Program Presisi diperkenalkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan. Program ini mengedepankan pembelajaran berbasis projek yang mengedepankan pemenuhan kebutuhan murid yang sesuai dengan minat mereka. Metode pembelajaran ini sifatnya berpusat pada murid. Sementara guru berperan sebagai fasilitator alih-alih sumber informasi utama.
Pendekatan ini berakar dari filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang berfokus pada kebutuhan dan potensi murid.
Implementasi program Presisi membutuhkan perubahan pola pikir bagi banyak guru yang telah terbiasa dengan kurikulum baku dan silabus yang ketat. Kendati demikian, tantangan ini dihadapi dengan antusias oleh guru-guru di SMA Marsudirini Muntilan. Salah satunya Ignatia Rini Purwati, guru mata pelajaran Biologi yang telah mengajar sejak 2005.
Lewat pendekatan baru ini, Rini yang juga menjabat sebagai wakil kepala sekolah mengajak murid-muridnya untuk melihat persoalan di kehidupan sehari-hari melalui lensa ilmiah, menjadikan pembelajaran lebih relevan dan menarik. SMA Marsudirini Muntilan sendiri telah mengaplikasikan program ini sejak tahun 2020.
Memilih dan Merefleksikan Proyek Sesuai Minat
Pengalaman Rini mengimplementasikan program Presisi membuktikan bahwa pendidikan dan kebudayaan dapat diintegrasikan dalam pembelajaran di kelas. Dalam praktiknya, murid tidak hanya mempelajari konsep-konsep ilmiah tetapi juga menggali relevansi ilmu tersebut dengan kehidupan sehari-hari dan tradisi budaya mereka.
“Ini merupakan bentuk pembelajaran yang berpusat pada murid. Dengan demikian, terjadi pergeseran peran guru. Guru tidak lagi menjadi sumber belajar utama yang mentransfer ilmu secara langsung, tetapi lebih sebagai fasilitator,” jelas Rini.
Program Presisi yang diterapkan di SMA Marsudirini mengedepankan pendekatan dialog. Pendekatan ini diharapkan membantu murid untuk lebih memahami diri mereka sendiri dan potensi yang ada di sekitar mereka. Guru sebagai fasilitor juga dibekali pelatihan keterampilan coaching untuk memfasilitasi murid yang masih bingung terkait projek yang akan dikerjakan.
“Kami membuka dialog dengan anak-anak. Di awal projek, kami memberikan kesempatan kepada mereka untuk melakukan refleksi diri tahap awal. Kami memberikan kesempatan untuk melihat kembali: apa potensi yang mereka miliki? Apa yang mereka ingin capai? Jika ingin melanjutkan pendidikan, ke mana mereka ingin melangkah? Kami juga mengajak mereka untuk melihat kondisi sekitarnya: apa yang ada di sekitar mereka yang bisa mendukung pembelajaran?”
“Anak-anak kemudian akan menyampaikan hasil refleksi mereka, dan kami belajar teknik untuk memperkuat tujuan mereka dengan memfasilitasi mereka. Kami belajar teknik coaching sehingga guru-guru di tempat kami bisa menjadi coach bagi siswa, benar-benar memfasilitasi mereka,” ujarnya.
Rini sebagai guru mata pelajaran Biologi merasakan perubahan besar dalam cara mengajar dengan mengimplementasikan program Presisi. Sebagai seorang guru, beradaptasi dan terus belajar adalah keniscayaan yang harus diamini.
Baca Juga: Perempuan di Balik Layar Perak: Mengukuhkan Representasi, Resistensi, dan Suar Suara Inklusi
“Sebagai contoh perubahan yang saya rasakan sebagai guru Biologi, dulu saya mengajar dengan fokus pada penyelesaian target kurikulum. Namun sekarang, saya mencoba memahami pembelajaran kontekstual yang berkaitan dengan kebutuhan perkembangan siswa. Saya mulai mengajak murid untuk melihat persoalan-persoalan dalam kehidupan mereka.”
