Mengasuh Anak-Anak dengan HIV/AIDS Tanpa Stigma dan Diskriminasi dari Persinggahan Kecil

‘Anak Itu Rahmat Allah’, sebuah makna kolosal sekaligus sederhana dari Rumah Aira, persinggahan kecil dengan pertolongan yang besar. Di sana, anak-anak dengan HIV/AIDS tumbuh tanpa stigma dan diskriminasi. Mereka merajut bersama bahagia dari asa yang hampir tiada.

Kota Semarang seperti biasa begitu terik. Panas matahari menyusup ke rumah dua lantai sederhana di Jalan Kaba, bias cahayanya memantul pada lemari kaca berisi lusinan kotak susu. 

Maria Magdalena Endang Sri Lestari, pendiri rumah tersebut, baru pulang dari kantornya pukul satu siang. Mama Lena, begitu ia akrab disapa, tiba dan mencari anak-anaknya di rumah itu. Sekadar memastikan semua sudah santap siang dan kenyang.

Setelah memastikan semua anak sudah riang dan penuh, Mama Lena duduk lantas menghela napas, mengambil kembali ingatan sepuluh tahun silam. Ia mengenang memori saat berdinas di Rumah Sakit St. Elisabeth Semarang. 

Saat itu Mama Lena hanya bisa tertunduk dan menyesal melihat nyawa tak berdosa melayang sia-sia. Kegelisahannya kemudian meledak hingga dirinya memberanikan diri membangun Yayasan Rumah Aira. “Anak itu rahmat Allah,” kata Mama Lena.

“Pada saat sepuluh tahun yang lalu, saya melihat banyak anak-anak itu, maaf, meninggal. Menurut saya secara pribadi, sebagai seorang ibu dan saya juga mantan (pekerja) dari Rumah Sakit St. Elisabeth Semarang, saya paham bahwa anak-anak dengan HIV bisa sehat.”

“Kenapa harus meninggal sia-sia di saat mereka usianya masih begitu muda, belum paham tentang HIV? Itu yang membuat saya tersentuh,” cerita Mama Lena saat didatangi Konde.co.

BACA JUGA: Lindungi Hak Kelompok Rentan, Butuh Kebijakan Stop Diskriminasi!

Pada 2015, Mama Lena menyewa rumah kecil di Jalan Kaba Timur, dekat dengan Rumah Aira sekarang yang sudah berpindah dan hanya terpisah beberapa gang. Di rumah kecil itu, hidup delapan kepala yang lima di antaranya adalah anak-anak. Tangis, tawa, jerit, dan doa membesarkan rumah kecil itu.

“Tepatnya, pada tahun 2015, saya menyewa rumah kecil. Walaupun waktu itu hanya muat untuk paling banyak delapan orang. Dewasa tiga, anak-anak lima, itu sudah penuh. Ruang tamu sudah saya kasih tempat tidur besar. Terasnya saya bikin ruang tamu. Untuk ruang tengah, saya kasih tempat tidur besar ukuran 200×200 untuk dua anak dan satu dewasa. Di belakang, sebelah dapur, saya kasih yang single bed,” jelasnya.

Masih awam dan bermodal keberanian, Mama Lena hanya berpegang harapan-harapan yang ia tiupkan. Hingga akhirnya silih berganti teman dekatnya membantu angin harapan itu menjadi sejuk yang menyelamatkan.

“Dari itu, saya berdoa kepada Tuhan. Kalau memang Tuhan mengutus saya untuk merawat mereka, saya hanya minta kepada Tuhan untuk melancarkan rezeki saya. Waktu itu saya tidak tahu yang namanya donatur, saya tidak tahu yang namanya bikin proposal untuk minta bantuan. Yang saya tahu adalah saya harus punya tempat dan punya uang untuk menghidupi mereka. Itu saja.”

“Puji Tuhan, teman-teman dekat saya tahu, terus mereka membantu karena mereka tahu saya punya impian mempunyai tempat untuk anak-anak, baik di dalam maupun di luar Semarang, yang bisa singgah minimal untuk menyehatkan diri mereka. Tapi, kalau yang yatim piatu dan tidak ada keluarga yang mau menerima, dan kebetulan secara ekonomi saya cukup, saya rawat sendiri,” cerita Mama Lena haru.

