Jadi Korban Manipulasi Foto Sensual dengan AI, Bagaimana Menjerat Hukum Pelaku?

Penyebaran foto sensual hasil manipulasi AI termasuk bentuk kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE) yang bisa dilaporkan. Bagaimana caranya?

Konde.co dan Koran Tempo punya rubrik ‘Klinik Hukum Perempuan’ yang tayang setiap Kamis secara dwimingguan. Bekerja sama dengan   LBH APIK Jakarta, Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender,   Perempuan Mahardhika, dan JALA PRT. Di klinik ini akan ada tanya jawab persoalan hukum perempuan.

Tanya:

Halo Klinik Hukum bagi Perempuan, beberapa waktu lalu saya membaca berita tentang “seorang anak perempuan berusia 12 tahun yang diduga menjadi korban pelecehan seksual usai rekan kerja ibunya memanipulasi fotonya menjadi tanpa busana. Pelaku menggunakan artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan untuk membuat foto anak itu menjadi perempuan berusia 17 tahun yang hanya mengenakan pakaian dalam. Namun, polisi menolak laporannya. Alasannya, tidak ada tindak pidana pelecehan seksual dalam peristiwa itu karena pelaku tidak pernah menyentuh korban. Polisi mengarahkan sang ibu untuk melapor menggunakan pasal UU ITE.  

Saya bingung, dalam pandangan saya, kasus ini merupakan kasus kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE) yang diatur juga dalam UU TPKS. Tetapi, mengapa diproses sebagai kasus penyebaran konten asusila secara digital yang diatur dalam UU ITE? Padahal, pihak anak sudah dilecehkan tubuhnya melalui manipulasi foto AI. 

Mohon pencerahannya, karena kasus-kasus manipulasi foto melalui AI yang bernuansa seksual ini sangat memprihatinkan saya sebagai perempuan. Sebab hal serupa, bisa menjadi ancaman di masa mendatang bagi anak dan perempuan yang sering jadi korban pelecehan seksual.  (Jihan, Jakarta)

Jawab:

Halo Jihan, terimakasih sudah menghubungi Klinik Hukum Perempuan. Kami juga merasa prihatin atas kejadian yang menimpa anak yang diduga menjadi korban pelecehan seksual melalui artificial intelligence (AI) atau kecerdasan artifisial. 

Mengenai pertanyaan Anda, apakah kasus dugaan pelecehan seksual dengan memanipulasi foto melalui AI merupakan tindak pidana kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE) yang diatur dalam UU TPKS? Atau kasus itu merupakan perbuatan penyebaran konten asusila secara digital yang diatur dalam UU ITE

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kami akan menjelaskan terlebih dahulu mengenai artificial intelligence (AI) yang kami rangkum dari berbagai sumber. 

AI adalah kecerdasan buatan atau kecerdasan artifisial. Ia merupakan teknologi yang dirancang untuk membuat sistem komputer yang mampu meniru kemampuan intelektual manusia. AI juga disebut sebagai media sintetis, media yang dipersonalisasi, konten yang dipersonalisasi, dan bahasa sehari-hari sebagai deepfake). Atau istilah umum untuk produksi, manipulasi, dan modifikasi data dan media buatan dengan cara otomatis, terutama melalui penggunaan algoritma kecerdasan buatan, seperti untuk tujuan menyesatkan orang atau mengubah makna asli, atau memanipulasi foto, dan lain-lain.

Baca Juga: Di Balik Tren AI, Waspadai Sederet Bahaya yang Mengintai

Berdasarkan uraian di atas, maka memanipulasi photo yang tidak patut atau bernuansa seksual melalui AI, tanpa sepengetahuan dan seijin korban (dalam kasus anak dan penyandang disabilitas merupakan pidana murni) dengan tujuan untuk menyesatkan orang, sehingga korban merasa malu dan direndahkan martabatnya, perbuatan tersebut merupakan bentuk kekerasan seksual non fisik atau pelecehan seksual. Kaitannya ini, melalui media elektronik atau disebut juga kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE). 