Metode pembelajaran yang baru ini diakui Rini telah mempengaruhi motivasi belajar murid secara positif. Murid yang sebelumnya tidak tertarik dengan pelajaran tertentu menjadi lebih termotivasi karena merasa didengar dan diberi kebebasan untuk mengeksplorasi minat mereka sendiri. Mereka juga merasa lebih mandiri dalam proses belajar dan mendapatkan pemahaman yang lebih dalam daripada pendekatan belajar yang konvensional.
“Murid-murid yang tadinya tidak tertarik dengan pelajaran biologi menjadi termotivasi karena merasa didengar dan senang dengan metode pembelajaran yang baru. Mereka lebih termotivasi untuk mencari tahu lebih dalam. Tidak hanya saya, tetapi guru-guru lain juga mulai menerapkan metode ini, berani keluar dari pakem yang biasanya mengharuskan semua siswa mempelajari hal yang sama secara urut,” tambahnya.
Dengan membebaskan siswa untuk memilih topik belajar mereka sendiri dan menerapkan asesmen akhir tahun secara lisan yang diikuti dengan sesi refleksi, Rini mendapati bahwa murid merasa lebih terlibat dan memperoleh pemahaman yang lebih mendalam.
Baca Juga: Reni Yuniastuti dan Menari dalam Hening: Menyulam Kekuatan Perempuan, Disabilitas, dan Sinema
“Saya membebaskan murid untuk memilih dan mendalami topik yang mereka minati. Saat asesmen akhir tahun, saya melaksanakannya secara lisan dan mengajak siswa untuk refleksi. Salah satu murid mengatakan bahwa mereka merasa lebih belajar dengan metode yang kami terapkan. Mereka lebih mandiri dalam belajar dan mendapatkan apa yang mereka butuhkan, daripada dipaksa mempelajari semua materi tanpa hasil yang memuaskan.”
Awalnya, Rini mengakui bahwa implementasi Program Presisi di sekolahnya masih mengalami tantangan. Tantangan tersebut dikarenakan paradigma pembelajaran yang masih terlalu fokus pada hasil akhir berupa produk. Namun, implementasi pendekatan yang baru tersebut seiring berjalannya waktu semakin berorientasi pada proses pembelajaran yang mendalam dan bermakna bagi murid, bahkan ketika mereka menghadapi kegagalan. Hal ini mencerminkan perubahan paradigma dari fokus pada output menjadi penekanan pada proses eksplorasi dan pembelajaran yang berkelanjutan.
“Kami pada awalnya tidak begitu paham dengan alur yang disampaikan oleh para fasilitator dan supervisor, sehingga fokus kami pada hasil akhir, yaitu membuat produk. Namun, pada pertengahan proses, kami mulai menyadari bahwa yang penting bukanlah produk sebagai hasil akhir dari proses belajar, melainkan bagaimana mengajak anak-anak untuk belajar dan menemukan makna, bahkan ketika mereka gagal.”
Pengajaran kontekstual yang diterapkan Rini memungkinkan pemahaman materi pembelajaran secara lebih mendalam melalui projek yang berbasis pada minat murid. Murid diajak untuk merenungkan kebutuhan dan minat mereka sendiri, dan dari situ guru memfasilitasi pembelajaran yang lebih dalam dan terarah.
“Di awal semester, anak-anak kami ajak untuk berefleksi tentang apa yang mereka punya dan apa yang mereka butuhkan hingga mereka menemukan projek pilihan mereka. Dari pilihan tersebut, kami kemudian memasukkan materi pelajaran. Di mata pelajaran, kami memfasilitasi anak-anak agar projeknya makin mendalam sesuai dengan mata pelajaran yang saya ajarkan.”
Integrasi Kebudayaan, Kedekatan Sosial, dan Pendidikan
Tidak berhenti pada pembelajaran berbasis projek, pengalaman Rini Purwati di SMA Marsudirini Muntilan dalam mengimplementasikan Program Presisi juga mengedepankan elemen budaya lokal dalam proses belajar murid. Sebagai contoh, Rini memperkenalkan kepada murid-muridnya tentang tradisi Suroan, upacara adat masyarakat Jawa untuk memperingati tanggal 1 Muharram, yang melibatkan persiapan makanan dengan ketentuan khusus.
