

Dalam penelusurannya, Rusti lebih menyoroti soal sebutan The Nuruls yang merujuk pada perempuan kabupaten yang dilabeli sebagai perempuan  muda yang norak. Mereka diidentikkan dengan para perempuan yang suka pakai baju tabrak warna, cardigan rajut, suka makan seblak, dan joget-joget. Paling tidak, itulah yang Rusti gambarkan mengutip pernyataan Halda, adik komika Arafah, yang jadi perbincangan dalam Podcast Deddy Corbuzier bersama Vidi Aldiano bertajuk Podhub

Rusti dalam tulisannya juga mewawancarai beberapa perempuan bernama Nurul, yang punya pengalaman di-bully sebagai cewek norak kabupaten, sebagai akibat dari maraknya tren The Nuruls di medsos itu. 

Baca Juga:  Tren The Nuruls: Distigma Cewek Norak Kabupaten, Sebutan yang Misoginis dan Klasis!

Usai artikel itu ditayangkan, ternyata ramai bermunculan pendapat publik yang menunjukkan pemaknaan lebih luas dari The Nuruls, termasuk soal awal mula kemunculannya yang banyak disebut-sebut berasal dari kritikan dari komunitas queer terhadap The Nuruls yang sok suci dan selalu bawa agama. 

Satu yang paling banyak diperbincangkan, sebutan ini diperuntukkan buat “para perempuan berkerudung hipokrit yang suka nonton film BL (Boy Love), tapi homofobik”. The Nuruls ini juga disebutkan penuh kontradiksi hidupnya karena mereka berkoar-koar soal anti pada minuman keras haram, tapi ngidam soju (sampai ada soju halal). 

VICE Indonesia pernah menuliskan pula soal ‘Sejarah Munculnya Sebutan The Nuruls Menurut Penelusuran’ yang juga menyebutkan hal itu. Julukan The Nuruls dikatakan, digunakan komunitas queer untuk menggambarkan ukhti-ukhti yang selalu bawa agama tiap ada diskusi soal gender atau orientasi seksual. Orang yang tergolong sebagai “The Nuruls” ini dikatakan senang menggurui, dan menyampaikan pernyataan ofensif karena ketidaktahuan tentang suatu topik. Ini biasanya ditemukan dalam akun anonim dengan twit pembuka 

“No salty ya…” 

Pantauan VICE Indonesia pakai fitur Advanced Search di twitter menemukan, bahwa The Nuruls ini sudah bermunculan sejak awal 2022. Sebagian besar penggunanya adalah penggemar K-Pop yang aktif bermain peran (role play) atau fangirling lewat akun-akun avatar Korea. Saat itu, Nuruls dipakai buat menyindir mun (sebutan admin akun RP) yang “sok suci” tapi “rahim hangat” tiap melihat foto idola mereka. 

Baca Juga: Tahukah Kamu 17 Mei Hari IDAHOBIT: Yuk, Hapus Kebencian Terhadap LGBT

Sementara, penelusuran Konde.co di akun X juga menemukan penggunaan Nuruls bahkan sudah dilakukan sejak 2020. 

Masih senada, The Nuruls dikaitkan dengan julukan untuk mereka yang fanatik (bigotry). Ini biasanya merujuk pada fanatisme terhadap keyakinannya yang intoleran dan benci terhadap kelompok lain. 

Nothing sets me off quite like locals on this bird app masking their bigotry with recycled faux-diplomacy….if I see one more “lihat sisi realistisnya aja ^^” I’m srsly gonna cut a bitch like the fuck does that even mean nurul?!?!” cuit salah satu akun @damn***** pada 4 Mei 2020. 

Sama halnya dengan yang VICE tulis, saya sepakat bahwa tren The Nuruls ini seiring waktu kini berkembang bebas. Bukan sebatas yang awalnya buat pemegang akun Korea atau julukan untuk bigotry, tapi disematkan untuk mereka (perempuan berjilbab) yang berpakaian norak: bangga pamer merek, seleranya jelek, cringe sampai kurang berkelas dan lain-lain. Dimana ini, tentu saja klasis. 

