Lima kasus femisida atau pembunuhan perempuan tersebut antara lain pembunuhan terhadap perempuan yang didasarkan pada bias gender, ketidaksetaraan gender, penaklukan, opresi, dan kekerasan sistematis terhadap korban perempuan.
Dari kelima kasus tersebut, semuanya dilakukan oleh laki-laki dan tiga di antaranya merupakan pasangan intim korban. Kejadian ini terjadi di di Bekasi, Ciamis, Bali, dan Karimun Jawa.
Jakarta Feminist dalam rilisnya menyatakan bahwa deretan kasus ini menambah panjang jumlah kekerasan terhadap perempuan dalam bentuknya yang paling kejam, yaitu pembunuhan perempuan atau femisida.
Tidak hanya itu, dari hasil visum diketahui korban mengalami penyiksaan termasuk dengan benda tajam dan kekerasan seksual. Pun ketika sudah tidak bernyawa, ada pelaku yang masih melakukan penyiksaan. Yakni dengan memasukkan tubuh korban ke dalam koper atau memutilasi korban.
Manajer Advokasi Jakarta Feminist, Naila Rizqi, mengungkapkan bahwa tingginya kasus femisida merupakan puncak dari kekerasan dan seksisme terhadap perempuan yang sudah mengakar.
BACA JUGA: Kamus Feminis: Apa Itu Femisida? Kekerasan Berbasis Gender Berujung Kematian
“Ada persepsi dan budaya yang keliru dalam melihat perempuan, seakan-akan perempuan hanya properti laki-laki dan objek seksual semata. Ini bisa kita lihat dari kelima kasus femisida yang terjadi beberapa waktu terakhir. Ada 2 kasus KDRT dan 3 kasus yang terdapat kekerasan seksual di dalamnya. Tren ini jamak terjadi. Data laporan femisida Jakarta Feminist juga menunjukkan tingginya angka femisida yang dilakukan oleh pasangan intim. Seperti suami, pacar, dan klien,” ungkap Naila Rizqi.
Laporan Jakarta Feminist tahun 2023 menemukan, sebanyak 184 kasus femisida dengan 194 korban perempuan. Dari total tersebut, 88% pelaku adalah laki-laki dan mayoritas merupakan pasangan intim korban.
Dari laporan tersebut juga ditemukan mayoritas kasus pembunuhan perempuan diawali dengan rangkaian keberulangan kekerasan yang seharusnya dapat dihentikan, jika sistem sosial dan hukum berpihak pada perempuan, khususnya korban.
“Femisida ini tidak terjadi begitu saja. Biasanya memang diawali dengan kekerasan apalagi dalam konteks relasi intim. Ada KDRT yang berulang sebelumnya yang semestinya bisa dicegah baik oleh keluarga, tetangga, bahkan aparat penegak hukum. Ada anggapan kalau KDRT itu urusan privat, jadi kita boleh ikut-ikut. Nah, ini asumsi yang berbahaya karena jadinya membiarkan korban terus mengalami kekerasan. Seperti kasus korban femisida di Bekasi tahun lalu. Korban sudah lapor polisi tapi malah disuruh berdamai,” imbuh Naila merujuk pada kasus pembunuhan perempuan korban KDRT di Bekasi.
Dalam kasus ini aparat penegak hukum memiliki peran yang penting dalam mencegah eskalasi KDRT menjadi femisida. Apalagi korban telah melakukan pelaporan,
BACA JUGA: Riset Jakarta Feminist: Perempuan Paling Banyak Jadi Korban Femisida di Rumah
Jakarta Feminist mencatat pada kasus pembunuhan dan mutilasi di Ciamis, tetangga korban menyaksikan adanya pertengkaran hingga kekerasan yang dilakukan pelaku terhadap korban. Tapi saksi tidak berani melakukan intervensi. Jakarta Feminist juga menyayangkan minimnya akses layanan bagi korban kekerasan terhadap perempuan. Hal ini berkontribusi pada meningkatnya skala kekerasan pada titik yang ekstrem seperti femisida.