Dengan latar belakangnya sebagai guru Biologi, Rini mengajak para muridnya untuk memahami alasan di balik pemilihan jenis makanan tertentu dalam tradisi Suroan.
“Saya memahami bahwa tradisi merupakan bagian dari kebudayaan. Murid saya pernah tertarik mempelajari tradisi Suroan. Suroan adalah semacam upacara adat di masyarakat kami, di mana masyarakat membawa berbagai olahan makanan dalam kenduri. Ada ketentuan jenis makanan yang dimasak, bahan-bahan yang digunakan, dan cara penyajiannya.”
“Dari segi biologi, saya mengajak anak-anak untuk mengenal lebih dalam mengapa jenis-jenis makanan tertentu dipilih dan apa tujuannya. Misalnya, nasi yang digunakan dan lauk-pauknya. Kami juga membahas kandungan gizinya dan mengajak mereka memahami keseimbangan ekosistem. Tradisi ini sebagai ucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala yang diberikan.”
Baca Juga: Peran Ibu dalam Pelestarian Anyaman Bambu
Selain itu, Rini juga mengarahkan perhatian siswa pada aspek biologis dari tradisi kenduri, seperti peran air sebagai sumber kehidupan dan pentingnya pohon dalam menjaga keseimbangan ekologi. Melalui pengajaran kontekstual ini, selain mengajak siswa untuk memahami alam secara lebih mendalam, Rini juga turut mengembangkan pemahaman murid-muridnya tentang pentingnya merawat kearifan lokal dan menjaga kelestarian lingkungan.
“Saya mengajak mereka memahami pentingnya air sebagai sumber kehidupan dan peran pohon besar di sekitar mata air. Bukan untuk mensakralkan atau menyembah pohon tersebut, tetapi untuk memahami bahwa pohon ini menyimpan air. Jika pohon tersebut ditebang, akan ada dampak biologisnya,” cerita Rini.
Selain kebudayaan tradisional, metode pembelajaran yang diimplementasikan Rini turut mengintegrasikan isu-isu sosial budaya yang relevan dengan kehidupan sehari-hari murid, seperti kekerasan seksual dan kesehatan reproduksi.
“Di sekolah, ini menjadi tugas semua guru, baik terhadap siswa laki-laki maupun perempuan. Kami juga membahas isu-isu seperti kekerasan seksual, yang menjadi program bersama antara guru BK dan wali kelas,” ungkap Rini.
Baca Juga: Upaya Mahima Merajut Warisan dan Masa Depan Lewat Singaraja Literary Festival
Dalam mata pelajaran Biologi, pengajaran topik-topik terkait seperti kromosom, gen, penyakit seksual menular, dan dampak pernikahan dini atau seks bebas biasanya bersumber dari rasa penasaran para murid. Begitu pula dengan topik reproduksi di kelasnya, Rini mendapati murid-muridnya tertarik pada proses fisiologis dan biologis manusia seperti mimpi basah dan menstruasi. Fenomena-fenomena biologis tersebut dekat dengan kehidupan murid yang memasuki usia pubertas, tetapi kerap dianggap tabu untuk dibahas di masyarakat.
“Pembahasan dalam pelajaran Biologi termasuk dampak pernikahan dini dan akibat-akibat seks bebas. Menariknya, bukan saya yang memberikan informasi ini secara langsung, tetapi anak-anak yang mencari sendiri dari sumber-sumber belajar lainnya. Anak-anak akan mengumpulkan data, menyusun hasil belajar mereka dalam bentuk yang sesuai dengan minat mereka, seperti menulis atau membuat poster.”
“Kajian tentang reproduksi yang terakhir kali dibahas juga menunjukkan bahwa mereka lebih tertarik pada proses fisiologis dan biologis, seperti mimpi basah dan menstruasi,” papar Rini.
