Indonesia adalah negara yang memiliki ragam suku, ras, dan agama. Hal ini kerap digaungkan oleh pemerintah. Namun nyatanya, Indonesia justru menghadapi masalah intoleransi beragama yang serius. Salah satunya akibat pasal penistaan atau penodaan agama yang masih diberlakukan sebagai bagian dari KUHP.
Di tahun 2019, International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) melakukan riset terkait intoleransi dan diskriminasi dalam beragama. Penelitian dilakukan dengan studi kasus atas peraturan perundang-undangan di tingkat nasional dan daerah. Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) juga tak luput dari riset ini. Hasil laporan INFID menemukan dua pasal bermasalah lantaran definisi sempit soal agama di dalamnya. Kedua pasal tersebut antara lain pasal 313 dan pasal 315.
Menurut laporan INFID, pasal-pasal keagamaan dalam RUU KUHP dirumuskan dengan landasan pemikiran dan argumentasi yang tidak menyelesaikan atau mencegah kejahatan. Alih-alih, ia justru memperlebar ruang diskriminasi, konflik, dan melegitimasi kebijakan intoleran di tengah masyarakat. Tidak hanya RUU KUHP, ada berbagai produk hukum, terutama Peraturan Daerah (Perda), yang diskriminatif lewat pasal-pasal yang mengatur tentang agama.
Baca Juga: 3 Film Ini Ajak Kita Refleksikan Soal Toleransi Beragama di Indonesia
Selain itu, ada laporan Indeks Kota Toleran (IKT) 2023 yang menunjukkan situasi toleransi di Indonesia stagnan dari tahun sebelumnya. Meski mengalami kenaikan dan cukup baik, tetapi rata-rata nasional masih berada pada skor 5. Ini berarti, kondisi-kondisi ekosistem toleransi belum tumbuh merata di kota-kota lainnya. Ada sejumlah faktor penyebab stagnan / rendahnya nilai skoring toleransi di beberapa kota di Indonesia, menurut temuan SETARA Institute. Salah satunya, keberadaan produk-produk hukum diskriminatif yang hingga kini secara normatif masih berlaku.
Produk hukum ‘karet’ juga berkontribusi melanggengkan praktik intoleransi yang berkamuflase menjadi kesepakatan-kesepakatan publik tersebut. Contohnya pasal tentang penodaan agama, yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Bukannya menyelesaikan masalah, pasal ini justru lebih sering digunakan untuk sekadar menghindari kegaduhan publik terkait perbedaan agama dan keyakinan. Lebih jauh lagi, pasal penodaan atau penistaan agama kerap menjadi alat kriminalisasi terhadap individu atau kelompok minoritas agama / keyakinan, oleh kelompok intoleran.
Sebelum menghadapi risiko polarisasi agama dan konflik horizontal atas nama ‘penodaan agama’, seharusnya kita mengkaji lagi: sesungguhnya, perlukah pasal ‘penodaan agama’ itu? Kenapa ia menjadi pasal karet yang justru menjadi alat diskriminasi dan persekusi kelompok minoritas?
Penggunaan Pasal Penodaan Agama
Pada April 2024 silam, seorang pendeta bernama Gilbert dilaporkan ke polisi atas dugaan penistaan agama. Tuduhan tersebut berangkat dari khotbah Gilbert yang viral di media sosial dan dianggap menyinggung umat Islam. Pengacara Farhat Abbas dan Kongres Pemuda Indonesia berturut-turut melaporkan Gilbert dengan pasal 156a tentang penodaan agama dari KUHP. Tidak hanya itu, Gilbert juga dilaporkan atas pasal 28 ayat 2 juncto pasal 45A UU ITE. Pendeta Gilbert pun dikriminalisasi atas tekanan massa, terlepas dari fakta bahwa ini bukan merupakan ‘kasus hukum murni’.
Kita juga bisa menarik kembali ingatan ke tahun 2023. Di bulan Agustus, pemimpin Pondok Pesantren Al-Zaytun, Panji Gumilang, ditetapkan sebagai tersangka penodaan agama. Kehidupan beragama Panji Gumilang dan Pondok Pesantren Al-Zaytun telah menjadi polemik di media sosial sejak Juni 2023. Sebab, jemaah perempuan dengan laki-laki berada di saf yang sama saat melaksanakan ibadah salat di Ponpes itu.