Survei Jakarta Feminist pada tahun 2021 menunjukkan hanya 48% responden survei yang mengetahui adanya lembaga layanan di daerah mereka. Angka ini menunjukkan kurangnya akses informasi publik terhadap lembaga layanan bagi korban kekerasan berbasis gender dan seksual. Hal ini juga yang mendasari Jakarta Feminist untuk menyusun direktori lembaga layanan bagi korban KBGS melalui carilayanan.com.
Selama tiga tahun terakhir Jakarta Feminist telah mendokumentasikan kasus-kasus femisida di Indonesia. Dari pendokumentasian tersebut, kami melihat minimnya keseriusan pemerintah dalam merespons kasus femisida. Masih banyak kasus kekerasan seksual dan KDRT yang berakhir damai, dan banyak korban yang tidak dapat mengakses layanan untuk pemulihan.
“Jika terus dibiarkan kasus kekerasan terhadap perempuan dapat berakhir dengan femisida. Oleh karena itu, melalui rilis pers ini kami mendorong pemerintah untuk menyusun, melaksanakan, dan memantau strategi jangka menengah dan panjang terkait pencegahan dan penanganan femisida di Indonesia termasuk upaya pemulihan bagi keluarga korban.”
BACA JUGA: Dipukul, Dibunuh, Disiram Wajahnya: Istri Menjadi Korban Terbanyak Femisida
Pemerintah juga agar memperkuat sistem hotline telepon bagi korban KBGS yang responsif, menyediakan akses informasi dan sistem rujukan lembaga layanan bagi korban KBGS. Juga kepolisian untuk memberikan pelatihan dan pendidikan terkait KBGS bagi anggotanya serta tidak mengedepankan upaya restorative justice pada perkara kekerasan seksual dan KDRT. Dan institusi penegak hukum baik Kepolisian, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung untuk mengolah data kasus pembunuhan berdasarkan gender.
Pentingnya Mekanisme Perlindungan Sementara
Penulis feminis Diana Russell adalah orang pertama yang mencetuskan istilah femisida pada 1976. Dalam buku ‘Femicide: the Politics of Woman Killing’, Russell dan kriminolog Jill Radford mendefinisikan femisida sebagai, “Pembunuhan misoginis terhadap perempuan oleh laki-laki.” Di tahun 2001, Russell mendefinisikan ulang istilah itu menjadi, “Pembunuhan perempuan oleh laki-laki karena mereka perempuan.”
Pembunuhan terhadap perempuan karena gendernya sebagai perempuan tidak bisa dibenarkan dengan alasan apa pun.
Tindakan dan pembiaran terhadap femisida adalah tanda bahwa masyarakat dan negara masih sangat lekat dengan patriarki dan misogini. Alhasil, perempuan jauh dari ruang aman yang menjadi hak dasarnya sebagai manusia.
BACA JUGA: Femisida Ada di Sekitar Kita: 5 Perempuan Dibunuh Tiap Jam
Seluruh pihak mesti berkolaborasi demi memutus rantai kekerasan berbasis gender dan menghentikan femisida. Efektivitas mekanisme perlindungan sementara bagi perempuan harus lebih diperhatikan. Apa lagi, hal itu telah terjamin dalam UU PKDRT dan UU TPKS.
Mekanisme perlindungan sementara berarti memastikan ketersediaan rumah aman, pendamping korban, serta mekanisme kolaborasi di berbagai daerah.
Selain itu, pencatatan dan pengumpulan data kasus femisida juga harus dilakukan. Mestinya ada sistem pelaporan yang dapat mengidentifikasi hal itu sehingga kategorisasi data kasus lebih spesifik. Dengan demikian, data tentang femisida di Indonesia tidak harus merujuk pada pemberitaan di media, yang sangat mungkin tidak dapat memetakan situasi yang sebenarnya terkait darurat femisida.
Terakhir, tentunya, adalah kesadaran kita untuk membedakan kasus pembunuhan berbasis gender dari kasus pembunuhan lainnya. Jangan sampai kita membiarkan femisida terus terjadi. Perempuan juga berhak atas hidup dan ruang aman—dan dengan alasan apa pun, tidak seharusnya dibunuh hanya karena dirinya eksis sebagai perempuan.