KSBE merupakan tindakan yang dilakukan dengan cara verbal, gerakan tubuh, atau aktivitas yang tidak patut dan mengarah kepada seksualitas. Tindakan atau perbuatan ini dapat dilakukan melalui media sosial, email, atau pesan online, dan media sintetis atau AI.

Tindakan atau perbuatan pelecehan seksual yang dilakukan melalui media elektronik sebagaimana dimaksud di atas. Menurut UU TPKS dapat digolongkan ke dalam tindak pidana kekerasan seksual berbasis elektronik (tindak pidana KSBE) yang diatur lebih lanjut dalam Pasal 14 ayat (1) UU TPKS sebagai berikut:

Setiap orang yang tanpa hak:

a.     melakukan perekaman dan/atau mengambil gambar atau tangkapan layar yang bermuatan seksual di luar kehendak atau tanpa persetujuan orang yang menjadi objek perekaman atau gambar atau tangkapan layar;

b.     mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan seksual di luar kehendak penerima yang ditujukan terhadap keinginan seksual; dan/atau

c.     melakukan penguntitan dan/atau pelacakan menggunakan sistem elektronik terhadap orang yang menjadi objek dalam informasi/dokumen elektronik untuk tujuan seksual. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Selanjutnya dalam Pasal 16 ayat (1) UU TPKS, selain pidana penjara, pidana denda, atau pidana lainnya menurut undang-undang, Hakim wajib menetapkan besarnya restitusi terhadap tindak pidana kekerasan seksual yang diancam dengan pidana penjara 4 tahun atau lebih. 

Terhadap ketentuan tersebut, pada kasus-kasus tertentu yang di proses di pengadilan, Hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak asuh anak (apabila pelaku adalah ayah dari korban) atau pencabutan pengampunan (apabila pelaku adalah wali dari korban), pengumuman identitas pelaku, dan/atau perampasan keuntungan dan/atau harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana kekerasan seksual.

Baca Juga: Sejumlah Polisi Tolak Gunakan UU TPKS, Tantangan Berat Penanganan Korban

KSBE ini merupakan delik aduan, yang artinya hanya dapat diproses hukum apabila korban melaporkan. Kecuali apabila korban adalah anak dan penyandang disabilitas. Sehingga, dalam kasus anak korban maka pelecehan seksual yang dialami melalui manipulasi foto via AI merupakan delik biasa yang dapat dilaporkan oleh orangtua, kerabat, ataupun masyarakat yang mengetahui kejadian tersebut.

Dalam kekerasan seksual non-fisik dengan bentuk pelecehan seksual melalui media elektronik, tidak ada unsur yang menyebutkan bahwa perbuatan pelaku harus memenuhi unsur “menyentuh korban secara fisik”. Mengingat di dalam UU TPKS diatur mengenai ‘perbuatan seksual secara non-fisik’ pada Pasal 5 UU TPKS tentang pelecehan seksual non-fisik yang berbunyi: 

Setiap orang yang melakukan perbuatan seksual secara nonfisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya, dipidana karena pelecehan seksual nonfisik.

Kekerasan seksual non-fisik artinya perbuatan dilakukan oleh pelaku kepada korban tanpa harus ada sentuhan fisik. Seperti perbuatan dalam bentuk gerak tubuh, atau aktivitas yang tidak patut, dalam hal ini pelecehan seksual yang dialami melalui manipulasi foto via AI yang mengarah kepada tubuh dan seksualitas korban dengan tujuan merendahkan atau mempermalukan atau kepentingan hasrat seksual pelaku merupakan aktivitas/ tindakan yang tidak patut. Sehingga di dalam proses hukum, maka konstruksi hukum yang digunakan adalah UU TPKS. 

Baca Juga: Cara Pemulihan Reputasi Korban Penyebaran Konten Intim Non-Konsensual 

Mengenai perdebatan pada kasus anak yang diduga menjadi korban pelecehan seksual melalui memanipulasi foto menjadi tanpa busana dengan menggunakan AI, dimana aparat penegak hukum (APH) berpandangan lebih tepat diproses hukum dengan UU ITE bukan UU TPKS.