Usaha untuk Berkelanjutan
Program Presisi saat ini menjadi salah satu program prioritas Kemendikbudristek, khususnya melalui Ditjen Kebudayaan di bawah kepemimpinan Hilmar Farid. Sebagai salah satu dari 10 Program Minimum Kebudayaan, program ini bertujuan untuk memperkuat karakter murid melalui pendidikan berbasis projek yang relevan dengan konteks kehidupan mereka. Implementasinya di SMA Marsudirini adalah contoh bagaimana program ini dapat diimplementasikan sebagai metode pembelajaran di kelas sehari-hari.
Meski begitu, Rini menyadari bahwa tidak semua murid dapat mengalami pertumbuhan maksimal.
“Memang tidak semua murid dapat mengalami pertumbuhan maksimal seperti yang saya ceritakan sebelumnya. Saya sebagai guru merasa belum bisa memaksimalkan pertumbuhan semua murid. Masih ada muridyang memerlukan perhatian lebih, dan kami sebagai guru perlu terus belajar untuk meningkatkan kompetensi kami serta berkolaborasi.”
Harapan Rini adalah agar sekolah diberikan fleksibilitas lebih dalam mengimplementasikan kurikulum. Menurutnya, tidak semua sekolah perlu mengikuti pola seragam. Meskipun semangat Kurikulum Merdeka sudah mengarah ke arah ini, Rini melihat masih ada upaya untuk menyamakan semua sekolah dalam implementasinya.
Baca Juga: Putri Merdekawati Memerdekakan Batik dari Pencemaran Lingkungan
“Tidak perlu semuanya harus seragam. Roh dari Kurikulum Merdeka sebenarnya sudah mengarah ke sana, tetapi di tingkat implementasi masih ada upaya untuk menyamakan semua sekolah,” ujarnya.
Di sisi lain, hemat Rini, Program Presisi telah memberikan banyak kesempatan kepada sekolah-sekolah kecil seperti SMA Marsudirini.
“Kami sangat bersyukur atas fasilitas yang diberikan. Program Presisi telah mengubah banyak hal di sekolah kami, membangkitkan semangat para guru untuk terus belajar, dan memberikan pengaruh positif pada siswa.”
Pengaruh positif dari program ini juga dirasakan oleh orang tua siswa, yang melihat perubahan karakter yang jelas pada anak-anak mereka. Mereka merasa puas karena melihat anak-anak mereka lebih termotivasi untuk belajar dan lebih mandiri dalam proses pembelajaran.
“Orang tua juga merasakan kepuasan karena perubahan karakter anak-anak mereka terlihat jelas. Mereka lebih termotivasi untuk belajar dan lebih mandiri,” ucapnya bangga.
Direktur Jenderal Kebudayaan, Hilmar Farid, menjelaskan, Presisi menerapkan metode pembelajaran kontekstual agar siswa dapat menemukenali budaya yang berbasis di daerah masing-masing.
Baca Juga: Prioritisasi Perempuan Seniman Mulai Dirintis
“Jadi Presisi ini program di mana anak-anak diberi keleluasaan untuk memberikan sebuah presisi. Mereka melakukan pencatatan, itu yang paling mendasar. Yang paling penting adalah sikap bersahaja dan mengakui apa yang tidak kita tahu. Jadi bersikap terbuka dan bersahaja. Pengetahuan itu dikumpulkan menjadi sebagai basis, kemudian berangkat dari situ untuk mengembangkan kearifan lokal di daerahnya masing-masing,” tutur Hilmar.
Implementasi Program Presisi di SMA Marsudirini menunjukkan bahwa dengan pendekatan yang tepat, pendidikan dapat menjadi lebih relevan dan bermakna bagi murid. Integrasi antara pendidikan dan kebudayaan melalui pengajaran kontekstual membantu murid memahami dan menghargai warisan budaya mereka sembari mengembangkan sikap teladan. Sebagaimana yang diharapkan Hilmar Farid, anak-anak Indonesia ke depannya diharapkan memiliki sikap terbuka dan bersahaja.
(Peliputan ini merupakan kerja sama Konde.co dengan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi)