‘The Architecture of Love’, Sembuhkan Luka dengan Pergi Sejenak dari Rumahmu

Jika kamu punya luka batin dan trauma yang sulit untuk disembuhkan, lari atau pergi dari rumah adalah salah satu cara untuk menyembuhkan lukamu.

Pergilah ke New York! Karena New York adalah kota dimana kita punya hak istimewa dan personal, untuk melihat kehidupan yang sulit dari sisi yang lain.

M. Hope dalam media Trashmag menulis tentang New York sebagai City of Broken Hearts: bagaimana New York dan mengubah perspektif kita mengenai kesulitannya

New York juga mengenalkan tentang ada banyak cara untuk menyembuhkan luka. Biasanya kita menyembuhkan luka dengan berdiam diri, menangis, bertemu teman atau menulis. Tapi seorang penulis novel, Raia Risjad (Putri Marino) memilih untuk pergi ke New York. Untuk menyembuhkan masa lalu, maka pergi adalah salah satu cara untuk meninggalkannya. New York adalah kota tujuan untuk menghilangkan trauma dan patah hati!

Raia melakukan ini setelah di malam pemutaran perdana filmnya, Alam (Arifin Putra),  suami yang selama ini merupakan inspirasi terbesarnya dalam menulis, ketahuan selingkuh. Raia hancur,  pergi ke New York adalah caranya untuk menghilangkan rasa sakit.

Di New York, ia tinggal menumpang di apartemen sahabatnya, Erin (Jihane Almira). Ketakutan menjalin hubungan juga ia alami kemudian. Ia selalu ragu. Kenapa laki-laki selalu menjadikannya tempat untuk singgah, bukan tempat untuk pelabuhan terakhir, seperti yang dilakukan Alam selama ini padanya.

BACA JUGA: Segudang Masalah Film ‘Vina: Sebelum 7 Hari’, Darurat Etika dan Perspektif Korban

Secara kebetulan, disana ia bertemu dengan seorang arsitek yang juga sedang patah hatinya dan yang sedang mengubur traumanya, River Jusuf (Nicholas Saputra). Pertemuan yang tampaknya kebetulan ini membuat  hubungan mereka makin lama makin dekat.

The Architecture of Love adalah sebuah film drama romantis yang diproduksi di tahun 2024 ini yang disutradarai oleh Teddy Soeriaatmadja. Film ini berdasarkan novel berjudul sama karya Ika Natassa. Film yang tayang di bioskop Indonesia pada 30 April 2024 ini dibintangi oleh Putri Marino, Nicholas Saputra, Jerome Kurnia, Jihane Almira dan Omar Daniel. 

Raia, walau trauma, tapi dia sudah melihat bahwa tak ada salahnya mencoba hubungan baru. Kondisi ini berbeda dengan River yang selalu menarik ulur hubungan karena trauma dengan masa lalunya dengan istrinya yang tak kunjung selesai. Istrinya yang ternyata sedang hamil, meninggal karena kecelakaan lalu lintas dengan mobil yang dikemudikan River. Gejolak kemarahan, rasa frustasi, patah hati, trauma-trauma inilah yang River bawa ke New York. Ia pergi ke New York dengan membawa rasa trauma. Namun tak pernah berhasil, karena perasaan berdosa dengan istrinya yang selalu ia bawa. River selalu menyalahkan dirinya sebagai orang yang membuat istri dan bayinya meninggal. Kaos kaki hijau, foto-foto mereka berdua, tak pernah lepas dari ingatan River selama ini.

Dalam relasi dengan Raia, inilah yang kemudian terus-menerus bergejolak pada River.

BACA JUGA: Film ‘Laut Memanggilku’ Dituntut Jadi Dewasa Itu Tidak Menyenangkan

New York kemudian menjadi tempat persinggahan untuk menyelesaikan trauma keduanya, arsitek yang melihat gedung-gedung sebagai sejarah penting perjuangan manusia, dan penulis yang mencoba menyelami hati sang arsitek. Menulis ternyata tak melulu harus dilihat dari sudut pandang ungkapan hati seseorang. Namun juga dari sejarah ruang, seperti tempat-tempat yang telah memberikan sejarah dan kenangan.