Menurut Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ai Maryati Solihah kepada Tempo yang dimuat dalam pemberitaan yang dimuat di tempo.co (18 November 2024) bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku kepada anak (korban), bukan hanya soal penyalahgunaan media elektronik. Akan tetapi mengenal kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE) sebagai salah satu bentuk tindakan kekerasan seksual.

Sementara jika menggunakan UU ITE untuk menjerat pelaku, yang dipidanakan hanya transaksi atau peristiwa penyebaran foto itu saja. Padahal, sudah ada unsur kekerasan seksual terhadap anak korban dalam kasus ini sebagaimana diatur dalam UU TPKS. Oleh karenanya tidak bisa parsial dalam menentukan jenis pelanggaran yang terjadi.

Sehingga dapat kami simpulkan bahwa dalam kasus ini, konstruksi penerapan hukum UU ITE yang dapat menjerat hukuman lebih tinggi kepada pelaku bisa saja diterapkan pada kasus ini. Namun persoalannya bukan pada konteks UU ITE dapat menindak pelaku dengan ancaman hukuman yang lebih berat, akan tetapi kepada fakta bagaimana hukum dapat memberikan rasa keadilan dan jaminan terhadap penanganan, perlindungan dan pemulihan kepada anak korban yang harus menanggung beban trauma berat dan rasa malu atas KSBE yang dialaminya. 

Baca Juga: Perempuan Rentan Alami Kekerasan Berbasis Gender Saat Darurat Bencana

Dengan demikian, apabila APH menerapkan Pasal 27 ayat (1) UU ITE pada kasus ini, dan unsur kekerasan seksual terhadap Anak Korban terpenuhi. Maka, Pasal 27 ayat (1) UU ITE harus dihubungkan atau biasa disebut dengan istilah di “juncto” kan dengan Pasal 14 ayat (1) UU TPKS, sehingga menjadi Pasal 27 ayat (1) UU ITE jo Pasal 14 ayat (1) UU TPKS.

Hal itu menunjukkan perbuatan pelaku telah secara tanpa hak menyiarkan, mempertunjukkan, mendistribusikan, mentransmisikan. Selain itu, Ia juga telah membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Itu termasuk pelecehan seksual non fisik terhadap anak korban dengan memanipulasi foto bernuansa sensual melalui AI.

Baca Juga: Jadi Korban KBGO Karena Mendapat Kiriman Konten Seksual, Tapi Kenapa Malah Dikriminalisasi?

Juncto (sering disingkat jo) adalah istilah hukum yang digunakan untuk menghubungkan dua peraturan perundang-undangan, seperti pasal atau ketentuan-ketentuan lainnya. Juncto dapat digunakan untuk mengaitkan pasal-pasal dalam satu peraturan perundang-undangan, atau untuk menghubungkan undang-undang yang satu dengan yang lainnya.

Undang-undang Perlindungan Anak (UUPA) belum mengatur secara tegas mengenai KSBE, tapi dalam Palam Pasal 81 dan 82 Undang-Undang tentang Perlindungan Anak ini diatur bahwa pelaku pelecehan seksual terhadap anak dipidana penjara maksimal 15 tahun.

Jadi yang paling kuat tetap menggunakan UUTPKS yang memberikan affirmatif terhadap korban anak dan disabilitas.

Demikian Jihan penjelasan kami, semoga penjelasan kami dapat memberikan pencerahan dan manfaat. Dengan harapan semoga anak korban yang diduga menjadi korban pelecehan seksual melalui AI mendapatkan keadilan. Di samping itu, juga mendapatkan perhatian atau afirmatif dari APH yang memproses hukum laporan tersebut. Yakni dengan memperhatikan UU TPKS yang mengatur jaminan penanganan, perlindungan, pemulihan dan restitusi kepada korban.

 Jika kamu mau berkonsultasi hukum perempuan secara pro bono, kamu bisa menghubungi Tim LBH APIK Jakarta. Kamu bisa mengirimkan email Infojkt@lbhapik.org atau Hotline (WA Only) pada kontak +62 813-8882-2669. 

Sri Agustini

Advokat LBH Apik Jakarta
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!