Pimpinan Pusat Forum Advokat Pembela Pancasila pun melaporkan Panji Gumilang. Laporan dilayangkan dengan dugaan ujaran kebencian bermuatan suku, ras, agama, dan antargolongan (SARA) dan penistaan agama, sebagaimana diatur Pasal 156 a KUHP. Panji Gumilang ditahan di Rutan Bareskrim Polri pada Rabu (2/8/2023).
Asas Legalitas Pasal Diskriminatif
Penodaan agama diatur dalam pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Selain itu, untuk kasus dengan barang bukti medium digital, biasanya digunakan pula Pasal 28 Ayat 2 UU ITE tentang delik pidana ujaran kebencian berbasis SARA.
Namun, bagaimana sesungguhnya kompatibilitas pasal penodaan agama dalam Asas Legalitas? Adakah kriteria Asas Legalitas terpenuhi dan kenapa pasal penodaan agama justru menjadi pasal ‘karet’?
Sebetulnya, tidak ada definisi atau penjelasan makna dan unsur-unsur ‘penodaan agama’ dalam KUHP. Definisi yang jelas dan unsur-unsur detail mengenai hal ini juga tidak ada dalam pasal 4 UU I/PNPS/1965. Bahkan, dalam praktiknya, kerap terjadi campur aduk atas pemahaman penodaan agama mengikuti definisi pasal 1 UU I/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama.
Asas Legalitas memiliki elemen-elemen penunjang. Khususnya Lex Certa dan Lex Stricta. Asas Lex Certa berarti rumusan norma pidana harus jelas dan tidak bersifat kabur. Sementara Lex Stricta berarti rumusan norma atau ketentuan pidana harus dimaknai secara ketat dan tegas. Tidak boleh ada perbedaan tafsir atau pemahaman.
Baca Juga: Bingung Ditanya Dari Mana Asalmu? Sebutan untuk Global Nomad atau Anak Budaya Ketiga
Di KUHP lama yang masih berlaku pun, ‘penodaan agama’ tidak termasuk dalam delik aduan. Berarti, seharusnya kasus ‘penodaan agama’ bukan berdasarkan laporan masyarakat belaka, melainkan pada penyelidikan polisi. Namun kasus penodaan agama sering kali justru muncul atas laporan masyarakat terlebih dulu, sedangkan aduan seperti itu cenderung bias. Maka pasal penodaan agama tidak memenuhi kriteria Asas Legalitas yang fundamental dalam sistem hukum pidana. Pasal ini dikonstruksi dengan norma ‘karet’, multitafsir, dan tidak memiliki kepastian bahasa hukum.
Produk hukum terkait agama yang diskriminatif bukan hanya soal pasal penodaan agama. Dalam riset INFID di tahun 2019 terkait pasal-pasal tentang agama dalam RUU KUHP, ditemukan juga sejumlah masalah. Pasal bermasalah dalam RUU KUHP menurut laporan INFID adalah pasal 313 dan pasal 315.
Pasal 313 RUU KUHP berbunyi, “setiap orang di muka umum melakukan penghinaan terhadap agama yang dianut di Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori V.”
Menurut laporan INFID, pasal 313 RUU KUHP secara ketentuan sudah baik dalam hal larangan menghina agama. Namun, agama yang tidak boleh dihina adalah, “Agama yang dianut di Indonesia.” Ini membuka kemungkinan hinaan terhadap agama atau kepercayaan yang tidak dianut di Indonesia.
Baca Juga: Ini Masalah Ranperpres Kerukunan Agama, Berisiko Memicu Diskriminasi
Sedangkan pasal 315 mengatakan, “Setiap orang yang di muka umum menghasut dalam bentuk apa pun dengan maksud meniadakan keyakinan terhadap agama yang sah dianut di Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.”
Implikasi dari pasal 315 berdasarkan laporan INFID di tahun 2019 adalah ancaman bagi warga negara dengan pemikiran atheis. “Ketentuan ini juga diskriminatif karena memuat frasa agama yang sah dianut di Indonesia,” sebut INFID dalam laporan tersebut.
Menakar ‘Noda’ Pada Agama
Istilah ‘penodaan agama’ sebetulnya perlu digugat dan dipertanyakan. Penghinaan agama sangat mungkin terjadi. Tapi bisakah agama dinodai? Bagaimana menakar ‘penodaan’ agama? Seberapa kuat kuasa seseorang atau kelompok tertentu sampai bisa menodai kemuliaan agama milik Sang Maha Kuasa?