Berbekal informasi yang sudah saya kumpulkan itu, saya lantas ngobrol soal tren The Nuruls ini bareng teman-teman queer dari berbagai daerah di Indonesia. 

Tak Usah Ada Tempelan Karena Homofobik buat Nama Nurul

Seorang queer asal Surabaya, yang ingin dipanggil dengan inisial “I” mengaku, pertama tau istilah The Nuruls sekitar setahun lalu. 

Awalnya, gara-gara dia tak sengaja melihat potongan video Tik Tok ‘Taehyung Jungkook? Taehyung!” yang diunggah ke twitter. Video berdurasi sekitar 20 detik itu, berisi dua orang perempuan berkerudung yang sedang membuat konten pilih mana ‘Taehyung” dan beberapa deret idol Korea. Perempuan yang ditanya (sebelah kanan), membuat gerakan-gerakan (joget) heboh saat menjawabnya. 

“Dari video itu dibawa ke Twitter, kemudian orang-orang Twitter mulai menertawakan hal itu, banyak reply bermunculan semacam ‘bentukan yang kaya gini biasanya suka makan seblak’ ‘pasti sukanya sambil minum janji jiwa’. Setahuku, ini mulai dikaitkan sama Mbak-mbak berkerudung dan dikaitkan ke hal-hal lain yang juga berkaitan contohnya suka nonton BL tapi anti LGBT (The Nuruls),” cerita I kepada Konde.co, Rabu (20/2/2024).

Baca Juga: Melihat Isu Queer Dalam Tayangan Boys Love Di Film-Film

Dari situ, “I” menyebut, banyak candaan-candaan yang bertebaran di Twitter mulai melebar soal The Nuruls. Salah satu yang “I” temui berupa meme soal The Nuruls. 

“Dan ya, sampai sekarang jokes di Twitter (The Nuruls) untuk penyebutan Mbak-mbak berkerudung dengan segala stigmanya itu,” lanjutnya. 

Meme The Nuruls yang tersebar di Twitter/X. (Dok Pribadi “I”)

Ditanya soal istilah The Nuruls yang banyak disebut-sebut jika komen ini datang dari komunitas queer, “I” mengaku justru dia tak mengetahui soal hal itu. Sebab informasi soal The Nuruls yang Ia terima justru ketika sudah bertebaran di sosial media dengan berbagai versi. 

Sebagai queer, “I” menegaskan, tak sepakat dengan penggunaan The Nuruls untuk sebutan perempuan berkerudung yang homofobik. Menurutnya, itu bentuk seksisme pada perempuan, yaitu stereotip perempuan berkerudung yang dianggap konservatif dan homofobik. Padahal, homofobik itu tak mengenal penampilan. 

“Jadi kalau The Nuruls ini terlalu distereotipkan dengan Mbak-mbak berkerudung, sebenarnya jadi kasian mereka sih (perempuan yang punya nama Nurul). Soalnya yang dilabeli sifat kayak ‘The Nurul’ (homofobik) itu gak selalu berkerudung,” kata “I”. 

Baca Juga: Kamus Feminis: Apa Itu Stereotipe Gender? Perempuan Digeneralisir dan Dibatasi Kebebasannya

Bagi “I” berbagai candaan soal The Nuruls ini tak perlu lagi digunakan. Apalagi, semakin menjalar kemana-mana seperti merendahkan kelas sosial seseorang (klasis). 

“Memang kesannya meremehkan kelompok yang dikaitkan dengan identitas tertentu. Klasis, iya jelas, karena lama-lama middle class ini lebih ke ‘ngenyek’ (mengejek) mereka-mereka yang punya ciri-ciri seperti The Nuruls,” imbuhnya. 

Senada dengan “I”, queer yang mengidentifikasikan dirinya feminin asal Jakarta, Isabella, turut bersuara. Dia menyayangkan adanya tren istilah The Nuruls, yang semestinya tak perlu dimunculkan. Apalagi, nama itu sampai dijadikan “ejekan” yang menyasar perempuan dengan identitas tertentu. 