BACA JUGA: Berlatih Mati, Lalu Hidup untuk Orang Lain: Cerita Hartini Perempuan dengan HIV 

Rumah Aira menjadi pelabuhan terakhir bagi anak-anak yang terpinggirkan. Panti ini menerima anak-anak yang dirujuk oleh berbagai lembaga seperti dinas sosial, dinas kesehatan, puskesmas, dan rumah sakit.

“Kalau kami ini kan rujukan akhir. Anak-anak kami dapatnya dari dinas sosial, dari dinas kesehatan, puskesmas, rumah sakit. Mereka dirujuk ke sini, diserahkan ke sini,” ujar Mama Lena.

Kembalinya anak-anak ke keluarga mereka menjadi salah satu tujuan utama Rumah Aira. Namun, tugas mereka tidak berhenti di situ. Setelah anak-anak kembali, Mama Lena berusaha memastikan keluarga dan lingkungan sekitar menerima dan memahami kondisi anak-anak tersebut. Pendidikan dan penerimaan oleh keluarga dan lingkungan menjadi kunci keberhasilan rehabilitasi anak-anak ini.

“Kalau keluarga dan lingkungannya sudah menerima, ya perawatan yang terbaik adalah memang di keluarga, bukan di panti,” jelasnya.

Bagi banyak anak, perawatan terbaik adalah berada di tengah keluarga yang mencintai dan mendukung mereka. Namun, banyak dari mereka yang tidak beruntung dan justru mendapat penolakan.

“Kecuali yang memang dibuang, tidak ada keluarganya, ya mau tidak mau di sini. Saya yang bertugas untuk berusaha membagi waktu karena saya juga punya anak sendiri,” kata Mama Lena sambil tersenyum.

Harus Berani Harus Berhati

Yayasan Aira mulanya adalah pohon yang tertanam di tanah yang keras, hidupnya tak subur di buminya sendiri. Rumah Aira ditolak oleh masyarakat karena stigma dan diskriminasi yang melekat pada HIV/AIDS. 

Mama Lena berusaha dengan tabah menyiram tanah yang keras itu sedikit demi sedikit. Ia beranggapan penolakan tersebut berasal dari ketidakpahaman.

“Waktu saya mau sewa rumah untuk anak-anak dengan HIV. Karena yang pertama itu HIV-nya, karena belum familiar, belum banyak dipahami,” ujarnya.

Sayang, tanah itu makin retak dan mengeras, rasa-rasanya kemarau datang begitu cepat. Mama Lena yang seorang Katolik dituduh melakukan agenda kristenisasi lewat Rumah Aira oleh penduduk setempat.

“Lalu karena saya seorang Katolik, jadi ada indikasi saya dikira akan mengkristenkan. Itu yang membuat saya sangat-sangat kendala ya. Karena harusnya dalam dunia sosial itu enggak melihat agama. Menurut saya begitu. Bagi saya agama itu adalah fondasi hidup saya dan iman yang saya miliki adalah jembatan untuk saya melayani. Jadi saya harus punya iman untuk mencintai,” cerita Mama Lena.

Tanah yang retak dan keras mulai melunak, kemarau hampir lewat, Mama Lena dibantu oleh tokoh keagamaan untuk memberikan edukasi dan pemahaman menyeluruh soal misi sosial yang tak berkaitan dengan pemaksaan atau doktrin agama tertentu.

BACA JUGA: Stop Stigma, Cek Fakta tentang HIV dan ODHIV

“Setelah itu baru ada teman dari NU dan Muhammadiyah yang bantu untuk bilang kalau kita itu ada untuk kemanusiaan,” terang Mama Lena tenang.

Rumah Aira kemudian berpindah selang beberapa gang dari tempat lamanya. Melihat pengalaman pahit tersebut, Mama Lena berusaha melunakkan tanah yang keras dengan siraman yang lembut. Ia melakukan edukasi dan pemahaman pada warga sekitar mengenai HIV/AIDS sebelum akhirnya membayar sewa.

Kini, Yayasan Aira berubah menjadi pohon yang subur di tanah yang lempung. Stigma dan diskriminasi itu luluh di hadapan senyum keberanian dan keberhatian.