Logika sederhananya—ketika sungai tercemari limbah, kita bisa melihat nodanya. Lalu akibatnya terasa: sungai jadi kotor oleh noda tersebut. Sedangkan ketika agama ‘dinodai’, katakanlah, dengan makian atau hinaan terhadap agama tersebut, apakah agama tersebut menjadi kotor akibat ‘noda’? Apakah kesucian agama menjadi pudar atau bahkan hilang akibat ‘penodaan’ tersebut?
Maka penggunaan istilah ‘penodaan’ terkait penghinaan agama cenderung rancu dan tidak pasti. ‘Penodaan’ dalam konteks agama adalah istilah multitafsir, tanpa ada kekuatan definisi yang biasanya menjadi acuan penegakan hukum pidana.
Bias Tafsir dan Rentan Intoleransi: Pasal Diskriminatif Mencederai Pancasila
Pasal penodaan agama dan produk-produk hukum diskriminatif lainnya juga kerap digunakan dengan dalih harmonisasi dan perlindungan agama. Nyatanya, yang terjadi justru pelanggaran konstitusi dan penyempitan ruang toleransi.
Pada praktiknya, penggunaan pasal sejenis penodaan agama justru lebih erat berkaitan dengan diskriminasi dan intoleransi umat beragama. Pasal ini lebih banyak ditujukan kepada kelompok minoritas agama dan kepercayaan, ketika ada hal yang dirasa tidak sesuai dengan kehendak kelompok agama yang lebih dominan. Produk hukum diskriminatif semakin menguatkan dominasi kuasa kelompok intoleran serta menindas kelompok minoritas agama atau kepercayaan.
Pasal penodaan agama kerap digunakan untuk menjerat individu maupun kelompok dengan perbedaan agama atau keyakinan. Ia menjadi pasal ‘karet’ yang digunakan sebagai dalih untuk membatasi kebebasan banyak pihak dalam beragama dan menganut kepercayaan.
Baca Juga: Survei Setara Institute: Jumlah Pelajar Intoleran Meningkat
Padahal, konstitusi Indonesia menegaskan adanya jaminan pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia (HAM) bagi setiap warga negara. Negara bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan, serta menegakkan dan memenuhi HAM. Termasuk melindungi warga negara dari perlakuan diskriminatif. Sayangnya, masih banyak temuan produk hukum yang bertentangan dengan Konstitusi serta cenderung intoleran dan diskriminatif terhadap minoritas.
Keberadaan dan penggunaan pasal diskriminatif seperti pasal penodaan agama juga mencederai Pancasila. Memang, berdasarkan perspektif Pancasila, maka penghinaan terhadap agama adalah perbuatan yang tidak dapat dibenarkan. Namun apabila yang dilindungi oleh hukum hanya agama ‘yang dianut di Indonesia’, pasal-pasal terkait agama dan penodaan agama justru diskriminatif terhadap begitu banyak aliran kepercayaan yang hidup di Indonesia.
Selain itu, Pancasila dirumuskan sebagai dasar falsafah negara dan ideologi kebangsaan. Kedudukan agama dalam perspektif Pancasila menjadi begitu penting. Sila pertama Pancasila berbunyi, “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Sila ini tidak lagi sekadar perihal hormat-menghormati agama masing-masing. Melainkan juga menjadi dasar yang memimpin ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran, persaudaraan, dan lainnya.
Sudah waktunya negara berhenti menggunakan pasal karet penodaan agama. Pun dengan produk hukum diskriminatif lainnya. Lagi-lagi, hal ini jauh lebih memberatkan masyarakat minoritas agama dan keyakinan. Keberadaan dan penggunaan pasal penodaan agama dan pasal diskriminatif lain sebagai delik aduan di luar peruntukannya, justru menandakan bahwa negara gagal menjamin dan memberikan kepastian kebebasan sipil bagi setiap warganya. Pasal diskriminasi agama tidak relevan, sebab siapalah kita selain hamba dari Yang Maha Mengetahui?
(Artikel ini merupakan kerja sama antara INFID melalui program PREVENT x Konsorsium INKLUSI dengan Konde.co sebagai bagian dari kampanye menyebarkan nilai dan semangat toleransi, kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta inklusivitas. Tulisan ini juga dimuat di laman INFID)