Peringatan pemicu: Cerita ini mengandung trauma, kamu boleh berhenti membacanya jika merasa tidak nyaman. Bacaan tulisan bisa dilanjutkan setelah kamu siap kembali.
Tubuh perempuan, selalu diidamkan oleh perempuan-trans sebagai modal sosial perempuan dan cara menjalani kehidupan politik tubuh dalam keseharian. Namun ternyata tubuh yang diinginkan bisa membawa petaka bagi empunya tubuh itu sendiri.
Teman transpuanku, sudah almarhum sebut saja Inneke. Ia berniat untuk membesarkan payudara. Namun tanpa konsultasi dokter dan tanpa resep dokter. Ia memberanikan diri untuk suntik payudara secara ilegal, Inneke kemudian nekat melakukan itu demi membentuk tubuh yang indah dan molek.
“Aku sangat ingin menjadi perempuan ‘cantik’, maka dengan cara ini aku bisa melanjutkan hidupku dengan tenang”
Begitu seingatku ketika Inneke curhat. Namun ternyata suntik illegal payudara tersebut bocor, hingga Inneke harus mengobatinya ke dokter.
Baca Juga: Stop, Tubuh Transpuan Bukan Sasaran Objek Keanehan
Pengalaman lain pada teman transpuan yang ingin memperindah payudaranya adalah almarhum transpuan Rini. Transpuan yang saat itu berdomisili di Bantul DIY itu, memperindah payudaranya juga secara illegal.
Rini mengatakan bahwa memiliki payudara dapat membuat rasa percaya dirinya menjadi bertambah.
Sepengamatanku, di Yogyakarta pada tahun 2016, memang banyak teman transpuan yang bekerja sebagai pekerja seks seolah ‘berlomba-lomba’ ingin memperindah payudaranya.
Lantas apakah yang menjadi persoalan?
Tentu saja kurangnya edukasi mengenai kesehatan reproduksi. Berbicara dengan Inneke aku harus ekstra hati-hati, karena dia selalu menghubungkan keadaan transpuan dengan sistem keadilan yang menyerang kelompok transpuan dari arah mana-saja.
Hasilnya, pasti semuanya menjadi sia-sia. Kami akan saling berargumen dengan pendapat kami masing-masing daripada terbuka satu sama lain. Sejauh apapun hubunganku dengan Inneke. Walaupun pada akhirnya, kami selalu merayakan persahabatan bersama.
Baca Juga: 4+1 Alasan Mengapa Penting Lindungi Transpuan: Mereka Bukan Virus
Sedangkan Rini, dia tidak pandai bercerita. Ia memiliki perawakan yang menurutku ‘cantik’. Ia juga lebih pandai berteman daripada diriku. Rini selalu sopan dan rapi. Ia saat itu memiliki pasangan hidup.
Semasa hidupnya, ia sering bertanya kepadaku dimana dapat mengakses hormon wanita pada tubuh.
Aku sendiri merasa tidak harus menjelaskan terlalu dalam. Karena aku merasa bahwa pemerintah Indonesia belum bersikap terbuka terhadap transpuan, tubuhku juga selalu merasa cemas jika menghadapi kenyataan bahwa masyarakat Indonesia lebih cepat bereaksi negatif ketika melihat transpuan, ketimbang berpikir untuk menginisiasi dialog.
Hatiku lapang, namun kecemasanku dari hari ke hari selalu semakin bertambah. Aku menimba ilmu dari ibu Rully Mallay mengenai komunitas dan penyakit Menular. Ternyata memang stigma terhadap transpuan selalu dekat dengan virus HIV /AIDS.
Ibu Rully selalu menambahkan ilmu tentang SOGIESC (Orientasi Seksual, Identitas Gender, Ekspresi Gender dan Karakteristik Seksual), aku memahami dia seperti ibuku sendiri. Bahkan kadang, ibu Rully menjadi altruis, ia lebih mementingkan komunitasnya secara berlebihan ketimbang kesehatannya.
Baca Juga: ‘Kami Ingin Beribadah Dengan Aman dan Nyaman’: Cerita Transpuan Menjalankan Keyakinan dan Agamanya
Pengetahuan SOGIESC ini titik awal aku mempelajari secara mendalam bagaimana ketika spektrum gender dibicarakan di kalangan luas. Terutama menggaris bawahi bahwa HIV adalah virus bukan penyakit.