“Puji Tuhan, Yayasan Rumah Aira walaupun pernah punya peristiwa atau kenangan pahit saat saya ditolak. Tapi setelah saya mau sewa di sini, sebelum saya bayar uang sewa rumah, saya sosialisasi dulu ke RT, bapak-bapak, ibu-ibu dan remaja. Saya pahamkan dulu tentang HIV-nya dan akhirnya mereka menyetujui saya menyewa rumah itu untuk merawat anak-anak dengan HIV. Terus saya minta tanda tangan per KK, puji Tuhan 90 persen tanda tangan, terus saya bayar. Bahkan ada juga warga yang bantu-bantu di sini,” ceritanya semringah.

Aruna dan Lunar

Tubuhnya lumayan kurus tetapi sehat, ia suka memakai kaos sepak bola. Selayaknya anak yang duduk di bangku kelas 4 Sekolah Dasar, Aruna (bukan nama sebenarnya) hobi bermain di bawah terik matahari. Senyumnya kuat saat mempersilakan tamu masuk ke rumah.

“Dengan siapa, ya?”

“Oh, sudah janjian?”

“Silakan masuk dulu”

“Duduk dulu, diminum”

Anak laki-laki berumur 11 tahun itu tampak begitu luwes dan sopan selayaknya orang dewasa ketika menjamu tamu yang datang.

Aruna didiagnosis HIV/AIDS sejak lahir. Ibunya yang berasal dari luar pulau menitipkan Aruna ke Rumah Aira saat berusia tiga tahun. Ini membuatnya jadi anak yang begitu ramah.

Tidak seperti anak-anak lain yang pulang ke pangkuan ibu dan keluarganya setelah virus sudah tidak terdeteksi, Aruna menetap di Rumah Aira. Ibunya tidak lagi mengambil Aruna, sedangkan ayah Aruna tidak jelas keberadaannya sejak Aruna lahir.

“Ibunya sudah menyerahkan saja, jadi ya sudah Aruna jadi anak saya di sini,” jelas Mama Lena.

Aruna menjadi bukti bahwa anak dengan HIV/AIDS tidak selamanya sakit dan meringkuk. Mama Lena sebagai pengasuh sekaligus orang tua angkat bersaksi Aruna jarang sekali sakit. Ini juga tampak dari riangnya Aruna di terik Semarang dengan kaos sepak bolanya itu.

BACA JUGA: Mengapa Kami Beda dan Harus Minum Obat Tiap Hari? Cerita Anak dengan HIV

“Aruna jarang sakit, hampir tidak pernah,” ucapnya.

Aruna dalam tiga tahun akan mengenyam pendidikan menengah, ia berhasrat untuk mengemban ilmu agama di pesantren. Keinginan Aruna didukung penuh oleh Mama Lena. Ini membuktikan tuduhan kristenisasi atau doktrin-doktrin keagamaan tertentu sama sekali nihil di Rumah Aira.

“Aruna mau masuk pesantren nanti, sudah saya komunikasikan juga dengan pengajar di sana. Kebetulan pengajarnya juga paham soal HIV, jadi aman,” terang Mama Lena.

Aruna tidak sendirian, ia punya adik bernama Lunar (bukan nama sebenarnya) yang punya nasib berbeda. Lunar ditemukan terlantar tanpa ayah dan ibu lima tahun yang lalu dengan kondisi positif HIV/AIDS. Mama Lena kemudian mengasuh Lunar setelah bayi perempuan tersebut sempat berada di dinas sosial.

“Lunar itu dari kecil, dari dia bayi. Waktu itu ditemukan lalu dibawa ke dinas sosial kemudian saya asuh,” cerita Mama Lena singkat.

Memahami diskriminasi yang ada, Mama Lena telah melakukan upaya besar untuk memastikan lingkungan tempat Aruna dan Lunar tumbuh adalah tempat yang penuh dengan penerimaan dan kasih sayang.

“Dan makanya kenapa tidak ada stigma dan diskriminasi di sini, di sekolahan anak-anak saya, di sekolahnya Aruna, Lunar. Itu karena saya sosialisasi ke sekolah-sekolah tadi. Jadi di sini anak-anak kami tanpa stigma dan diskriminasi sama sekali.”