“Kita ini kayak dua pengecut yang lari ke New York,” kata Raia pada River.

Hubungan yang naik turun inilah yang menjadi inti film ini, bagaimana cinta dan ruang (bangunan) kemudian bisa dibangun dan dirobohkan setiap saat. Tapi bersama River, Raia kemudian lambat-laun bisa mencintai sekaligus menulis dengan cara beda.

“Mencintai itu ternyata tidak pernah sia-sia.”

Raia tak malu untuk mengejar, berharap duluan pada River—hal-hal yang biasanya tabu dilakukan seorang perempuan. Karena selama ini ada pameo yang mengatakan bahwa perempuan harus menunggu laki-laki, sedangkan laki-laki tugasnya mengejar perempuan. Namun Raia tak malu-malu untuk menunjukkan bahwa dia suka, walau masa lalu kadang masih membikinnya trauma.

Raia tak lelah untuk memulai dan mencoba, sedangkan River selalu patah di tengah jalan.

“Kerjamu kog kabur-kaburan melulu, pura-pura gak kenal ketika kita ketemu. Lalu sampai kapan kayak begini terus?,” protes Raia pada River, ketika mereka pergi berdua tak sengaja bertemu di rumah River.

Raia berusaha keluar dari masa lalunya, di saat River masih terjebak disana.

BACA JUGA: Film ‘Totto-chan: the Little Girl at the Window’ Refleksikan Pentingnya Pendidikan Inklusif

Film ini akhirnya mengajarkan, bahwa tidak ada yang salah dalam mencintai, tidak ada waktu yang tepat kapan harus pergi dan kembali. Barangkali inilah pesan yang bisa direnungkan lewat film ini, yaitu orang sering salah mencintai, dan terjebak terlalu lama disana, pengin pergi tapi tak bisa, dan tidak tahu bagaimana caranya kembali.

Film ini tidak menyatakan  kondisi ini sebagai sebuah kesalahan, film ini  justru memberikan dimensi bahwa di dalam setiap cinta dan relasi, ada banyak dimensi, ada rasa benci, ada trauma, ada air mata. Protagonis-protagonis inilah yang dihadirkan dalam film ini.

Jika kamu mau merenungkan macam-macam relasi yang sering terjadi antar pasangan, tontonlah film ini. Film ini akan mampu jadi bahan sharing apa yang selama ini tak dipikirkan orang tentang relasi cinta. Terjebak dan sulit untuk bangkit, atau mencoba bangkit tapi bertemu orang di saat yang salah.

Walau sejumlah kritikan juga ditujukan untuk film ini. Seperti banyaknya kebetulan dalam film ini, pertemuan yang kebetulan, penyembuhan trauma yang kebetulan sama, padahal hidup kadang-kadang bukan sebuah kebetulan.

Hal lain, banyak dialog-dialog yang lambat yang membuat film ini berjalan pelan dan agak membosankan. Raia juga digambarkan sebagai orang yang lebih banyak merenung daripada menulis, yang ini justru sering mengaburkan cerita. Karena bagaimanapun disini dia adalah seorang penulis. Namun aktivitasnya sebagai penulis, tak banyak tampak di film ini, hanya menulis di taman yang tidak banyak membutuhkan waktu lama.

Bagaimana kelanjutan relasi antara Raia dan River? Apakah mereka bisa menyembuhkan trauma? Tonton film ini!

Foto: StarVision Plus via IMDb

Luviana

Setelah menjadi jurnalis di media mainstream selama 20 tahun, kini menjadi chief editor www.Konde.co dan menjadi dosen pengajar paruh waktu di Jakarta. Pedagoginya dalam penulisan isu media, perempuan dan minoritas
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!