Pada tahun 2016, aku mengikuti pemilihan duta kesehatan untuk kesehatan reproduksi yang membicarakan Isu HIV/ AIDS. Karena aku menyadari kerentanan teman – teman terhadap virus ini. Tujuanku mengikuti ini untuk membicarakan transisi hormonal seperti apa yang aman dan dapat diakses secara legal .
Semuanya berjalan alot, karena dalam pikiran sistem kesehatan pada saat itu, kami adalah “laki-laki yang menyalahi aturan” karena harus meminum hormon.
Tetapi aturan itu menjadi lentur, karena aku selalu menjelaskan bagaimana tidak nyamannya kami dianggap sebagai identitas “ Yang berada pada tubuh” yang salah. Hingga di luar jam kantor, aku dapat berbincang pada Dokter tersebut sebagai teman.
Baca Juga: Nh Dini Sastrawati Feminis, Penulis Pemikiran dan Perasaan Perempuan
Transisi medis bisa diakses namun sangat sulit dijangkau, jika tidak memiliki BPJS maka harus mendaftarkan terlebih dahulu. Jika tidak memilikinya, maka harus membayar konsultasi psikiater dan mendapat tanda tangan bahwa memang individu perempuan-trans dapat suntik hormonal. Namun itu pun masih menghadapi tantangan biaya yang tidak sedikit.
Aku pernah Suntik ampul bermerek Cyclopem dengan harga Rp 150.000 untuk satu ampul, dan estrogen itu harus disuntikkan secara teratur agar tubuhku “menjadi perempuan”. Namun ternyata, efek dari Cyclopem bisa membuat emosi tidak teratur. Seperti emosi yang naik-turun.
Rumah sakit yang aku akses adalah rumah sakit swasta, kemudian suntik hormon bisa aku dapatkan dengan rekomendasi senior transpuan. Ada Dokter yang ramah transpuan yang mau memberikan suntikan hormon estrogen dengan harga Rp 30.000. Ditambah saya juga mengkonsumsi Pil-Kb.
Apa saja obat hormonal yang aku pakai? Aku memakai pil Kb Diane / Cyclo provgynova dan suntik hormon Cyclopem.
Baca Juga: Hapus Stigma Pada Kakek dan Nenekmu Yang Lansia, Mereka Harus Hidup Bahagia
Secara medis memang ini beresiko, namun tubuhku bereaksi “ menerima” hormon ini. Transisi medis ini aku tambah pula dengan menyuntikkan suntik silikon ilegal pada sepasang payudaraku oleh transpuan senior.
Sungguh, pengalaman transisi hormonal benar-benar membuatku geleng-geleng kepala, karena memang berdampak mengerikan, salah suntik taruhannya adalah nyawa.
Lalu bagaimana prosedur transisi medis yang diharapkan di masa depan?
Tentu saja, pihak rumah sakit, puskesmas, dokter dan instansi terkait harus mengadakan dialog dengan komunitas transpuan. Penting juga adanya modul bersama apa saja yang harus dipersiapkan ketika bertransisi medis. Seperti cek Kesehatan, cek psikologi/psikiater, memberi penyuluhan terhadap terapi konversi yang salah, sampai asupan makanan yang mendukung proses transisi berdampak optimal.
Baca Juga: Toilet Bisa Jadi Tempat Curhat Perempuan dan Bicara Kesehatan Reproduksi
Tentu saja, itu bisa dilakukan jika masyarakat Indonesia tidak seksis terhadap transpuan. Transisi medis bagi transpuan juga belum atau jarang dibicarakan secara luas di isu feminis. Karena masih ada stigma terhadap transpuan.
Inneke semasa Hidup selalu bahagia jika payudaranya terlihat montok. Ia bangga dan mengatakan bahwa ia adalah perempuan seutuhnya. Sementara Rini, selalu menyesali dirinya, kenapa dulu ia tidak dilahirkan secara perempuan biologis saja. Barangkali jika dilahirkan perempuan ia tidak akan repot memikirkan kelangsungan hidup yang begitu berat menjadi transpuan. Seperti harus menjalani transisi medis bagi perempuan-trans ini.