Sebagai queer yang bertahun-tahun juga pernah memakai kerudung itu, Isabella menganggap, penyebutan The Nuruls (sebagai perempuan berkerudung yang homofobik), berdampak pada orang seperti dirinya. Bahwa, semua perempuan berkerudung (termasuk yang mengidentifikasi queer feminin) digeneralisir sebagai konservatif dan homofobik. 

Baginya, istilah The Nuruls juga bisa berdampak negatif terhadap upaya penghapusan keberagaman identitas sebagai queer itu sendiri. Situasinya lebih sulit bagi queer feminin dan transpuan. 

“Aku ngerasa kayak di situasi yang memposisikan perempuan lagi-lagi harus memilih. Ketika ada fenomena The Nuruls gini, kayak menghapus identitas queer perempuan yang menggunakan kerudung,” ujar Isabella saat berbincang dengan Konde.co.

Baca Juga: Pakaian Perempuan Diatur Dari Masa ke Masa: Stop Pengaturan

Padahal menurutnya, dirinya sebagai queer semestinya punya hak untuk bebas punya banyak identitas yang melekat. Punya hak mengekspresikan dirinya sebagaimana Ia inginkan. Tanpa label-label, stereotip, pembatasan, bahkan kebencian. 

Either pakai kerudung, gak pakai kerudung, rambut berwarna, gak berwarna, bertato, dan sekaligus mengidentifikasi sebagai queer, aku dari perspektif perempuan berhak punya banyak identitas,” katanya. 

Queer berusia 20 tahunan itu melanjutkan, penggunaan The Nuruls juga misoginis. Dikarenakan merujuk pada nama perempuan yang dilabeli dengan hal-hal negatif seperti norak, rese, sampai hipokrit.  

“Penggunaan kata Nurul ini, jadi semacam perpanjangan stereotip bahwa orang yang punya agama Islam itu tidak mungkin menjadi orang yang progresif (karena selalu dianggap homofobik—red),” lanjutnya. 

Menormalisasi penggunaan The Nuruls termasuk dalam bersosial media, menurut Isabella, hanya akan melanggengkan misoginisme dan klasisme yang memecah belah. Apapun itu tujuannya, bahkan jika itu karena iseng atau candaan. 

“Posisi queer ini seperti diseberangkan. Queer seperti sesuatu yang ‘western’ yang progresif, sesuatu yang ada di kotak berbeda (dengan stigma The Nuruls). Dan perspektif itu sebenarnya sangat-sangat perspektif yang kolonial menurutku,” tuturnya. 

Sama halnya dengan “I” dan Isabella, Lucifahna Firaine juga merasa tidak nyaman dengan adanya istilah The Nuruls sebagai julukan untuk perempuan berkerudung hipokrit-homofobik. 

“Ketika ada perempuan yang dianggap perilakunya itu begini begitu, terus langsung dilabeli gitu (The Nuruls). Ditempeli istilah itu, cukup mengganggu. Aku agak risih, kenapa ada label seperti ini. Secara naluriah, apaan sih, termasuk misoginis, seksis,” kata Lucifahna, yang kini jadi Ketua Cangkang Queer di Medan itu.

Baca Juga: Survei: Perempuan, Queer, Disabilitas Lebih Rentan Jadi Korban Kekerasan di Dunia Kerja

Lucifahna yang mengidentifikasi dirinya LBQ cis perempuan itu bilang, tak perlu lagi ada julukan The Nuruls untuk melabeli perempuan dengan karakter atau perilaku tertentu, termasuk homofobik. Sebab itu hanya akan mendiskreditkan perempuan.

Dengan kata lain, Ia mengatakan, jika mau menyebut seseorang homofobik, ya sebut saja dia homofobik. 

“Kalau ada yang homofobik, entah karena pengaruh heteronormatif karena patriarki, tapi di sisi lain dia menyukai BL karena tren atau emang suka, ya sebut saja itu homofobik. Bukan The Nuruls,” katanya. 