“Saya bilang ke anak-anak saya bahwa kalian punya virus tapi kami mencintai kalian. Dan di sini tidak ada stigma dan diskriminasi sama sekali. Jadi mereka tidak punya rasa takut untuk bersama dengan teman-temannya dan temannya tidak ada rasa takut bersama anak-anak saya di sini,” cerita Mama Lena dengan senyum penuh keyakinan.

Jalan Panjang Menuju Nol Diskriminasi

Aruna dan Lunar adalah contoh nyata dari dampak diskriminasi dan stigma yang masih kuat terhadap anak dengan HIV/AIDS. Meski mereka menunjukkan bahwa anak-anak dengan HIV dapat hidup sehat dan bahagia, pandangan masyarakat yang penuh prasangka membuat HIV seolah menjadi aib yang menodai hidup mereka. 

Akibatnya, banyak anak seperti Aruna dan Lunar harus menghadapi tantangan tambahan dalam hidup mereka. Bukan karena kondisi medis mereka, tetapi karena stigma sosial yang melekat.

Pemerintah Indonesia punya visi yang ambisius soal HIV/AIDS. Yakni mencapai nol kasus baru HIV, nol kematian terkait HIV, dan nol diskriminasi terhadap penyintas HIV/AIDS pada 2030. Dari ketiganya, nol diskriminasi jadi pekerjaan rumah paling sulit.

“PR-nya pemerintah mungkin di lini diskriminasi ini. Jadi kalau targetnya 2030 itu kan 3-nol ya, nol HIV baru, nol kematian, dan nol diskriminasi begitu, ya. Nol infeksi baru akibat HIV itu masih diupayakan secara maksimal hari ini dan mungkin itu sudah berjalan gitu ya. Kemudian nol kematian itu, kalau saya lihat datanya Kota Semarang terutama, case fatality rate-nya itu sampai 2023 itu di bawah 1 persen,” terang M. Afifunna’im, Direktur Eksekutif Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Semarang.

Diakui Afif, dukungan psikologis dan sosial merupakan aspek krusial, namun sering kali kurang terpenuhi. Hal ini juga dipengaruhi dari akar stigma dan diskriminasi yang belum terselesaikan dengan baik.

BACA JUGA: Saya Seorang ODHA: ‘Apakah Ini Diskriminasi, Saat Mau Operasi, Kasur dan Bantal Saya Diplastik?’

“PR-nya ada di indikator ketiga nih, yang stigma diskriminasi. Orang meninggal akibat HIV itu sebenarnya bukan hanya karena diagnosis fisik saja istilahnya.”

“Jadi minum obat teratur itu apakah cukup? Tentu tidak. Secara psikis, secara psikologis itu ada efeknya juga. Artinya dukungan dari kerabat, lingkungan sekitar, keluarga, dan sebagainya itu yang masih menjadi kendala dan tantangan,” jelas Afif.

Melihat tantangan ini, Afif menilai kebijakan pemerintah cenderung dibebankan pada satu sektor yakni dinas kesehatan tanpa melibatkan sektor krusial lain. Karenanya, menurut Afif diperlukan kerja sama lintas sektor untuk mencapai hasil yang signifikan. Sebab edukasi dan kesadaran tentang HIV/AIDS harus masuk ke berbagai lini, termasuk pendidikan dan pekerjaan.

“Kalau isu HIV ini hanya digarap oleh dinas kesehatan, ya enggak akan selesai. Terutama di isu stigma diskriminasinya.”

“Bagaimana upaya untuk bergantian tangan bareng-bareng dengan beberapa OPD, beberapa tokoh,  stakeholder yang mungkin sebenarnya mereka itu juga tokoh kunci yang bisa meng-influence bawahnya,” jelasnya.

Senyum hangat Aruna, ketabahan Lunar, serta gigih semangat Mama Lena adalah lambang kasih penuh harapan. Dukungan lintas sektor dan kesadaran masyarakat dapat membantu Indonesia mencapai visi nol diskriminasi pada tahun 2030. 

Di setiap senyuman anak-anak di Rumah Aira, tersimpan janji bahwa masa depan tanpa diskriminasi bisa diwujudkan. Sebab anak dengan HIV/AIDS berhak tumbuh tanpa diskriminasi.

Luthfi Maulana Adhari

Manajer riset dan pengembangan Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!