Sebagai queer yang aktif dalam gerakan, Ia mengungkap, selama ini Cangkang Queer sudah menggerakkan banyak upaya pemberdayaan dan pengadvokasian di komunitas queer. Termasuk soal penerimaan diri dan pemahaman SOGIESC (Sexual Orientation, Gender Identity, Expression, Sex Characteristic).

Dalam upaya lanjutannya, hal itu juga bersinggungan dengan bagaimana komunitas queer membangun jaringan. Ini juga bisa soal bagaimana berkomunikasi dengan para allies. Sehingga, harapannya tak ada di komunitas queer-nya yang memperjuangkan keberagaman ekspresi dan identitas gender, tapi justru berperilaku intoleran atau merendahkan identitas lain. Seperti halnya, menjuluki The Nuruls. 

“Meskipun kami enggak mengintervensi bagaimana teman-teman harus berperilaku di luar sana dengan karakteristik yang dimiliki, dengan orientasi yang dimiliki. Tapi, kita fokus bagaimana teman-teman komunitas itu memahami tentang SOGIESC,” katanya. 

Stop Stereotip Gender Yang Melabeli Perempuan

Aktivis HAM dan keberagaman, Thowik, tidak mentoleransi segala bentuk stereotip gender yang semakin meminggirkan perempuan. Tren The Nuruls, yang asal comot nama perempuan kemudian melakukan peyorasi (menjadikan buruk), itu merendahkan martabat dan hak asasi perempuan. 

“Apapun alasannya, siapapun yang melakukannya, itu harusnya gak boleh,” kata Thowik kepada Konde.co, beberapa waktu lalu. 

Terlebih, saat The Nuruls itu semakin meluas penyebarannya di berbagai ranah sosial media. Lalu menjadi berbagai narasi stereotip yang tak terkontrol seperti isu klasis sampai kekerasan berbasis gender online (KBGO). 

Baca Juga: Riset TaskForce KBGO 2022: Sextortion Jadi Ancaman Paling Serius

Berdasarkan Panduan KBGO yang diterbitkan Safenet, hal itu bisa berpotensi menjadi salah satu aktivitas KBGO berupa pelecehan, yaitu terjadi melalui ujaran kebencian dan postingan di sosial media dengan target pada gender tertentu atau seksualitas tertentu. 

“Itu menjadi semakin banyak bully, akhirnya muncul kekerasan online (berbasis gender) juga bisa menjadi dampaknya,” imbuh aktivis yang bergiat di SEJUK itu.   

Sepanjang waktu ini, menurut Thowik, sebetulnya bukan hanya istilah The Nuruls. Tapi ada juga sebutan yang lebih dulu ada seperti “Inem”. Ia dilabeli makna peyoratif sebagai perempuan yang digambarkan subordinat, pelayan seksi yang tidak terdidik. 

Hal tersebut turut melanggengkan stereotip bahwa perempuan “cantik dan seksi” tidak pintar atau tidak bisa berpikir. 

“Ini sangat merendahkan perempuan,” ucapnya. 

‘Inem Pelayan Seksi’ juga populer di kalangan generasi 90-an. Sebuah film 1976, yang mengobjektifikasi perempuan pekerja rumah tangga (PRT). Inem digambarkan sebagai janda cerai yang sensual dan menggairahkan, yang bisa membuat suami gagal fokus dan istri dari keluarga tempat Ia bekerja jadi cemas setiap melihat Inem. 

Baca Juga: ‘Inem Pelayan Seksi’: Film tentang Objektifikasi PRT

Dia pun mengajak siapapun, tak lagi menormalisasi sebutan-sebutan peyoratif yang stereotip terhadap perempuan. Bisa saja setelah ini akan muncul istilah-istilah baru setelah The Nuruls, dia minta untuk kita stop melanggengkannya.

“Hal-hal seperti ini, muncul dari cara pandang yang patriarki, cara pandang yang misoginis, yang seksis,” pungkasnya.

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!